webnovel

Di Depan Sekolah

"Hei, Aya! Kita disini!"

Aku berjalan ke arah Amanda yang sudah duduk bersama 2 orang temanku yang lain di meja kantin sekolah. Bel tanda istirahat baru saja berbunyi beberapa saat yang lalu namun hampir seluruh area sudah dipenuhi oleh para siswa dan siswi yang duduk di meja maupun sedang berbaris sambil memegang baki hitam untuk antri mengambil makanan yang telah disediakan oleh petugas. Aku dan Amanda tetap tinggal menjaga meja kami, sementara yang lainnya pergi ke arah konter makanan.

"Gila, otakku bisa meledak lama-lama gara-gara terlalu banyak dicekcoki pelajaran! Seharusnya kalau sudah kelas 12 tidak usah banyak dikasih tugas biar kita bisa fokus ke ujian masuk perguruan tinggi." keluhku sambil menggeser duduk ke sebelah Amanda.

"Ini baru SMU lho, tunggu nanti kuliah…" goda Amanda, "Kakakku saja semenjak kuliah sudah seperti zombie karena kulihat setiap dia pulang ke rumah selalu dengan mata kosong dan wajah kusut. Tapi setelah makan masakan ibuku dia jadi sehat lagi seperti semula."

"Padahal kalau lihat acara serial luar negeri sepertinya perilaku anak-anak SMU santai sekali ya, bisa ada pesta dansa, acara pesta di rumah teman, gonta-ganti pacar… kita boro-boro."

"Ya tapi kamu kan sudah punya seorang pacar yang kaya raya, disyukuri saja." Ujar Amanda.

Aku menghela nafas karena sebal. Pacaran sama Alex sama sekali tidak seru, kami hanya menghabiskan waktu dengan berbasa-basi dan terkadang belajar bersama, tanpa ada romantis romantisnya sedikitpun. Awalnya aku memang mentolerir karena wajahnya yang ganteng tapi setelah lama mengenalnya aku sadar kalau orang ini tidak punya inisiatif berpacaran sama sekali. Bayangkan saja untuk ke bioskop untuk nonton film, pegangan tangan, atau kencan ke tempat baru yang menarik sekalipun semua pasti aku yang mengajak. Ini sih bukan pacaran namanya, tapi babysit. Yang paling kubenci adalah sifatnya yang sekarang agak sombong, dia merasa bahwa semua orang bodoh kecuali dia. Semua topik baru yang kucoba bicarakan dengannya dibilang tidak penting, membosankan, dan celaan lainnya yang membuatku terkadang ingin menampar mulutnya.

Percayalah, pada akhirnya kepribadian memang jauh lebih penting daripada wajah imut.

"Manda, kamu kan tahu aku pacaran sama Alex karena dia anak Direktur Utama rumah sakit ayahku, jadi kita memang sering bertemu di rumahku atau di rumahnya, sampai akhirnya terbawa suasana dan mulai pacaran."

Meski ada perbedaan usia yang jauh, Ayahku dan Ayah Alex yang bernama Rudy cukup dekat karena dia sangat terkesan dengan kemampuan Ayah. Pak Rudy bahkan berjanji suatu hari akan mengangkatnya ke posisi yang lebih tinggi. Ayah yang memang mengincar posisi tinggi agar bisa meningkatkan kualitas hidup keluarganya mendorongku berpacaran dengan Alex agar bisa mendekatkan kedua pihak keluarga karena dia merasa semua orang di sekeliling Rudy adalah orang-orang yang hebat dan berkelas. Mendiang Ibu Alex yang juga mantan model itu memang bukan istri pertama dari sang Direktur, namun yang kudengar keluarga wanita itu di Amerika adalah juga bukan sembarang orang. Kakeknya kudengar semacam pengusaha yang sangat sukses, meskipun aku tidak tahu dalam bidang apa.

"Lho, bukannya Oom Ian yang semangat menjodoh-jodohkan?"

"Ya, tapi Ayahku kan tidak pernah berinteraksi langsung dengan dia, bahkan berbicara juga jarang. Dia tidak tahu kalau pria pilihannya itu lebih aneh daripada alien! Tiap hari aku berdoa semoga dia segera diangkat ke posisi idamannya, sehingga aku bisa mencampakkan pacarku tercinta itu."

Amanda tertawa, "Kasihan lho, sudah dua hari sakit di rumah diomongin jelek."

"Sepertinya Alex juga sadar kalau aku sudah tidak tertarik dengannya, 1 bulan terakhir ini komunikasi kita semakin buruk. Bahkan dua minggu terakhir ini kita sama sekali tidak telepon-teleponan atau berkirim pesan." Ujarku sambil melihat ponselku.

"Waduh, jangan-jangan ada cewek lain!'

"Baguslah, jadi aku bukan pihak yang bersalah dalam kasus ini. Yang pasti nanti ketika kuliah aku akan cari pacar yang lebih keren!"

"Sudah deh, bosan ah mendengarkan masalah kamu!" keluh Amanda, "ayo kita membiacarakan adikmu si Surya saja, terakhir ketemu sepertinya dia makin tinggi dan ganteng!"

"Adikku yang masih berusia 15 tahun kamu bilang ganteng? apa aku harus telepon polisi kasih tahu kalau kamu mengincar anak dibawah umur?"

"Oh my God, whatever. Dia lebih tinggi dariku, dan penampilannya juga jauh lebih dewasa dari usianya. Jadi bukan salahku kalau aku jadi penggemarnya!"

"Ya, kamu dan semua anak cewek yang ada di sekolahnya! Bahkan kadang-kadang kalau kita lagi makan bersama di luar banyak perempuan dari seusianya sampai ibu-ibu mengambil fotonya menggunakan ponsel secara sembunyi-sembunyi, mengerikan banget."

Surya memang salah satu dari siswa terpintar di sekolahnya, sangat beda denganku yang bisa bertahan di 5 besar saja sudah merupakan mukzijat. Ditambah lagi pembawaannya yang tenang, wajah yang sangat tampan—setidaknya yang menurut semua perempuan yang aku temui—dan badannya yang tinggi untuk anak seusianya, membuat dia menjadi sangat populer di sekolahnya. Kudengar dari ibuku ada banyak orang menawari adikku untuk menjadi model dari produk mereka atau bahkan mempromosikan produk mereka di akun sosial medianya yang tentu nantinya akan dibayar, namun Surya sepertinya tidak berminat dan hanya fokus untuk menjadi dokter seperti ayah.

"Tapi adikmu itu memang agak unik Aya, akun sosial media saja tidak punya. Memang hidupnya tuh hanya untuk belajar untuk jadi dokter, ya? Pasti prinsipnya hura-hura nanti saja kalau sudah punya gaji."

"Tapi tahu nggak, sepertinya Surya sudah punya pacar." Kataku tiba-tiba.

"Ah, yang benar? Teman sekolahnya? Lebih tua apa lebih muda? Jangan-jangan sama guru bahasa Inggris di SMP-nya yang terkenal cantik itu, sepupuku yang sekolah disana juga naksir sama dia." Amanda balas bertanya dengan nada jahil.

"Enak saja! Sudah beberapa minggu ini dia amat asyik larut sendiri dengan ponselnya, sampai lupa berinteraksi dengan kita kalau sedang berada di meja makan. Tapi tidak tahu juga sih, makin kesini sepertinya dia semakin menjadi pendiam, mengobrol juga sudah jarang sekali sampai-sampai aku tidak tahu apapun yang sedang terjadi di sekitarnya saat ini. Aku juga sih yang salah terlalu sibuk siap-siap buat kehidupan universitas, aku jadi jarang memperhatikan adik-adikku."

"Alex jadi cuek, sekarang Surya? Ada apa dengan para kaum lelaki di sekitar kamu, sih?" Amanda menggaruk-garuk kepala, "mungkin semua stress karena sudah berada di tingkat terakhir sekolah masing-masing. Surya bersiap masuk SMU unggulan dan Alex ujian masuk perguruan tinggi."

"Kemungkinan begitu, semoga saja ujian masuk SMU nya sukses dan dia kembali menjadi si anak baik hati seperti semula. Kangen juga bercanda sama dia."

"Hanya berharap untuk Surya? bagaimana dengan Alex?"

"Ah, entahlah… anak orang kaya seperti dia pasti ujung-ujungnya pacarana dengan seorang model yang tentunya punya bujet kecantikannya jauh diatas kita! Lihat saja selera wanita Ayahnya, model internasional."

Baru saja Amanda mau merespon perkataanku, sebuah teriakan dari meja seberang mengejutkan kami. Selang beberapa detik, meja-meja di sekitar kami juga langsung menjadi ribut tidak karuan. Seketika seisi ruangan kantin menjadi seramai pasar, semua orang sibuk memegang ponsel masing-masing sambil berteriak satu sama lain bahkan beberapa menyebut nama Tuhan dengan nada takut.

"Ada apa sih?" tanyaku sambil melihat keadaan sekitar yang terlihat semakin rusuh. Amanda hanya mengangkat bahunya.

Salah satu temanku, yang baru saja mengambil jatah makanannya, lari menuju ke meja kami dan segera duduk di sebelahku sambil berkata dengan panik.

"Aya," katanya terengah-engah sambil memegang lenganku, "ada penembakan di SMP adikmu."

Tanpa sadar aku sudah berada di pertengahan jalan menuju ke sekolah adikku dengan cara berlari. Sekolah kami memang tidak begitu jauh tapi lumayan bila tidak menggunakan kendaraan, anehnya aku sama sekali tidak merasakan lelah atau apapun saat itu, seolah-olah kakiku digerakkan oleh mesin. Mungkin ini yang namanya gelombang adrenalin. Sempat kudengar beberapa siswa di sekolahku yang adiknya juga bersekolah di SMP sama dengan Surya berencana pergi kesana bersama-sama, namun para guru dengan sigap melarang mereka pergi karena terlalu membahayakan. Aku cukup beruntung karena langsung angkat kaki setelah mendengar kabar dari temanku tanpa bertanya-tanya lagi.

Aku masih ingat percakapanku dengan temanku di kantin beberapa menit yang lalu.

"Penembakan!? Jangan bercanda!" aku setengah berteriak karena kaget.

"Serius! Ini ada live di beberapa akun sosial media siswa dan siswi di SMP yang kemungkinan masih bersembunyi di suatu tempat. Banyak yang tweet awalnya mendengar suara letusan seperti kembang api, lalu disusul dengan banyak jeritan dari area kantin! Beberapa siswa terkena tembakkan senjata api dan terjatuh, sisanya berlarian ke seluruh area sekolah. Katanya sudah lebih dari 1 jam mereka bersembunyi."

Senjata api? Bagaimana caranya? Ini kan bukan negara yang senjatanya dijual bebas dan bisa dibeli siapa saja! Begitu pikirku selama aku berlari menuju sekolah Surya.

Setelah lebih dari 15 menit, akhirnya aku sampai di depan sekolah. Seluruh badanku dipenuhi keringat, wajahku memerah karena panasnya cuaca siang itu, dan nafasku habis. Namun itu semua terbayar dengan pemandangan yang kulihat saat ini.

Sudah banyak kendaraan milik polisi dengan berbagai ukuran di depan SMP Green Garden, persis seperti adegan film-film aksi Hollywood. Banyak polwan kewalahan yang menghadang orangtua murid yang menjerit-jerit histeris memanggil nama-nama anak mereka masing-masing. Beberapa polisi tampak kebingungan sambil memegang alat komunikasi mereka, mungkin karena baru pertama kali mengalami kejadian luar biasa seperti ini. Pintu utama gedung SMP terlihat sudah didobrak, yang berarti sudah ada Tindakan dari polisi untuk masuk ke dalam,

Aku berdiri sambil mengatur tenaga dan nafas, meskipun sedang takut setengah mati, tapi harus kuakui bahwa atmosfir saat ini sangatlah menakjubkan. Banyaknya mobil polisi, truk besar bewarna hitam milik polisi yang terparkir tepat di depan gedung, jeritan dan tangisan para orangtua, dan seruan para polwan dan polisi yang berusaha menenangkan mereka semua sampai akhirnya membuat barikade dengan perisai agar semua orang itu tidak nekad masuk ke dalam gedung.

"Guys, sudah lebih dari 20 menit semenjak pasukan anti teror mendobrak paksa masuk ke sekolah." Seorang laki-laki di sebelahku yang sedang merekam dengan ponselnya mulai bernarasi, "suara tembakan sudah juga sudah tidak terdengar lagi tidak lama setelah anti teror masuk melalui gerbang depan dan bagian samping gedung, yang artinya kemungkinan penembakan yang sudah berlangsung selama lebih dari 1 jam ini sudah berakhir! Aku akan terus update secara live detail demi detail kejadian ini, dan moga-moga pelakunya ditangkap dan dihukum mati! Stay tuned, guys!"

Aku menatap lelaki itu dengan tidak percaya, luar biasa apa yang bisa dilakukan orang demi mencari keuntungan. Aku yakin laki-laki ini bukan salah satu orangtua murid, dia tampak seumur denganku atau sedikit lebih tua dan sudah berada di bangku kuliah kalau dilihat dari caranya berpakaian, ditambah lagi dengan topi bergambar karakter monster bewarna kuning yang menutupi setengah wajahnya yang dipenuhi janggut makin menambah konyol penampilannya.

"Yang kulihat dari live feed siswa di dalam gedung, informasi yang bisa kudapat adalah sejumlah siswa terluka parah, beberapa sudah dipastikan mati di tempat namun ada juga yang belum bisa diketahui apakah mereka meninggal atau tidak karena hanya terjatuh setelah tertembak. Juga kudengar penembakan bermula dari kantin sekolah yang sudah ramai dengan siswa karena masuk jam makan siang. Lalu ada juga info bahwa pintu depan dan belakang sekolah dihalang dengan rantai yang diberi gembok, sehingga siswa tidak bisa mengakses pintu keluar sama sekali." Lelaki itu terus berceloteh dengan gayanya yang dilebih-lebihkan dan menyebalkan.

Sial, orang gila ini berisik sekali! Aku menjadi makin panik mendengarnya. Aku bermaksud menghubungi Surya ke ponselnya, tapi segera kuurungkan niatku. Bagaimana kalau Surya sedang bersembunyi dan malah kutunjukkan posisinya gara-gara ponselnya berbunyi?

"Cahaya!"

Aku menoleh ke arah suara yang memanggil, tampak ibuku berlari dari mobilnya menuju ke arahku.

"Mama! Tari dimana?"

"Di rumah bersama si bibik! Apakah sudah ada kabar mengenai Surya? Sudah kamu coba hubungi ponselnya?" suaranya panik dan tangannya bergetar ketika memegang lenganku.

"Tidak berani, Ma. Aku malah takut nanti posisi persembunyiannya malah Tapi sepertinya penembakkan sudah selesai, sudah tidak terdengar lagi suara letusan."

Ibuku tidak berkata apa-apalagi, tapi kami saling berpegangan tangan sambil mengatur nafas sangking tegangnya. Mata kami terus menuju ke arah pintu utama gedung sekolah yang sudah terbuka.

Tiba-tiba kami mendengar suara banyak sekali langkah kaki diiringi suara teriakan anak-anak dari dalam gedung. Seketika itu juga pintu utama dipenuhi oleh lautan siswa yang berlari menghambur keluar, yang mengingatkanku pada pemandangan bila penumpang baru saja keluar dari kereta listrik di stasiun.

"Aya, Aya…" Ibuku makin erat menggenggam lengaku, kemdian melepaskannya, "cari Surya…" ujarnya lirih yang membuatku berlari mendekat ke pintu utama.

Lagi-lagi pemandangan menakjubkan. Para polisi yang sejak tadi memasang badan akhirnya pasrah dan membiarkan semua orangtua yang dari tadi berdiri menunggu kabar berlari menyambut gerombolan siswa untuk mencari keluarganya, mengakibatkan dua kerumunan besar yang tadi dipisahkan oleh barikade polisi melebur menjadi satu di luar gerbang gedung. Jeritan lega bercampur dengan jeritan yang masih memanggil-memanggil nama siswa yang baru keluar bergumuruh seperti penonton pertandingan olahraga di stadium ketika tim yang didukungnya memenangkan pertandingan. Akupun akhirnya ikut berteriak memanggil nama adikku sambil melihat satu persatu siswa yang berpapasan denganku.

Selang beberapa saat, semua keluarga yang sudah bersatu terlihat berpelukan sambil menangis dan mengucap syukur. Banyak juga siswa yang berkerumun bersama teman-temannya karena tidak ada yang menjemput, tapi di dalam kejadian ini masih bisa keluar hidup-hidup saja sudah luar biasa.

Tapi Surya belum juga keluar. Panik menjalar di seluruh tubuhku ketika mengingat lelaki streamer tadi: beberapa siswa ada yang langsung mati ditembak.

"Ya Tuhan, ya Tuhan, kumohon jangan…" ujarku. Aku tidak peduli walaupun dia terluka parah atau tidak, asalkan biarkan dia hidup. Aku berdiri dengan penuh harap campur gelisah, di sekitarku ada juga sekitar 30-an orangtua yang juga menatap ke arah pintu utama. Ini adalah situasi terburuk yang pernah aku alami selama 17 tahun aku hidup di dunia ini, jauh lebih buruk dari semua kejadian memalukan yang pernah aku alami. Entah sudah berapa lama kami memandang ke arah pintu utama yang sekarang kosong melompong, rasanya sudah berjam-jam padahal kuyakin hanya beberapa menit.

"Ada yang keluar!" aku mendengar salah satu orangtua murid berteriak sambil menunjuk pintu utama.

Pasukan anti teror keluar berombongan, beberapa masih memegang senjata, sebagian terlihat menggotong dan menggendong para siswa yang tampak terluka agak parah. Kulihat sekitar 5 orang dari kumpulanku menyerbu ke arah rombongan itu karena mereka menyadari bahwa itu adalah keluarga mereka.

"Oh tidak, tidak, Aria… Aria…" ada ibu-ibu disampingku yang mulai menangis ketika barisannya mulai habis, bahkan semua orang yang sedang menunggu mulai ikut terisak-isak sampai ikut membuat hatiku terasa sakit. Mataku terasa buram dan perih, rupanya air mataku juga sudah keluar.

Saat itulah rombongan anti teror selanjutnya keluar. Jumlah mereka lebih sedikit daripada yang sebelumnya namun barisannya lebih padat, mereka seperti berkumpul menghalangi sesuatu yang ada ditengah-tengah mereka. Aku mengusap air mataku, dan mencoba untuk fokus dan akhirnya mengetahui bahwa yang mereka bawa adalah seseorang.

Sisa dari orangtua yang ada bersamaku mulai berteriak marah, meneriaki dan memaki-maki orang itu, yang kuyakin adalah si pelaku penembakan. Pria itu berbaju serba hitam sampai ke sepatu, dan kepalanya tertutup oleh hoodie dari jaket merah tua yang dikenakannya. Lengan kanan dan kirinya digenggam dengan sangat erat, dan kedua tangannya dipasangi borgol.

Mata kami sempat bertemu ketika mereka berjalan melewati kami ke arah truk besar bewarna hitam yang sejak tadi diparkir di depan gedung sekolah. Banyak orangtua dan siswa yang sudah selamat akhirnya bergabung bersama menyoraki lelaki itu dengan panggilan yang menghinakan.

Aku terkesiap, menyadari bahwa mulai saat ini hidupku akan hancur dan tidak akan sama lagi seperti sebelumnya.