webnovel

10 Tahun Kemudian

"Terima kasih, semuanya!"

Aku melambaikan tangan sambil berjalan ke ujung panggung, diiringi riuh tepuk tangan dari penonton. Stadium tenis dalam ruangan malam itu dipadati dengan pengunjung yang mendatangi acara penandatanganan dan bedah bukuku yang berhasil menjadi buku dengan penjualan terbaik tingkat nasional tahun ini. Perasaanku campur aduk antara senang dan tidak percaya karena tiket yang dijual untuk acara ini terjual habis dan seperti biasa para pengunjung percaya dengan air mata buayaku ketika membahas bab yang paling kubenci itu.

"Hadirin… Cahaya Lestari!" pembawa acara malam itu, lelaki dengan parfum murah menyengat, kembali meneriakkan namaku dengan lantang. Stadium kembali riuh dengan tepuk tangan dan sorakan pengunjung.

"Terima kasih, terima kasih…" balasku sambil merapatkan kedua telapak tangannya di depan wajah, lalu menunduk sebagai tanda terima kasih dan pamit, melambaikan tangan sekali lagi, setelah itu langsung berjalan ke belakang panggung dimana timku yang terdiri dari seorang asisten dan beberapa orang dari penerbit berada.

"Selamat, Mbak Cahaya." Ujar si pembawa acara sambil berusaha menyamai langkahku yang cepat, "ini kota terakhir tur bukumu, kan? Setelah ini katanya mau vakum sebentar."

"Ya, benar." Jawabku singkat sambil memasukan tangan kananku ke saku blazer hitam panjangku. Hanya tebakan, tapi rasanya aku sudah tahu apa yang akan dikatakan lelaki parlente ini selanjutnya.

"Kalau begitu bagaimana kalau makan malam dulu, aku tahu restoran enak di dekat stadium ini." Ajaknya sambil tersenyum, "kita berdua saja."

Kuakui, ajakan dari lelaki seperti ini terkadang membuat hatiku senang. Semua perempuan pasti di dalam lubuk hatinya akan merasa tersanjung bila ada lelaki tertarik dengannya, apalagi malam ini aku memang merasa terlihat cantik dari pada biasanya. Rambutku yang sebahu ditata oleh penata rambut yang populer, diberi highlight warna pirang, senada dengan setelan blazer dan celana panjangku yang semua bewarna hitam—agar suasana dukanya lebih terasa—dan sepatu hak merk terkenal yang membuat tubuhku yang tidak terlalu tinggi menjulang seperti para peragawati catwalk. Tas, jam tangan, riasan wajah dan aksesoris yang kugunakan semua merupakan barang dukungan dari sponsor. Semua barang sudah kupromosikan di media sosialku sebelum acara berlangsung.

Sambil tersenyum balik, aku langsung mengeluarkan apa yang sejak tadi kusembunyikan di saku kananku, mengeluarkannya, dan memakainya di jari manis kananku. Cincin berlian pemberian tunanganku.

"Sorry, I'm engaged." Sambil mengedipkan mata, aku berjalan menjauh darinya menuju ke timku yang sudah tidak sabar memberiku selamat. Lelaki itu hanya diam saja dan akhirnya pergi entah kemana.

Semenjak aku menjadi penulis sukses dan terkenal, banyak lelaki bahkan wanita yang sok akrab mendekatiku, sekedar untuk mencari koneksi untuk ataupun akses ke dunia hiburan. Setelah buku ini menjadi populer, aku memang banyak diundang wawancara di stasiun televisi maupun acara streaming dan bertemu banyak orang berpengaruh di bidang jurnalistik, penerbit buku besar, maupun film. Aku ingat pertama kali merasakan perasaan syok campur bangga ketika melihat wajahku dipajang di billboard raksasa yang mempromosikan acara bukuku di tiap kota.

Untung saja semua orang yang bekerja dengaku berhati tulus dan pekerja keras, terutama asistenku, Mina. Mereka satu persatu memelukku, memberiku selamat dan berencana untuk merayakan berakhirnya tur ini dengan makan di restoran mewah. Namun rasanya malam itu aku cukup lelah sehingga kami memutuskan untuk berpisah jalan. Aku dan Mina akan kembali ke hotel menggunakan taksi, sementara sisa timnya pergi menggunakan mobil van yang disedikan untuk kami dari perusahaan penerbit karena jumlah mereka memang lebih banyak.

Mina menyebutkan nama hotel kepada supir taksi dan melihat ke arah cincinku, "Kapan rencananya Mbak akan mengumumkan pada followers tentang Mas Satria?" Mina memang pemegang kendali penuh seluruh akun sosial mediaku, jadi wajar saja dia bertanya seperti itu. Mungkin dia pikir aku siap untuk mengumumkan kepada para penggemar bahwa aku sudah bertunangan dengan memajang cincin ini di jariku.

"Sepertinya setelah pernikahan saja deh," ujarku. "kalau aku terlihat bahagia, nilai jual bukunya bisa turun."

"Tapi si pembawa acara tadi sudah melihat cincinnya."

"Yah, paling juga dia sangka aku memakai cincin untuk menghindari dia, kalau dia ngomong macam-macam kita bilang saja begitu. Dia juga tidak mau reputasinya hancur sebagai lelaki penggoda, kudengar pacarnya itu model yang cukup familiar."

Aku melepas cincinku dan memasukkannya ke dalam tasku. Kulihat Mina masih sibuk mengetik-ngetik ponselnya untuk memperbaharui kegiatan di akunku. Aku ini adalah orang yang anti sosial media, rasa-rasanya aku tidak akan sanggup membaca komentar pedas atau orang yang mengkritikku dengan kejam, itu semua tidak bagus untuk aku saja yang baru pulih dari depresi yang disebabkan oleh kejadian di masa lalu itu. Jujur saja, aku bahkan tidak berani melihat penilaian kritikus tentang bukuku baik di televisi atau Internet.

"Gini deh, seminggu setelah acara pernikahan kamu boleh pajang foto-fotoku di medsos."

"Oke, baik Mbak."

Satria adalah tunanganku, dia seorang wiraswasta dan memiliki sejumlah perusahaan di Ibukota, salah satunya adalah perusahaan penerbit besar tempatku bekerja. Keluarga besarnya sangatlah kaya dan dia masih berada di luar kota tapi malam ini rencananya dia akan bertolak pulang dengan pesawat terbang. Aku akan menikah dengannya 3 bulan dari sekarang, dan rencananya acara akan berlangsung megah namun terbatas alias hanya mengundang keluarga, teman-teman dekat, rekan sekerja, dan beberapa klien dari kami. Meskipun Satria sempat meyakinkanku mengadakan pernikahan normal atau mengundang 300 lebih orang yang mungkin setengahnya aku tidak kenal, aku tetap bersikukuh mengadakan pernikahan tertutup.

Untung saja aku sudah menjadi orang terkenal sekarang jadi ada alasan untuk mengadakan pernikahan privat bagai selebriti.

"Semua foto mulai dari acara tunangan, acara adat, sampai pernikahan. Atau kasih selang beberapa hari per acara biar buzz-nya bisa bertahan lama." Tambahku.

"Oke, siap."

Selama perjalanan, aku menatap Mina. Gadis ini sangat bertolak belakang denganku, wajahnya cantik namun sendu, seolah-olah ada suatu hal yang dipendamnya. Gaya berpakaiannya juga sederhana, kemeja putih, celana warna netral, sepatu pantofel, dan rambut yang selalu diikat ekor kuda cocok dengan tubuhnya yang kurus namun lebih tinggi dariku. Dia juga tidak suka berbasa-basi dan jarang sekali bercanda, namun semua urusanku baik bisnis maupun pribadi dapat dibereskan olehnya dengan cepat dan akurat tanpa adanya drama sama sekali.

Mina sebenarnya lebih tua 2 tahun dariku, namun dia bisa memanipulasi gaya berbahasanya di akun sosial media mirip dengan gaya berbahasa remaja atau orang dewasa muda yang istilahnya 'kekinian', penuh dengan istilah slang, tagar, dan singkatan. Bisa dibilang dia ini adalah orang yang paling professional yang pernah kutemui selama 27 tahun aku hidup di dunia ini. Datang, kerja dengan baik, terima gaji, dan pulang. Tidak ada kebohongan, keakraban palsu, bahkan dia tidak pernah menanyakan apapun tentang isi bukuku. Hanya saja malam ini mungkin juga karena aku sedang merasa senang, rasanya aku ingin mengajaknya berbicara mengenai suksesnya tur ataupu hal lain, bahkan jika Mina menanyakan apapun tentang bukuku akan kujawab sejujur mungkin.

"Mina, aku baru sadar kalau kamu punya tahi lalat di bawah mata kanan." Ujarku ketika tiba-tiba Mina menoleh ke arahku, kemungkinan dia sadar aku menatapnya terlalu lama. Dia hanya membalas dengan senyuman, dan pastinya itu membuat suasana selama perjalanan menjadi canggung.

Setibanya di depan hotel, aku segera turun dari taksi dan berjalan masuk ke dalam lobi hotel yang megah, sementara Mina mengikutiku dari belakang setelah membayar taksi terlebih dahulu. Aku sangat suka dengan gaya interior hotel ini. Mewah namun tidak terlalu mengintimidasi, bergaya Eropa dan didominasi warna putih, kontras dengan warna sofa-sofanya yang bewarna cokelat gelap dan berbahan kulit. Meja resepsionisnya sendiri terbuat dari semacam batu marbel bewarna putih dan berada tepat di hadapan jendela besar yang elegan membingkai pemandangan indah gedung-gedung pencakar langit di ibu kota malam itu.

Bagian yang paling kusuka menjadi penulis terkenal dan sukses adalah aku bisa memilih hotel yang paling mewah dan mahal ketika melakukan tur di kota besar, karena toh semua biaya ditanggung oleh penerbit. Aku bahkan bisa seenaknya memesan makanan lewat layanan kamar tanpa peduli berapa harganya.

Manajer hotel yang bertugas malam itu sudah bersiap untuk menyambut kami sambil berdiri di dekat meja resepsionis dengan senyumnya yang lebar.

"Luar biasa, Bu Cahaya. Saya baru saja cek banyak sekali orang yang repost acara tadi di media sosial, sekarang jadi trending." Ujarnya.

"Terima kasih, pak." balasku sambil memajang senyumku yang paling palsu, "aku akan langsung ke kamar saja deh." Kataku sambil menoleh kepada Mina yang memang sekamar denganku tapi tadi dia bilang mau beli makanan terlebih dahulu sebelum masuk ke kamar.

"Saya mau pesan makanan pakai ojek online, mau ikutan Mbak?" tawarnya sambil menunjukkan ponselnya kepadaku.

"Sepertinya aku mau pesan layanan kamar saja." Jawabku setelah mengambil kunci kamar dari resepsionis dan mengucapkan terima kasih.

"Kalau begitu saya duduk-duduk di lobi saja dulu ya, sekalian menunggu pesanan makanan saya datang."

"Oke, sip!" aku berjalan menuju ke arah lift seorang diri, sementara sang asisten memutuskan untuk bersantai di sekumpulan sofa yang berada di tengah-tengah lobi.

"Selamat beristirahat, Bu Cahaya." Ujar manajer yang tadi. Aku mengacungkan jempolku karena terlalu malas untuk berterima kasih untuk yang ke entah berapa ribu kali.

Sejenak aku melihat ke sekeliling, mungkin karena hari ini masih hari kerja lobi hotel termasuk sudah sepi saat itu, meski waktu baru menunjukkan pukul 21.30 malam. Hanya beberapa orang tampak sedang mengobrol duduk santai di sofa, termasuk Mina. Alunan piano terdengar merdu di seantero ruangan yang dimainkan olehvseorang pianis yang hanya seorang diri di panggung musik yang dipenuhi oleh instrumen-instrumen lain yang tampak dianggurkan. Kudengar biasanya ada penyanyi yang tidak begitu terkenal namun bersuara emas yang biasa mengisi acara di hotel ini di akhir minggu. Sayang sekali besok pagi aku sudah check out dan kembali ke apartemenku meski berada di kota yang sama.

Baru saja berjalan beberapa langkah, tiba-tiba aku mendengar suara seorang wanita memanggilku dari arah area sofa. "Permisi, Mbak Cahaya?"

Aku memberhentikan langkahku, wanita yang tadi tampak sedang duduk santai bangkit dan berjalan ke arahku dengan agak terburu-buru. Wanita itu terlihat sudah berumur, sekitar usia 40-an, berpakaian serba hitam sama sepertiku.

Dia mendekatiku dengan wajah penuh senyuman, sampai akhirnya berada dihadapanku. Aku sempat bingung campur terkejut menyadari bahwa wanita itu hanya seorang diri berada di lobi tanpa ditemani oleh siapapun, karena tidak tampak pengantar yang duduk di area sofa.

Tanpa berkata apa-apa, wanita tersebut mengeluarkan sebuah buku dari dalam tasnya. Bukuku yang baru saja kupresentasikan sekitar beberapa jam yang lalu.

Ah, rupanya dia penggemar. Aku sempat merasa kesal karena ini sudah larut malam, aku sudah lelah dan ingin segera mandi lalu tidur. Kenapa pula wanita ini tidak datang saja ke stadium untuk acara penanda tanganan buku dan jumpa penggemar tadi?

Tapi bukankah penggemar yang membeli buku adalah sumber nafkahku? Aku harus tetap menunjukkan sifat profesionalku kepada wanita ini dengan menerima permintaannya

Semakin cepat kuselesaikan, semakin cepat aku bisa istirahat, pikirku sambil memaksakan tersenyum.

Dengan lembut aku mengambil bukuku dari tangan wanita tersebut, "Halo," sapaku singkat, "Untuk siapa tandatangannya, dan apakah ibu bawa pulpen?" seperti biasa, penggemar selalu minta aku mendatangani bagian sampul halaman terdepan sambil menulis 'Untuk [nama fans]' dan terakhir minta foto bersama. Untung saja hanya seorang, kalau lebih dari lima orang rasanya aku tidak akan mampu mengontrol emosi.

Tidak adanya respon jawaban membuat aku merogoh isi tasku sendiri mencari pulpenku, mengeluarkannya dari tas, dan membuka sampul hard cover bukuku untuk membubuhkan tanda tangan. Detik itu juga, aku menyesali perbuatanku sendiri.

Pernahkah kamu melihat sesuatu hal yang menakutkan atau mendengar kabar yang sangat buruk sampai jantungmu seperti berhenti beberapa detik? Itulah yang kurasakan saat ini ketika melihat foto yang ditempel di halaman terdepan bukuku.

Foto seorang pelajar SMP, gadis berusia sekitar 14-15 tahun sedang tersenyum. Aku tahu betul apa maksud foto ini dan aku sekarang tahu siapa wanita ini sebenarnya.

Dia pasti adalah salah satu orangtua dari siswa yang tewas atau minimal terluka pada hari yang naas itu.

Masih dalam keadaan memegang buku, aku merasa seluruh tubuhku bergetar hebat bahkan aku tidak berani menatap ke wajah wanita itu. Aku tidak tahu harus berbuat apa, rasanya sudah berjam-jam aku berdiri di tempat itu.

"Ah…eh…" aku bergumam seperti orang idiot, sambil akhirnya memberanikan diri menatap wajah wanita itu. Senyumnya yang tadi mengembang sudah berubah menjadi ekspresi marah yang sangat mengerikan. Sangking takutnya aku tidak menyadari bahwa dia sudah memegang semacam botol plastik yang berisi semacam cairan di tangannya, dan tiba-tiba menyiramkannya padaku.

"Aira anakku satu-satunya, perempuan jahanam!" jerit wanita itu keras yang memancing semua orang yang ada di area itu untuk menoleh ke arah kami.

Reflek aku menahannya dengan tanganku. Rasa takut yang hebat menjalar ke seluruh tubuhku ketika aku merasakan bagian depan dari tubuhku basah terkena cairan itu. Apakah ini air panas? Air keras? Pikirku panik. Belum sempat aku mencerna apa yang terjadi, wanita gila itu menyeragku dan menjambak rambutku sehingga kami berdua terjembab ke belakang. Dia terus menyerangku sambil memakiku dengan semua hinaan yang ada di kepalanya.

Aku mendengar jeritan Mina memanggil namaku, jeritan para staf hotel dan para tamu yang panik memanggil satpam. Saat itu panca indraku seperti tidak berfungsi, tubuhku mati rasa, mataku tidak bisa melihat dengan jelas dan semua suara terdengar seperti gaung yang bergumam. Aku merasakan tubuh Mina yang menimpaku menjadi perisai dari serangan wanita itu, sementara dua orang satpam datang dan memisahkan kami dengan menarik paksa wanita tersebut.

"Mbak, hei Mbak! Kita harus ke kamar sekarang!" jeritan Mina membuatku terbangun, "cepat! Cepat!" sekuat tenaga wanita yang lebih tinggi dariku itu menarik lenganku dan menyeretku dengan cepat masuk kedalam elevator yang untung saja sedang stand-by di lantai dasar sehingga langsung terbuka.

Di dalam elevator, tubuhku masih bergetar ketakutan dan aku masih mencerna apa yang terjadi. Sekilas aku masih mendengar lengkingan marah wanita tadi sambil memaki-makiku dan keluargaku dari luar lift diiringi dengan suara keras sang Manajer agar semua tamu tetap tenang. Mina memegang tubuhku sambil terus memandang tombol lift yang sudah ditekan menuju lantai kamar kami.

Seketika itu juga aku seperti terbangun, melihat keadaan tubuhku yang tersiram dengan entah cairan apa. Yang pertama kusadari adalah cairan itu bewarna merah, namun tidak terasa panas atau apapun.

"Ya Tuhan, apakah ini darah!?" ujarku setengah berteriak dengan suara bergetar karena menahan tangis dan marah, "Mina! Si wanita gila itu menyiramku dengan darah!?"

Mina mendekati hidungnya ke arahku.

"Bukan Mbak, ini bau cat, tapi tetap saja kita harus segera mencucinya agar tidak menempel di kulitmu." Jawabnya.

Sambil menahan tangis aku menarik nafas panjang-panjang. Aku sudah tahu hal ini akan terjadi, sudah banyak orang yang mengecam bahkan mengancamku lewat sosial media atau televisi gara-gara bukuku, namun tidak kusangka ada yang senekad ini.

Sekilas aku melirik bukuku yang masih berada di genggaman tangan. Meskipun buku tersebut juga sudah tersiram cat merah, aku masih bisa melihat judul di sampul depannya. Judul yang kupilih sendiri berdasarkan dari kisah nyata yang terjadi di SMP adikku 10 tahun yang lalu.

Adikku Surya si Pembantai: Peristiwa Penembakan 30 Orang Siswa di SMP Green Garden tahun 2012. Oleh Cahaya L.