webnovel

Retribution Part 4

Hari-hari selanjutnya terasa seperti lembaran baru. Rumah gue kembali penuh dengan tawa yang sempat hilang. Chika, yang kemarin masih tenggelam dalam kesedihan, mulai menunjukkan senyumnya lagi. Dia nggak hanya tersenyum, tapi juga beberapa kali tertawa lepas saat gue melontarkan candaan-candaan receh gue. Gue bahkan sempat melihatnya menggoda Angga ketika dia mampir ke rumah, sesuatu yang nggak pernah gue lihat sejak kejadian itu.

Mamah jelas paling lega melihat perubahan ini. Sebagai ibu, dia selalu bisa merasakan suasana hati anak-anaknya, dan selama ini gue tahu dia juga ikut terluka setiap kali melihat Chika murung. Kini, dia lebih sering tersenyum, bahkan mengajak Chika ngobrol dan masak bareng di dapur. Gue sempat nguping obrolan mereka dari ruang tamu, dan mendengar Chika bercanda soal hasil masakannya yang gosong. Itu hal kecil, tapi buat gue itu tanda besar bahwa dia mulai kembali jadi dirinya sendiri.

Ternyata, nggak semuanya bisa kembali seperti biasa sepenuhnya. Ada sesuatu yang berbeda di sekitar rumah gue, sesuatu yang bikin suasana terasa sedikit… "ramai." Frekuensi tukang jajanan keliling tiba-tiba meningkat drastis. Bakso, siomay, es cendol, bahkan tukang gorengan—semua mendadak seperti berebut lapak di sekitaran rumah. Mamah, Chika, dan Bi Asih tentu merasa ada yang aneh, tapi mereka nggak benar-benar mempertanyakan. 

"Niichan!" Chika memanggil gue dengan semangat sambil masuk ke kamar. "Aku tadi beli bakso tuh, di mamang yang baru. Baksonya enak banget, terus mamangnya baik banget loh! Aku sering dapet bonus ekstra dari dia!" 

Gue yang denger cerita itu cuma bisa nahan ketawa. Gue tahu identitas asli dari "mamang bakso baik hati" itu. Yup, mereka adalah polisi intel yang menyamar buat memastikan keluarga gue tetap aman. Pak Hari bener-bener nggak main-main soal perlindungan ini. 

Ternyata bukan cuma di rumah aja. Mamah cerita kalau di pasar tempat dia dan Bi Asih belanja, ada tukang sayur baru yang super ramah, selalu ngasih harga lebih murah dari biasanya. "Padahal baru buka lapak, kok udah royal banget, ya," komentar Mamah suatu hari. 

Di sekolah Chika pun sama. Beberapa "sopir ojek langganan" mendadak ganti orang. Chika yang polos malah senang karena katanya mereka lebih perhatian, sering nanya soal pelajaran sekolah, bahkan ngajak ngobrol soal hobinya. Gue nggak tega ngasih tahu kalau itu semua bagian dari operasi intel yang dikendalikan Pak Hari. 

Dan nggak ketinggalan, di kampus Mbak Dea di Kota Kembang, ada petugas keamanan kampus yang mulai akrab dengan teman-temannya. Gue tahu itu bukan kebetulan. Bokap sempet cerita kalau ini semua adalah bagian dari rencana besar untuk memastikan semua anggota keluarga gue tetap aman. 

Gue cuma bisa geleng-geleng kepala sambil nyengir tiap kali mendengar cerita dari mereka. Kadang gue pikir, apa sih yang para intel itu rasakan? Berhari-hari jualan bakso, sayur, atau bahkan cuma duduk nungguin anak sekolah. Pasti mereka ada momen bingung juga. 

Tapi gue nggak bisa bohong, gue bersyukur. Ini artinya gue nggak sendiri. Keluarga gue dijaga, nggak cuma oleh gue, tapi juga oleh orang-orang yang ngerti betapa pentingnya keamanan ini. Walaupun caranya sedikit... unik.

***

Hari itu gue menjalani rutinitas seperti biasa di SMA tercinta. Belajar, bercanda bareng temen-temen, dan tentu saja curi-curi kesempatan buat bermesraan sama Febi. Hubungan gue sama dia lagi manis-manisnya, walaupun kadang-kadang ada aja bumbu kecil yang bikin kami berdebat.

Ketika bel pulang berbunyi, gue segera bergegas ke parkiran. Gue udah niat buat nganter Febi pulang, kayak biasa. Tapi pas gue baru aja naik ke kuda besi gue, sebuah pesan singkat masuk ke HP gue. Isinya jelas, dan gue langsung paham kalau ini nggak bisa ditunda.

Setelah baca pesan itu, gue buru-buru nyari Febi. Dia lagi duduk santai di warung pinggir jalan nggak jauh dari sekolah, nungguin gue. Gue samperin dengan perasaan berat, soalnya gue tahu dia nggak bakal suka kabar yang bakal gue sampaikan.

"Sayang, maaf banget, aku nggak bisa anter kamu pulang hari ini," kata gue hati-hati.

"Loh, kok gitu sih?!" Nada suaranya langsung berubah.

"Ehmm... aku harus jemput Chika, adekku."

Dia mendengus pelan, tapi ekspresinya jelas nggak senang. "Ya udah, sana jemput adek kamu aja! Emang lebih penting adek kamu kok daripada aku!" ucapnya dengan nada sarkas.

Gue kaget dan kecewa dengar responnya. "Feb, kok kamu ngomong gitu sih? Aku nggak maksud ninggalin kamu."

"Kamu pikir aja sendiri! Kalau memang nggak mau anter aku pulang, bilang dong dari tadi! Seenggaknya aku bisa panggil supir buat jemput!" katanya tajam.

Gue narik napas panjang, mencoba buat nggak nambah ribut lagi. "Ya... maaf. Aku beneran harus pergi sekarang. Sorry banget, sayang."

Dia ngeliatin gue dengan pandangan yang campur aduk antara kesal dan kecewa. "Nggak nungguin supir aku dateng juga?!" tanyanya sambil melipat tangan di dada.

"Chika buru-buru mau ke tempat les," jawab gue pelan.

Dia diam sebentar, lalu akhirnya melengos. "Ya udah, SANA!" katanya sambil membuang muka.

Gue cuma bisa ngelihat dia sekilas sebelum menstarter motor gue dan pergi. Rasa bersalah bercampur sama kesal memenuhi pikiran gue. Gue nggak nyangka dia bakal marah sampai segitunya. Tapi gue tahu juga, urusan "jemput Chika" nggak bisa gue abaikan.

Di sepanjang perjalanan, gue terus kepikiran wajah Febi waktu gue tinggalin tadi. Gue ngerti kenapa dia kesal, tapi gue juga nggak punya pilihan lain. Semoga aja nanti gue bisa jelasin semuanya dan bikin dia ngerti.

*** 

Gue baru beberapa menit meninggalkan sekolah ketika gue mulai merasakan sesuatu yang aneh. Dua sepeda motor muncul di belakang gue, menjaga jarak tapi nggak pernah benar-benar menjauh. Ada tiga orang—satu motor dinaiki berdua, satu lagi cuma sendirian.

Gue ngintip lewat spion motor gue, memerhatikan gerak-gerik mereka. Awalnya gue nggak terlalu mikirin, tapi pas gue lihat wajah salah satu dari mereka, darah gue langsung naik. Itu dia—si Bimo. Orang yang nggak pernah hilang dari pikiran gue selama beberapa hari terakhir ini.

Senyum kecil muncul di bibir gue. "Hai, Bim," gumam gue pelan, sambil tetap fokus mengendalikan motor. "Elu sama temen-temen lu kayaknya udah siap gue ajak jalan-jalan di neraka sekarang."

Gue pelanin motor gue sedikit, biar posisi mereka sejajar dengan gue. Sekarang gue bisa lihat jelas wajah Bimo. Matanya merah, penuh dengan kemarahan. Dia menatap gue dengan intens, kayak mau makan gue hidup-hidup.

"BANGS*T LU! BENERAN LAPORIN GUE DAN ABANG GUE KE POLISI?! GUE BUNUH LU!" teriaknya sambil menunjuk-nunjuk gue dengan kasar. Nada suaranya bener-bener kayak orang yang udah kehilangan akal sehat.

Gue cuma senyum santai sambil ngeliatin dia sekilas. "Dialog lu nggak bisa lebih kreatif, apa? Kosakatanya itu-itu aja, dasar preman kelas amoeba!" balas gue dengan nada mengejek.

Bimo makin merah, kayak mau meledak di tempat. Tapi gue tetap tenang, bahkan sedikit menikmati situasi ini. Gue tahu apa yang akan terjadi selanjutnya, dan kali ini, gue yang pegang kendali.

Gue tancap gas motor, memacu kecepatan ke arah pinggiran kota. Suara deru mesin di belakang gue makin kencang, dua motor itu nggak ngasih gue ruang buat kabur. Tapi gue tahu mereka cuma terpancing. Gue arahkan motor ke jalan-jalan yang makin sepi, kendaraan mulai jarang terlihat. Lalu gue belok ke gang kecil di sebuah perkampungan. Gang ini sempit, berliku, dan akhirnya membawa gue ke sebuah jalan buntu yang dikelilingi tembok tinggi.

Gue matiin motor gue, berdiri tenang sambil nunggu mereka datang.

Nggak lama, Bimo dan dua temannya sampai. Mereka berhenti beberapa meter dari gue, dengan ekspresi muka puas kayak predator yang udah berhasil menjebak mangsanya.

"MAU LARI KEMANA LAGI LU BANGS*T! MATI LU!" teriak Bimo, sambil turun dari motornya dengan penuh emosi.

Gue cuman geleng-geleng kepala sambil ngelepas helm pelan-pelan. "Duh, bisa nggak sih nggak usah teriak-teriak? Bising banget," kata gue santai sambil pura-pura nutup telinga, bikin dia makin merah.

Pandangan gue beralih ke dua temennya. Mereka keliatan ragu-ragu, mungkin nyadar situasinya nggak sesederhana itu. Gue senyum kecil sambil ngelempar candaan, "Eh, lu pada nggak risih apa temenan sama anjing rabies? Kalau gue sih ogah."

Mereka saling ngelirik, kayak nggak yakin mau ketawa atau marah. Tapi Bimo? Dia udah nggak peduli. Dia maju, tangannya terkepal, siap buat ngehajar gue. 

Gue tahu tiga lawan satu bukanlah situasi ideal. Tapi kali ini, gue bukan harus mengalahkan mereka—gue cuma perlu bertahan dan keluar dengan selamat.

Dengan fokus hanya pada bertahan, gue berusaha untuk menghindar dan menepis serangan-serangan yang datang deras dari Bimo dan kedua temannya. Bimo, seperti biasa, menyerang dengan kegilaan yang tak terkendali. Tinju dan tendangannya datang bertubi-tubi, membabi buta tanpa strategi yang jelas. Teman-temannya terlihat lebih ragu, bingung antara mengikuti serangan Bimo atau menjaga jarak untuk melihat bagaimana situasinya berkembang.

Gue bergerak lincah, setiap pukulan yang mereka lemparkan berhasil gue hindari dengan gesit. Tubuh gue merespons dengan refleks yang tajam, menangkis serangan-serangan mereka dengan memanfaatkan ruang sempit yang tersedia. Sementara Bimo menyerang tanpa henti, temannya mulai gelisah, nggak tahu apakah harus melanjutkan serangan atau justru menjaga diri.

"ANJ*NG LU PADA NGGAK BERGUNA LU JADI KACUNG GUE!" Teriak Bimo pada teman-temannya, suaranya memekik dengan penuh kemarahan. Lalu matanya menatap tajam ke arah gue, geram dan penuh dendam, "GUE CINCANG LU!"

Tiba-tiba, dia mengeluarkan sebuah pisau yang entah dari mana disimpannya. Gue mengamati pisau itu dengan serius, sedikit terkejut tetapi tetap tenang, "Pisau? Serius lu?"

"TAKUT LU BANGS*T?! HAHAHA!" Bimo tertawa gila, seolah-olah senjata tajam di tangannya adalah jaminan mutlak akan kekuasaan.

"Gue... gue cuman nggak ngerti aja, Bim. Kenapa sih elu... predictable banget," jawab gue santai dengan senyum sinis mengambang di wajahku.

"NGOMONG APA SIH KONT*L?!" Mukanya semakin geram, dan tanpa aba-aba dia berlari kencang ke arah gue dengan pisau terhunus di tangannya.

Gue tahu ini gila, tapi bukan berarti gue nggak bisa menghadapinya. Mungkin memang sedikit gila untuk melawan seseorang yang bersenjata tajam, tetapi gue udah melewati batas dalam pikiran gue sendiri. Dengan santai, gue menunggu pisau itu mendekat, membiarkan bilah tajam itu meluncur ke arah perut gue dan... sasaah...

"...Argh!" Teriakan kecil keluar dari mulut gue saat pisau itu menggores sisi kiri perut gue. Luka kecil itu menimbulkan rasa sakit yang mengalir perlahan, darah mulai menetes dari luka itu. Meski begitu, gue tetap berusaha menjaga ketenangan, menahan sakit yang muncul.

Bimo menyadari serangannya gagal, berusaha sekuat tenaga untuk menarik pisau kembali dan menusuk gue lagi. Tapi gue sudah bersiap, dengan sekuat tenaga gue tahan pergelangan tangannya, menggertaknya keras-keras. Teman-temannya melihat kejadian itu, awalnya terpaku tanpa bereaksi, tetapi kemudian tersadar dan mulai menahan Bimo.

"Bim, gila lu apa. Bisa masuk penjara lu!" salah satu teman Bimo mencoba memperingatkannya dengan suara penuh keprihatinan.

"Iya Bim, sadar Bim. Gue nggak mau masuk penjara," ujar yang lain dengan suara tegas.

Gue melihat senyum tipis di wajah teman-temannya saat mereka mulai membujuk Bimo. Ternyata, mereka masih bisa selamat—mereka hanya remaja yang terjerat kekuasaan seorang pemimpin gila seperti Bimo. Gue lega mengetahui bahwa masih ada sisi manusiawi di dalam mereka, meski terjebak dalam lingkungan yang keras dan penuh kekerasan.

Nggak lama setelah itu terdengar banyak suara kaki mendekati lokasi kita. Lalu,

"POLISI! JANGAN BERGERAK!" Teriakan dari para polisi itu membuat suasana semakin kacau. Teman-teman Bimo yang tadinya menahan Bimo, langsung mengangkat tangan mereka ke udara, menyerah tanpa perlawanan.

Bimo yang menyadari kehadiran polisi menjadi gelisah. Matanya penuh kebingungan dan ketakutan. "GUE BUNUH LU! GUE BUNUH SEMUA ORANG DI SINI!" teriaknya frustasi.

Namun, tak ada yang bisa dia lakukan sekarang. Seorang polisi dengan seragam lengkap menghampiri, mengarahkan senjatanya pada Bimo. "LEPASKAN PISAUNYA SEKARANG!" perintah polisi itu dengan suara yang penuh kewibawaan.

Teman-teman Bimo yang lain sudah terduduk lemas, menyerah begitu saja di bawah tatapan tegas para petugas. Mereka mulai kelihatan ketakutan. Melihat senjata api yang ditodongkan kearahnya, Bimo akhirnya melepaskan pisau yang masih dia genggam erat, jatuh ke tanah dengan suara berat.

Nächstes Kapitel