webnovel

Retribution Part Finale

Beberapa Hari Sebelumnya 

Rumah Pak Hari 

"Saya minta untuk mengurangi perlindungan kepolisian khusus untuk saya, Pak." ujar gue dengan serius menatap Pak Hari.

"Apa yang saya khawatirkan adalah Bimo. Saya yakin dengan hanya mengandalkan bukti rekaman itu, dia nggak akan bisa dihukum dengan berat. Mungkin dia bisa dijerat dengan pasal pengancaman pembunuhan, atau malah dia akan lolos dengan alasan kenakalan remaja." lanjut gue, suara gue terdengar tegas namun penuh keprihatinan.

Gue melihat Pak Hari hanya diam saja, seakan setuju dengan perkataan gue. Gue tahu beliau memahami resiko yang ada. Gue melanjutkan penjelasan rencana gue, "Saya bisa menebak apa yang akan dilakukan Bimo jika operasi Bapak berjalan baik. Mungkin Abangnya yang preman itu, Pak Cecep, dan orang-orang yang terlibat langsung bisa mendapat hukuman berat. Tapi Bimo, yang mungkin bisa lolos, bisa saja membahayakan keluarga saya, Pak."

"Adik saya dan Ibu saya tidak akan bisa melawan jika memang Bimo berusaha menyakiti mereka. Tapi saya beda, Pak. Walaupun saya tidak terlatih secara profesional, saya yakin atas kemampuan bela diri saya." ujar gue, penuh keyakinan bahwa saya mampu menghadapi ancaman yang datang, meski berisiko besar.

"Oleh karena itu saya minta agar tidak ada penjagaan sama sekali untuk saya. Biarkan Bimo berpikir saya adalah target yang lebih mudah dibanding dengan keluarga saya yang lain. Bapak cukup beritahu saya jika Bimo mulai mendekati saya."

"Apakah dia akan curiga jika hanya kamu yang tidak mendapat perlindungan" tanya pak hari

"Tenang saja pak. Kalau abangnya dan bekingannya itu hilang, bimo pasti mulai hilang akal dan nggak akan berpikir panjang. Kita siapkan lokasi yang pas untuk perangkap sempurna biar si Bimo ini nggak bisa kabur. Saya akan pancing dia kesana, bapak tinggal siapkan pasukan untuk penyergapan."

***

"Semuanya berjalan sesuai dengan prediksi kamu, Nak Reka," ujar Pak Hari yang selesai mengawasi jalanan penangkapan Bimo. Ekspresi tenangnya menunjukkan bahwa operasi tersebut telah berjalan lancar sesuai rencana.

"Hahaha, orang seperti Bimo itu terlalu gampang ditebak, Pak," balas gue dengan senyuman kecil mengembang. Gue ingat-ingat lagi bagaimana setiap langkah yang kami ambil, mulai dari mengelabui mereka sampai memancing mereka ke dalam perangkap, seolah-olah sudah ditulis di atas kertas dengan detail yang matang.

"Kamu memang anak yang cerdas, Nak Reka. Bakatmu untuk menyusun rencana seperti ini sangat jarang ditemui," Pak Hari melanjutkan sambil mengamati ekspresi gue. "Bagaimana kalau kamu bergabung dengan kepolisian nanti setelah selesai sekolahmu?"

Gue menggelengkan kepala dengan lembut. "Maaf, Pak. Saya harus menolak. Jadi polisi bukan cita-cita saya, Pak."

Siapa yang mau menjadi polisi dengan aturan ketat dan pekerjaan yang berat kayak gitu? Bukan gue tentunya. Belum lagi banyaknya politik kotor di dalamnya, Pak Cecep contohnya. Bukannya gue menganggap polisi itu busuk, karena nggak semua polisi seperti Pak Cecep. Buktinya, Pak Hari adalah seorang pimpinan polisi yang bijaksana dan cekatan dalam pekerjaannya.

Dalam beberapa hari saja setelah gue perlihatkan rekaman video itu, Pak Hari dan timnya berhasil meringkus beberapa jaringan preman besar di kota gue. Mereka berhasil menguak kebusukan Pak Cecep dan teman-temannya, mengungkapkan bagaimana korupsi dan kekuasaan yang disalahgunakan merusak integritas instansi kepolisian di kota ini. Dengan ketegasan dan keahlian yang dimiliki, Pak Hari efektif membersihkan kota dari para pelaku kejahatan besar, memberikan rasa aman kepada masyarakat.

Hasil kerja keras mereka tak hanya menjerat para pelaku kejahatan, tetapi juga memperbaiki citra polisi yang selama ini ternodai oleh beberapa oknum yang merusak sistem. Keberhasilan ini menjadi bukti bahwa kepolisian masih bisa masyarakat percaya untuk menjaga keamanan mereka.

Saat mengobrol-obrol dengan Pak Hari, rasa sakit yang lumayan di sisi perut gue mulai terasa semakin tajam. Baru saja gue menyadari bahwa luka yang dihasilkan dari serangan Bimo ternyata melebar. "Ehmm, Pak Hari, boleh saya minta tolong? Tolong antar saya ke RS," ujar gue dengan suara yang lemah.

Namun, belum sempat Pak Hari memproses perkataan gue, tubuh gue tiba-tiba limbung. Rasa pusing menguasai seluruh tubuh gue, dan sebelum gue sempat mengingat apa yang terjadi selanjutnya, gue merasakan beban yang semakin berat hingga akhirnya gue pingsan. Darah dari luka yang belum sepenuhnya tertangani mulai mengalir cukup deras, menambah ketegangan dalam situasi tersebut. 

Pak Hari segera bergegas memapahku dengan cepat, wajahnya penuh kecemasan, lalu gue dengan cepat dimasukan ke sebuah mobil polisi yang dengan cepat melaju ke IGD rumah sakit terdekat. 

***

"Nii-chan! Nii-chan jangan mati...!" teriak Chika histeris di samping gue, matanya sembab dengan air mata yang terus mengalir deras. 

"Ngawur woy, gue masih hidup!" gue coba bercanda, menyentil lembut kepala Chika dengan jemari yang masih terasa lemah. Tapi, adek gue ini masih aja menangis tersedu-sedu, tubuhnya bergetar dengan penuh kecemasan.

"Reka! Daijoubu?! (Kamu nggak apa-apa?) Itai ka?! (Sakit nggak?)" suara nyokap juga terdengar dari sisi lain ranjang rumah sakit. Wajahnya penuh kecemasan, gemetar sambil menggapai-gapai perut gue yang berbalut perban.

"Iya, Mah, Reka nggak apa-apa. Cuma luka ringan aja kok," jawab gue mencoba menenangkan.

"Iya Mah, tenang," ujar bokap sambil menjelaskan kepada nyokap dengan tenang, "sayatannya nggak sampai ke organ dalam Reka, jadi Reka cuma butuh jahitan saja dan istirahat beberapa hari."

"Anata! Demo! (Sayang! Tapi!)" tegas nyokap, suaranya penuh dengan kekhawatiran dan ketegasan. Dia tetap berdiri dengan sikap yang tak berubah meski telah dijelaskan dengan rinci.

Bokap dan nyokap akhirnya mulai beradu argumen dengan bahasa Jepang yang kental, mencoba memastikan semuanya baik-baik saja. Di tengah keributan itu, gue cuman bisa berbaring di ranjang rumah sakit, menenangkan Chika yang masih terus menangis sambil mengusap rambutnya dengan lembut.

"Reka, sekarang kamu jelasin semuanya ke mamah mu ini biar jelas." Suara bokap membuat tangan gue yang lagi mengusap rambut Chika berhenti. Lalu gue liat mata bokap yang menyerah menenangkan nyokap yang masih cemas. 

Akhirnya dengan pasrah gue jelasin semuanya.

***

Gue jelasin kronologi kejadian dengan sejelas-jelasnya tanpa ada yang gue tutup-tutupin. Chika langsung mewek lagi, kali ini lebih keras, sambil terus meminta maaf karena merasa semua ini gara-gara dia kenal sama Bimo. 

Nyokap gue sempat kaget dan marah, karena anak laki-laki satu-satunya ini sangat nekat dan gegabah. Bokap juga nggak lepas dari amarah nyokap gara-gara nggak berusaha menghentikan rencana nekat gue. 

Setelah tangis Chika dan amarah Nyokap reda, gue bisa istirahat sebentar di kasur gue, sambil memutar-mutar channel TV mencari acara yang menarik. Sampai akhirnya, pintu kamar inap gue diketuk dari luar.

"Sore tante," ujar suara di balik pintu.

"Eh Angga, Adit. Kalian mau jenguk Reka yah," jawab nyokap dengan ramah.

"Betul tante. Reka nya bangun?" tanya Adit.

"Ada tuh lagi istirahat, ayok masuk," jawab nyokap.

Ternyata yang datang adalah dua sahabat gue. Mereka juga bertanya kenapa gue bisa berakhir berbaring di ruang inap rumah sakit dengan perut dibalut perban. Belum sempat gue cerita, pintu kamar lagi-lagi diketuk.

"Sore tante, kita temen-temen SMA nya Reka," ujar suara di balik pintu.

"Oh kalian temen SMA nya Reka toh," nyokap gue mengangguk.

"Rekanya ada tante?" tanya suara cowok di balik pintu. Gue hapal suaranya adalah suara Fahmi, sahabat baru gue di SMA.

"Ya ada lah bego! Kan gue yang lagi di rawat!" jawab gue nggak tahan untuk menjawab pertanyaan bodoh Fahmi.

"Reka kok gitu jawabnya?" tegur nyokap gue. Gue cuma bisa nyengir mendengar teguran nyokap gue. Setelah itu, Fahmi masuk dengan beberapa teman sekelas gue lainnya. Ada Ilham si ketua kelas, Vera, dan Nadya. Gue menunggu sosok lain di balik pintu, tapi ternyata hanya mereka aja yang datang.

"Cuman kalian yang dateng?" tanya gue.

"Emang nunggu siapa lagi?" tanya Vera.

"Febi?" lanjut Nadya dengan nada sedikit menggoda. Gue yakin kalau Nadya sepenuhnya tahu hubungan gue sama Febi. 

"Emang kenapa si Febi harus datang?" tanya Ilham. Dari pertanyaan ini gue agak lega, sepertinya mayoritas teman sekelas gue belum tahu kalau gue dan Febi pacaran. Kecuali Fahmi yang sekarang sering nongkrong bareng gue, tentunya dia tahu gara-gara mulut Angga yang nggak bisa dijaga. Dan juga Nadya.

"Ngaco si Nadya nggak usah didengerin Ham," ujar gue santai.

Setelah itu gue kembali menjelaskan kronologi kejadian. Hmm, Deja Vu? 

Di akhir cerita gue, gue lihat ekspresi muka mereka. Ada yang takjub dengan kenekatan gue, ada yang kagum dengan prediksi gue, dan ada yang cemas dengan kondisi gue sekarang. Lalu kita ngobrol-ngobrol ringan, saling bercanda sampai akhirnya mereka pamit untuk pulang. Kecuali Vera yang katanya menunggu jemputan.

"Dek, ambilin HP gue dong," suruh gue ke Chika yang sedang bermain PSP barunya itu. Setelah menerima HP gue, gue sering-sering cek HP berharap ada pesan dari Febi.

"Nih buahnya udah gue kupasin," ujar Vera menawarkan buah yang tadi dibawanya.

"Eh, elu belum cabut Ver?" tanya gue bingung.

"Belum, nunggu jemputan," ujarnya datar. Dia memperhatikan gue yang terus-menerus mengecek HP. "Nungguin SMS dari Febi?"

"Eh...itu... nggak," jawab gue gelagapan.

"Gue udah tahu kok kalau kalian pacaran."

Gue terdiam mendengar perkataan Vera. Lalu dengan cemas gue bertanya, "Anak sekelas juga pada tahu?"

"Cuman gue dan Nadya yang tahu. Fahmi juga kan? Secara dia sering nongkrong bareng lu kan?" jawaban Vera membuat gue menarik napas lega.

"Kalau Nadya gue bisa nebak kenapa dia tahu. Kalau elu, kenapa bisa tahu gue pacaran sama Febi?" tanya gue.

"Gue sering aja lihat kalian sembunyi-sembunyi pegangan tangan, sering ngobrol pakai suara kecil kalau berdua," jawabnya. "Justru gue bingung kenapa yang lain nggak ngeh kalian pacaran."

Well, gue harus lebih hati-hati lagi kalau mau mesra-mesraan bareng Febi.

"Eh jemputan gue udah dateng, gue cabut dulu yah" ujar Vera sambil membereskan barang sebentar lalu pamit ke Chika. 

Setelah vera pergi gue kembali terpaku ke HP gue. lalu gue putusin buat nelpon febi. lama nada dering berbunyi sebelum akhirnya berhenti dengan suara panggilan tidak di angkat. beberapa kali gue coba hubungi febi tapi masih nggak di angkat. 

Gue mulai bertanya-tanya, 'Feb kamu nggak cemas aku terluka? Feb kamu dimana sih?'

Nächstes Kapitel