webnovel

31. Cemas

Rani mengulas senyum ramah sekaligus cemas, Dipersilahkannya Lintang masuk kedalam rumah sambil membantu Rino berjalan masuk.

Lintang hendak mendudukkan Rino di kursi tapi Rani mencegahnya cepat, "Jangan di situ nak Lintang, Tolong bantu Tante bawa dia ke kamar ya?" Pintanya, Lintang membalas anggukan kemudian lanjut menuntun Rino ke kamarnya.

Setibanya Ia segera membantu Rino berbaring di tikar yang menjadi alas tidurnya. Lintang menatap miris Rino dan melirik ruangan itu diam-diam. Bersih, namun kurang lengkap menurutnya. Tidak ada ranjang di sini, Lemarinya pun sangat kecil dan hanya cukup untuk menyimpan baju Rino saja.

Rani, "Nak Lintang terima kasih kamu sudah mau mengantar Rino pulang, Tante benar-benar cemas dengannya" Wanita paruh baya itu berjalan mengitari Lintang lalu mengambil selimut dan memakaikannya di tubuh Rino.

Lintang, "Gak papa Tante, Santai aja" Balasnya.

Melirik Rino yang sepertinya terlelap, Rani berkata, "Nak Lintang, Ayo kita bicara di luar, Rino sepertinya tidur" Lintang balik melihat Rino dan benar saja, Remaja tersebut telah terlelap. Lintang balik menatap Rani kemudian mengangguk.

Lintang, "Sejak kapan dia sakit seperti ini?" Penasarannya. Keduanya sedang duduk di ruang tamu.

Rani menjawab, "Sekitar seminggu lebih yang lalu, Sore itu Rino tidak pulang ke rumah, Tante sangat cemas sekali. Lalu tiba-tiba saja paginya Tante sudah menemukannya berbaring di kamarnya" Jelas Rani menceritakan kejadian 11 hari yang lalu.

Lintang, "Ooh jadi begitu ya..." Gumamnya dengan wajah berkerut. Ada yang janggal menurutnya. Pertama, Dengan siapa Rino terakhir kali setelah mereka pulang sekolah? Itu bisa menjadi petunjuk untuk menemukan pelaku yang menculik Rino.

Kedua, Jika Rino benar-benar diculik lantas mengapa remaja itu bisa kembali pulang dalam keadaan sehat-sehat?

Ketiga adalah apa yang telah dilakukan si penculik sehingga Rino mengalami demam dan muntah-muntah seperti itu?

Banyak lagi hal-hal lainnya yang masih jadi pertanyaannya. Dia melirik wanita yang hanya berjarak meja darinya, "Tante, Maaf jika Lintang lancang bertanya, Tapi apakah Tante tau dengan siapa Rino sering dekat belakangan ini?"

Rani berpikir sebentar, "Eeemm... Menurut Tante tidak ada siapapun selain kamu, Tenang Tante tidak akan menuduhmu, Kamu anak yang baik"

Lintang, "Tante yakin tidak ada siapapun?" Rani mengangguk mantap.

Arwin...

Ia mengerenyitkan dahi. Mana mungkin kakaknya itu yang menculik Rino? Hah... Mustahil pikirnya.

Rani, "Eh hampir lupa, Tunggu sebentar ya Nak Lintang, Tante mau buatkan minum dulu"

Lintang, "Gak usah repot-repot Tante" Tolaknya halus.

Rani, "Jangan sungkan begitu, Tante akan lebih berterima kasih kepadamu bila menerima apa yang Tante buat"

Akhirnya remaja itu pasrah saja. Sifat Rino yang kekeuh ternyata menurun dari Bundanya, Pikir Lintang.

Berselang beberapa menit kemudian Rani keluar dari dapur dengan secangkir kopi panas di tangannya. Tersenyum, Rani hendak meletakkannya di atas meja sebelum teriakan panik dari Randa yang tiba-tiba masuk mengagetkan keduanya.

Randa, "Bun! Abang hilang!!" Pekiknya kesetanan, Di sela-sela acara panik tatapannya bertabrakan dengan wajah datar Lintang.

Rani, "Abangmu sudah ada dikamarnya, Tadi dia diantar pulang sama Nak Lintang" Jelasnya mengumbar senyum hangat kepada anak keduanya.

Tidak menghiraukan kata-kata Bundanya, Randa berjalan menghampiri Lintang dan tanpa berkata-kata melayangkan sebuah bogem mentah di pipi yang lebih tua.

BUGH!

Rani memekik, "Astaghfirullah!" Nyaris ia tumpahkan kopi ditangannya.

Belum sempat Lintang bangkit, Randa lebih dulu menarik kedua kerah seragamnya hingga remaja itu berdiri paksa, Lantas berteriak keras, "Lo apa-apaan hah?! Mau bikin gue sama bunda mati gegara sikap seenak jidat Lo?! Gimana jadinya kalo bukan Lo yang jemput dia terus Abang gue hilang lagi kayak kemarin-kemarin?!" Murka Randa.

Rani, "Randa!!" Tegurnya. Tapi anaknya begitu tuli sehingga tidak mendengar perkataannya.

Lintang menjilati sudut bibirnya yang berdarah, "Gue udah capek-capek anterin Abang Lo pulang dan Lo malah bersikap gini ke gue?"

Randa, "Seharusnya Lo tanya dulu sama dia, Ada nggak yang jemput dia! Lo gak tau gimana paniknya gue nyariin Bang Rino! Satu sekolahan Lo gue jelajahi, tau nggak?!" Dia mengguncang-guncang kerah seragam Lintang hingga pemuda itu ikut bergerak-gerak.

Lintang, "Gimana gue mau tanya kalo keadaannya udah hampir gak sadar kek gitu dodol?!" Lintang balas membentak remaja sawo matang itu.

Berdecak, Randa melepas cengkramannya dari kerah baju Lintang. Meraih kopi di tangan bundanya dan meminumnya guna memenangkan pikirannya yang kacau balau.

Lintang membersihkan pantatnya lalu duduk semula dikursinya seakan tidak terjadi apapun kecuali bekas keunguan di pipinya. Dalam hati dia menyumpah serapahi Randa, Harus diakuinya pukulan kedua kakak beradik itu memang tidak main-main.

Tersadar dari lamunannya, Rani mendapati tangannya kosong. Dia kesal melihat bahwa kopi yang dibuatnya untuk Lintang malah berakhir di mulut Randa.

Rani, "Randa, Itu kopi untuk Lintang bukan kamu!" Tegurnya gemas.

Randa membalas Bundanya, "Biarin, Anak kek dia gak pantes dikasih air dari rumah kita, Cocoknya dikasih comberan!" Ingin Rani menggeplak kepala putranya Itu dengan baki di tangannya, Mulut anaknya yang satu ini benar-benar tidak sopan.

"Kenapa ribut-ribut..." Ketiganya menoleh ke asal suara. Disana tampak Rino tengah berdiri menahan berat tubuhnya dengan bersandar di salah satu tiang pintu.

Randa langsung berdiri tegap hendak menghampiri Rino tapi batal akibat Lintang yang mendahului. Kesal, Randa kembali duduk dan melampiaskan amarah pada kopinya.

Lintang, "Ngapain Lo bangun, Sana tidur lagi, istirahat" Usirnya setelah berdiri di depan Rino.

Rino, "Aku sudah tidak mengantuk lagi, Bunda, Buatin Rino bubur ya" Ucapnya pelan tapi masih didengar oleh Rani. Membuat gestur oke, Wanita itu berbalik ke dapur.

Bermaksud berjalan ke tempat adiknya duduk, Rino malah hampir terjatuh ke lantai jika Lintang tidak menangkapnya.

Lintang, "Lo itu bebal banget ya dikasih tau!" Omel Lintang.

Randa, "Ngaca dulu situnya, sama atau nggak!" Sindirnya dari belakang.

Berbalik, Lintang berkata, "Diem Lo!" Serunya. Tapi malah dibalas Randa dengan menjulurkan lidahnya mengejek dan kembali menyeruput kopinya dengan tenang.

Mencibir, Dia kembali berbalik kepada Rino, "Lo mau kemana biar gue anterin" Tawarnya.

Rino menunjuk, "Kesana"

Tanpa berbicara lagi, Lintang segera memapahnya menuju ruang tamu. Saat sampai Randa segera berdiri dan membantu Rino duduk di sampingnya. Memastikan jika remaja itu benar-benar nyaman dengan posisi duduknya, Lintang mendesah pelan kemudian ikut duduk di tempatnya sebelumnya.

Sunyi. Kecuali bunyi Randa menyeruput kopinya, Mereka tidak bersuara sama sekali. Hingga Rino membuka suaranya, "Terima kasih Lin, Karena sudah repot-repot membawaku pulang, Apa kamu mengantarku dengan motor?"

Lintang menggeleng, "Gak, Gue tinggal motor di sekolah, Naik taksi kemari" Jelasnya.

Rino, "Lalu motormu bagaimana?"

Lintang, "Gampang, Biar orang di rumah yang ambil" Sahut remaja itu enteng.

Randa berhenti minum kopi terus melirik Lintang dengan tatapan sulit diartikan, Pantas saja di sekolah Rino dia mendapati sebuah motor yang sepertinya tidak asing dimatanya. Tapi bukan itu yang menjadi tujuannya jadi Randa masa bodoh.

Dan sampai di rumah pun ia juga tidak menemukan kendaraan apapun di depan rumahnya. Itulah kenapa Randa begitu panik.

Randa, "Thanks udah nganterin Abang gue" Ujarnya seketika. Rino tersenyum dan mengelus-elus sayang kepala Randa. Meski kulitnya sawo matang, Namun rona kemerahan di wajahnya tercetak jelas di sana.

Lintang mendengus geli, "Berasa kek lihat Pemilik ngelus anjingnya" Ucapnya sarkas.

Randa, "Heh! Ngomong apa Lo barusan?!" Jelas dia merasa tersinggung dengan ucapan remaja itu.

Lintang mengendikkan bahu acuh. Rino terkekeh, "Sudah Ran, Habiskan saja kopimu" nasihatnya.

Nächstes Kapitel