webnovel

Chapter 21 Lead The Way

(TOKYO, 11 DESEMBER)

"Hoam," Uminoke terlihat menguap ngantuk sambil keluar dari kamar. Ia melihat Line yang duduk di sofa sambil membaca sebuah buku.

"Line... Apa kau ingin sarapan, aku bisa membuatkan-nya untukmu," Uminoke mendekat.

"Tak perlu, aku sudah selesai baru saja, hanya kau yang kurang untuk makan," Line menunjuk meja makan yang penuh dengan makanan enak. "Hah... Mustahil.... K-kau yang membuat semua ini..." Uminoke menatap tak percaya.

"Ya, kau hanya perlu memakannya."

"(Di-dia bahkan bisa memasak sebagus ini, benar-benar hebat,)" Uminoke masih belum percaya dengan ekspresinya yang teruwah-uwah.

"Jika sudah selesai, kemasi barangmu, kita akan pergi."

"Eh... Pergi ke mana?"

"Mencari tempat berlindung, di sini terlalu dekat dengan benteng itu, bukannya kita sudah membahasnya kemarin."

"Ah, aku mengerti, tapi bisa aku bertanya satu hal padamu, Line?" Tatap Uminoke.

"Ajukan..."

"Sebenarnya... Apa kau benar-benar dari militer dan menjadi kenalan untuk Mas Labis?" tanya Uminoke. Hal itu membuat Line terdiam dan menutup bukunya.

"Itu hanya masa lalu, jika kau ingin tahu... Aku minta kau harus mencari tahu sendiri, Uminoke..." kata Line dengan tatapan serius.

"(Dia tak mau mengakuinya... Dan... Aku merasa aneh saat melihat rambutnya dari tadi,)" Uminoke terdiam melirik ujung rambut bagian bawah Line yang terlihat sedikit berwarna perak.

"(Apa dia mengecat rambutnya yang berwarna perak menjadi hitam?)"

Sementara itu, Roland dan Imea berhasil mengendarai motor. Mereka melaju di jalan yang lancar di tengah antah-berantah. Namun suara keras muncul dari belakang yang agak jauh. Hal itu membuat Roland berhenti. "Apa itu tadi?"

"Suaranya seperti mobil yang tertabrak, apa ada orang?" kata Imea.

"Kita harus melihatnya," Roland membalas lalu memutar balikkan kemudi motor dan kembali ke jalan sebaliknya. Ia memberhentikan mobilnya ketika melihat bekas rem ban mobil yang terjiplak di jalan. Tanda rem itu artinya baru saja ada mobil yang kehilangan kendali masuk ke jurang hutan. Imea turun dan melihat dari pinggir jalan. Ia melihat ada mobil biru yang berhenti karena tertabrak sebuah pohon di sana hingga membuat pohon besar di sana bergerak sedikit akan tumbang, dengan asap yang banyak menandakan mobil itu baru saja dikendarai seseorang.

"Mas Roland, apa ada orang di sana?" Imea menatap.

"Sepertinya aku juga berpikir begitu, aku akan melihat," Roland turun mendekat.

Namun dari dalam mobil itu muncul seorang wanita yang terjatuh dari dalam dan jatuh keluar di bawah mobil. "Uhuuk... Uhuk," dia berlumuran darah mencoba merangkak keluar. Namun langkahnya terhenti karena Roland menodongkan pistol tembakan padanya dengan satu tangan kanannya dan tatapan serius sekaligus waspada itu.

Wanita itu menengadah kesakitan dan merintih. "Tolong aku."

Roland terdiam lalu mengatakan sesuatu. "Apa kau tergigit?"

"Apa... Tidak... Aku mohon tolong," wanita itu membalas dengan kesakitan.

"(Dia tak memiliki luka gigitan.) Kau hanya luka kecil... Beruntunglah," Roland mengulur tangan, tapi wanita itu malah menatap dingin.

"(Lelaki ini... Bukannya menggendongku... Malah disuruh berdiri... Tidak lihat kakiku sakit,)" dia menatap kesal.

"Ada apa... Oh aku mengerti... Sebentar... Imea!!" Roland memanggil Imea dari atas. Lalu Imea memunculkan diri.

"Bisakah aku menolong wanita ini?"

"... Tolong dia, Mas Roland," balas Imea.

"Baiklah... Ayo ikut aku," Roland menggendong wanita itu di dada.

"(Pantas saja... Dia harus minta izin perempuan itu dulu... Apa perempuan itu pacarnya?)" pikir wanita itu.

Tak lama kemudian mereka bertiga berada di pinggir jalan samping motor Roland. Ia sendiri berdiri melihat keadaan sekitar sementara Imea membantu menemani wanita tadi yang duduk di sampingnya. "Apa kamu baik-baik saja?" tatap Imea.

"Ya, aku sudah lebih baik, kakiku juga sudah lebih baik, terima kasih."

"Tidak masalah, kalau boleh tahu... Bisa kau ceritakan tentang dirimu?" Imea menatap.

"... Namaku Anna. Aku mengendarai mobil baru saja setelah mengambil beberapa makanan dari toko. Awalnya, sebelum kiamat ini terjadi aku tinggal bahagia bersama suamiku dan putriku. Namun suatu malam, putriku mengetuk pintu kami dengan tak wajar. Suamiku yang membukanya, dan kami terkejut melihatnya berlumuran darah. Aku semakin takut ketika putriku sendiri menyerang ayahnya dengan menggigit lehernya hingga sobek. Aku terkejut dan segera mendorong putriku keluar kamar dan menguncinya di luar. Sementara suamiku sekarat di tempat tidur. Aku mencoba menolongnya karena aku adalah perawat. Namun tak bisa... Aku kehilangannya, tapi rupanya putriku juga tergigit membuatnya tewas karena gigitan keras," wanita yang bernama Anna itu menangis di akhir kalimatnya.

Sementara Roland sedikit mendengar suara dari mobil yang dikendarai Anna tadi. Dia lalu berjalan melihat dari atas jalanan. Mobil itu mengeluarkan asap sangat banyak.

"Tak lama kemudian dia terbangun dengan hal yang aneh dan mencoba menyerangku. Aku juga mencoba untuk menghindar hingga aku terlempar ke kamar mandi. Dengan segera aku mengunci pintu kamar mandi dan mencoba membuka pintu ventilasi. Namun karena panik aku lama membukanya dan hal itu membuat suamiku berhasil menjebol masuk pintu kamar mandi. Untungnya aku berhasil keluar dan mengendarai mobilku sendiri selama 5 hari mencoba berjalan terus menerus agar menghindari mereka semua. Aku tak tahu sudah berapa banyak yang telah aku terobos begitu saja. Aku mencari makan dan melihat semua kekacauan yang terjadi. Lalu di televisi umum yang masih menyala dengan berita rekaman, aku melihat semua rekaman itu di mana semua orang menggila dan menyerang sesamanya. Hal itu membuatku takut dan terus mengemudi hingga aku kelelahan dan membanting setir," kata Anna.

"Apa kau masih kuat sekarang?" Imea menatap lalu Anna mengangguk.

"Hei... Kalian cepat lari... Aku melihat ada terowongan di sana," Roland berlari ke arah mereka dengan panik.

"Ada apa, Mas Roland?" Imea menatap.

"Mobil itu akan meledak kencang. Kita harus pergi," Roland menarik tangan Imea, diikuti Anna yang berlari mengikuti mereka ke terowongan jalan.

Seketika, mobil Anna meledak dan durasi ledakannya sangat tinggi membuat hampir mengenai terowongan mereka. Untungnya mereka selamat di terowongan itu, tapi motor Roland tidak.

Motor itu meledak sia-sia membuat Roland terpelongoh tak percaya melihat itu. "Haizz... Ini semua sia-sia," Roland menjadi kecewa dan putus asa.

"Mas Roland," Imea memegang bahunya, lalu Roland menoleh. Imea menunjuk di sisi lain terowongan ada suara kecil beberapa orang. Roland berjalan ke sisi itu untuk mengecek, dan rupanya ada orang di sana. Siapa sangka bahwa itu Tuan Rudi dan Nona Bertha.

"... !!" Roland terkejut.

"Roland..." Tuan Rudi menoleh, lalu muncul Nian yang ada di belakang Bertha.

"Kenapa kalian ada di sini?" Roland mendekat.

"Kau tidak tahu apa yang baru saja terjadi. Rumahku terserang para makhluk itu, dan aku membawa mereka berdua menggunakan sebuah mobil. Sampai di sini, kami mendengar suara ledakan dan memberhentikan mobil," kata Tuan Rudi.

"Kalau begitu..." Roland menambah, namun ia berhenti bicara ketika mendengar suara dari sisi lain terowongan. Mereka semua menoleh dan rupanya banyak sekali zombie yang berjalan ke arah mereka. Mereka telah datang dengan sangat banyak karena mendengar suara ledakan tadi dan sekarang menuju ke arah terowongan tempat di mana mereka saat ini.

"Gawat... Cepat masuk ke mobil!!" kata Roland. Dengan segera mereka berlari masuk mobil. Nian juga digendong Roland dengan cepat. Lalu Nona Bertha dan Tuan Rudi duduk di bangku depan, dan yang lain di bangku belakang.

"Anna, kau baik-baik saja?" Imea menoleh ke bangku belakang yang ada Anna sendiri. "Aku baik-baik saja."

"Baiklah, aku akan mulai mengendarainya," kata Roland yang menginjak gas. Untungnya mereka dapat berjalan menjauhi kawanan itu. Sementara Nian yang terpangku Imea menjadi ketakutan sambil memeluk Imea.

"Nian, apa kau baik-baik saja?" tatap Imea dengan khawatir.

"Aku sangat takut... Hiks... Hiks," Nian menangis. Imea yang melihat itu juga hanya diam menerima semuanya. Tapi dia menghela napas panjang dan mengusap air mata Nian.

"Nian... Dengar kan aku... Ini semua akan baik-baik saja," kata Imea.

"Aku tidak bisa percaya itu, hiks...."

"Um... Begini saja, jika kau berhasil selamat dan tak menangis, aku bisa mengakui kalau Nian itu kuat," Imea mencoba meyakinkan Nian dengan cara lembutnya. Lalu Nian berhenti menangis.

"Beneran?"

"Tentu... Janji kelingking," Imea menunjukkan kelingkingnya, lalu Nian juga mengangkat kelingkingnya. Dia tersenyum manis. "Terima kasih, kakak Imea."

Roland yang melihat itu dari kaca dalam mobil menjadi tersenyum kecil melihat itu. "(Mungkin Imea adalah perempuan yang baik dan lembut, tapi kekuatan dan keberanian memang juga harus dibutuhkan untuk hal ini.)"

Setelah lama berjalan, Tuan Rudi melihat ada pusat perbelanjaan yang besar di depan.

"Bagaimana jika berhenti di sana dulu... Di sana ada banyak persediaan pastinya," dia menatap Roland yang mengemudi. Lalu Roland memarkirkan mobilnya.

"Kita masuk ke sini," kata Tuan Rudi.

"Bagaimana jika berbahaya? Aku masih kurang yakin," Roland menatap.

"Di sini sepi, tak ada siapapun," Tuan Rudi membalas, lalu mereka keluar dengan Roland yang masih menggendong Nian yang harus dijaga agar dia tak ketakutan lagi.

Namun tiba-tiba beberapa zombie terlihat dari luar dan berlari mendekat ke mereka.

"Cepat buka pintu sampingnya," Anna berteriak. Tuan Rudi mengambil besi panjang dan mencoba membobol pintu samping pusat perbelanjaan.

Namun tak bisa, sementara zombie itu menyerang Imea. "Ah..." Imea terkejut, untungnya Roland menembak zombie itu tepat di kepala. Ia juga menembak gagang pintu membuat pintu itu terbuka. Mereka bisa masuk dan mengunci pintunya.

Di dalam pusat perbelanjaan sangatlah sepi dengan penerangan yang minim. "Aku akan mengecek sekitar," kata Tuan Rudi.

"Aku akan menemani," Roland berjalan mengikutinya, namun sebelumnya ia menurunkan Nian. "Kakak jangan pergi lagi," Nian menahan baju Roland.

"Nian... Kakak janji akan menjagamu," Roland membelainya lalu berjalan pergi mengikuti Tuan Rudi. Imea lalu mendekat ke Nian dan menemaninya.

"Nian... Sementara kau sama aku ya... Jangan khawatir, mereka tak akan jauh dari sini," tatapnya dengan ramah. Lalu Nian mengangguk.

Nächstes Kapitel