Aku termangu di atas tempat dudukku.
Mendapati sebuah pesan yang dikirim oleh seseorang beberapa waktu yang lalu. Isinya sederhana, hanya mengingatkanku untuk tak menunda makan dan selalu menjalankan ibadah seperti biasa. Saat aku membacanya, hatiku menangis dan perasaan rindu muncul saat itu juga. Ah, aku rindu ayahku. Sudahlah cukup rindu yang tak pernah bisa ku obati untuk ibuku yang entah sampai kapan itu berlalu.
Seakan tidak ada ujungnya merindukanmu hanya satu obat yang bisa menyembuhkanku yaitu bertemu...
***
Hari-hari berlalu waktu berjalan semakin cepat sisa 4 hari menanti kepulangan ayah. Setiap hari aku dan ayah selalu memberi kabar lewat pesan dan telepon untuk mengobati rasa rindu.
Bosan sekali rasanya setiap hari tanpa ayah, tidak ada yang mengantar dan menjemput sekolah. Ahhh aku sangat merindukan ayahku.
•
•
•
NEXT
Satu hari tersisa kepulangan ayah
Dingin sekali malam ini. Angin bertiup dengan lantunan sunyi dan damai. Bintang-bintang sebagian bersembunyi di balik awan tebal. Bulan purnama melingkar indah melayang di angkasa beserta cahaya temaram yang selalu menyertainya.
Kuresapi aroma cokelat hangat dalam gelas di genggaman tanganku, setelahnya kuresap cairan manis tersebut sedikit. Rasa yang begitu manis menyeruak masuk memanjakan lidahku, menukik ke dalam rongga dalam tubuhku, lalu menyebarkan sensasi menyegarkan ke seluruh tubuhku dan membuatku merasa lebih baik serta tidak kedinginan seperti sebelumnya. Kuletakkan cokelat hangat yang sudah habis setengah gelas di dekat jendela kamar. Perhatianku dialihkan oleh dering pesan di sebelah tempatku duduk sekarang. Aku menatap layar ponsel pintarku. Oh, dari ayahku!
"Adira anak ayah, malam ini ayah pulang. Kabarkan ke bibi ya sayang" tulisnya lewat pesan.
Senyum merekah di bibir tipis mungilku. Aku menyentuh layar, lalu mengetik dengan cepat dan semangat di layar touchscreen tersebut.
"Wah, beneran ayah? Sudah sampai mana? Ayah hati-hati di jalan. Aku kangen banget sama ayah!"
Beberapa detik kemudian balasan dari ayah kembali masuk ke pemberitahuan, muncul di layar paling atas.
"Iya Sayang, kasih tau bibi juga ya siapkan makanan enak untuk ayah hehe" candaan ayah disertai emoji yang ditunjukkan bahwa dia sedang bahagia.
"Haha ayah saja yang ngomong gih ke bibi. Oiya, kalau sudah di rumah ayah harus jalan-jalan sama Adira sampai puas. Ya, yaah? Harus ya! Udah kangen banget nih sama ayah."
Tanpa sengaja aku menjatuhkan gelas berisi cokelat hangat ke luar jendela. Gelas tersebut pecah berkeping-keping di dekat bunga mawar dekat kamarku. Cairan cokelat manis itu menghambur ke segala arah karena sudah tidak ada lagi wadah yang menampungnya, mengalir ke tempat yang lebih rendah. Tentu saja karena hal tersebut aku terkejut dan secara spontan menjatuhkan ponsel pintarku ke kasur.
"Hoalah, pake jatoh segala! "
Sekejap angin malam berhembus pelan memasuki kamarku. Meniup tengkukku perlahan sehingga membuatku agak merinding. Cepat-cepat aku menutup jendela kamar dan tirai biru. Setelahnya aku kembali mengambil ponsel pintarku. Belum ada balasan chat dari ayah. Perasaanku kok jadi tidak enak ya. Apa ayah sudah tidur, ya? Oh. Mungkin iya kali. Kelelahan atau apapun itu alasannya. Uuuh. Aku benar-benar rindu ayah.
Malam semakin larut. Mataku mulai terasa berat. Secara perlahan mataku mulai tertutup menuju ke alam mimpi. Kesadaranku telah hilang sepenuhnya.
Sekitar jam dua aku bangun karena kaget oleh dering telepon dari ponsel pintarku. Dengan gerakan yang memiliki kesan malas aku mengangkat telepon entah dari siapa.
"Assalamu'alaikum. Dengan siapa, ya? Masih sepagi ini telepon. Mengganggu orang tidur saja."
"Wa'alaikumsalam. Sebelumnya kami minta maaf, apakah benar ini dari Keluarga Bapak Dodi Kusuma? Kami dari Rumah Sakit mengabarkan bahwa Bapak Dodi telah mengalami kecelakaan. "
Saat itu juga kesadaranku seketika berfungsi siaga satu
"Jangan bercanda, hei!"
"Kami benar-benar dari pihak Rumah Sakit. Mohon keluarga segera konfirmasi ke rumah sakit."
"Bagaimana keadaan ayah saya pak?, Dia baik-baik saja, 'kan? Dia tidak kenapa-napa, 'kan?"
"Keadaan Bapak Dodi akan kami jelaskan setelah keluarga konfirmasi ke sini. Terima kasih. Wassalamu'alaikum."
Telepon diputus dari pihak rumah sakit.
Aku berlari ke kamar bibi. Menggedor-gedor dan memanggil berteriak panik memanggilnya. "BI,BI,BIBI ARUM.... AYAH, AYAH KECELAKAAN. BANGUN, BIBI, BI...!"
"Astagfirullah, iya Adira iya tunggu bentar," sontak jawab bibi dalam keadaan panik.
Aku berlari ke kamar mandi guna untuk bersih-bersih dan bersiap-siap untuk pergi ke tempat rumah sakit.
"pak cepat gas sedikit lagi" teriakku pada pak sopir. dari pada waktu yang biasa ditempuh ke rumah sakit itu. Jarak rumah sakit dari rumahku 60 KM itu ku lintasi dengan hati yang gelisah.
Kurang lebih satu jam aku sampai di rumah sakit. Sesampainya di parkiran, ketika bibi ku hendak menutup pintu mobil "Adira tunggu bibi...!" teriakkan bibi berlari menghampiriku. Ada seseorang yang memanggilku dari belakang.
"Adira, Adira" sapaaan pria berpakian batik bawahan celana hitam kepadaku nampaknya dia teman ayahku.
Aku pun menoleh
"Iya Om.." jawabku sambil berjalan ke hadapannya.
"Saya Om Dimas teman ayah mu, mari ikut saya."
Om Dimas langsung membawaku dan bibiku ke ruangan dimana tempat ayahku dirawat.
Dalam perjalanan menuju ruang ICU, Om Dimas bercerita sedikit kronologi kecelakaan ayahku.
"Ayahmu mengalami kecelakaan ketika dalam perjalanan pulang setelah dari tempat kerjanya sehentak mobil yang ditumpanginya menabrak pohon, namun tidak satupun orang yang melihat gimana kronologi kecelakaan itu bisa terjadi," cerita om Dimas kepada ku.
Om Dimas juga bercerita bagaimana keadaan ayahku yang sedang dirawat pada saat sekarang ini.
"Ayahmu mengalami patah kaki dan bocor di bagian keninngnya," keluh om Dimasi kepadaku seraya berhiba hati.
Perkataan om Dimas tersebut tentu menakutiku, tapi aku bersikeras untuk meberanikan diriku masuk ke ruangan ICU Itu, aku melihat ayahku terbaring dan tidak sadarkan diri di atas tempat tidur.
Aku melihat semua itu dengan menangis pelan, bibi mencoba menghibur dan menguatkanku dengan memegang tangan yang kuat dan mengajakku berjalan sebab tubuhku lemah karena kesedihan yang kualami.
iba-tiba seorang perawat datang dan bertanya. "Siapa keluarganya bapak Dodi Kusuma?, silahkan ke ruangan administrasi". "aku adiknya" jawab bibiku. Bibi mengikuti perawat tersebut ke ruang administrasi.
"Ayah.. mengapa engkau belum bangun juga? Apakah engkau tak mendengar tangisanku?" merintih sedih dengan dekapan tangan ayah
****
Ayah…
Lelaki yang tidak mengandungku
Padamu rahasia semesta terukir pada pundakmu
Tetesan dan aroma keringat asam di setiap ragamu
Menjadi tanda akan cinta yang tidak pernah usai
Setiap jejak tapak kakimu
Mengukir kegigihan pada sang jagat
Engkau bukan hanya lelaki
Engkau adalah bayangan cinta yang sejati
Bersama embun fajar, dan angin basah di luar gedung ini kusertakan do'a,
"Semoga engkau cepat membaik ayah"