Sudah enam jam kami menunggu ayah untuk sadar. Kini hanya aku yang menjaga ayah karena bibi harus bertemu dengan dokter.
Kuperhatikan wajah ayah. Terlihat pucat dan memar karena benturan dari kecelakaan itu.
Terdengar suara pintu terbuka, aku mengalihkan perhatianku kearah pintu. Bibi datang dengan penuh harap bahwa kakak nya itu sadar saat dia berada di luar tadi.
Bibi menghampiriku, dari wajahnya aku mengerti pasti apa yang akan bibi tanyakan.
"Ayah belum sadar, bi" aku tersenyum agar bibi tidak khwatir padaku karena terlalu bersedih.
"Sebaiknya Adira istirahat dulu, adira juga harus jaga kesehatan. Jangan sampai Adira jadi ikutan sakit juga" bibi yang tak tega melihat wajahku yang terlihat lelah.
"Tapi Adira gak mau pulang, bi. Adira mau istirahat disini saja sampai menunggu ayah sadar"
"Nggak, Adira harus istirahat di rumah biar pak sopir yang jemput, nanti kalo ayah sudah sadar bibi kabari Adira"
"Pokoknya Adira mau istirahat disini" aku memang sangat keras kepala.
"Yasudah terserah Adira saja, yang penting kamu harus istirahat" akhirnya bibi mengalah, karena percuma berdebat denganku yang keras kepala tingkat tinggi.
Aku berjalan ke arah sofa dan menempati sofa yang kosong itu untuk aku istirahat. Dan bibi yang akan menjaga ayah.
Tak lama aku terbangun. Melihat kearah jam dinding rumah sakit, jam sudah menunjukkan pukul 11 malam. Sudah 9 jam sejak tadi pagi ayah tak sadarkan diri lalu dibawa kerumah sakit hingga sekarang ayah belum menunjukkan tanda untuk sadar.
Aku merenggangkan otot-otot ku karena posisi tidur yang tidak lurus di atas sofa. Kulihat sekeliling ruangan. Aku tak mendapati keberadaan bibi. Aku menatap ayah matanya masih tertutup rapat. Wajahnya terlihat damai dan tenang.
"Ayah, kenap belum bangun" aku memegang tangan kirinya yang tidak di pasang infus dan meremasnya lembut.
"Apa yang terjadi, yah? apa yang membuat ayah seperti ini..." aku tak bisa membendung air mataku lagi. Butiran bening mengalir dipipiku.
"Ayah, aku dan bibi sangat mengkhawatirkan ayah, Adira mohon ayah lekas sadar. " ku cium tangan ayah, lama menumpahkan kesedihan.
Aku berdiri menghapus air mata dan berusaha menghentikan tangis.
Aku berjalan ke toilet yang ada di dalam ruangan. Terlihat pantulan wajahku di cermin yang sangat kacau, kunyalakan wastafel membersihkan wajah dengan air yang terasa dingin karna efek udara yang dingin.
Setelah merasa lebih baik aku keluar dari toilet. Saat aku menutup pintu toilet, terlihat bibi duduk di sofa dan ada bungkus makanan di meja.
"Kamu sudah bangun? Baru saja bibi mau telepon, nanya kamu ada dimana.. " ujar bibi dengan wajah sedikit cemas dan sedang memegang handphone nya.
"Adira makan dulu, kamu dari pagi belum makan, kan" bibi membuka bungkus nasi.
Melihat beberapa makanan siap saji di atas meja tiba-tiba perutku terasa amat sangat lapar. Aku duduk di samping bibi yang sedang menyiapkan makanan saji untukku.
Kita pun makan berdua dengan lahapnya.
•
•
•
Next...
Sudah tiga hari ayah di rawat di rumah sakit dan belum juga sadarkan diri.
"Suster, Dokter tolong selamatkan ayahku" teriakku panik
"Dokter, suster.. " teriak bibi gelisah
Ayah tiba-tiba mengalami reaksi, alat rumah sakit yang menandakan gawat darurat.
Singkat cerita, ayah dinyatakan oleh pihak Rumah Sakit untuk dioperasi, ada darah yang telah pecah di otak sehingga harus di keluarkan itu di sebabkan karena benturan yang di alami ayah pada saat kecelakaan itu. Bergegas Dokter membawa ayah ke ruang operasi. Ayah dioperasi sekitar pukul 12 malam dan selesai sekitar pukul 2 dini hari. Aku dan bibi menunggu di luar ruang operasi. Kami cemas melihat kondisi ayah.
Dokter keluar dari ruang operasi dengan raut wajah yang tidak terbaca. "Maaf bu, adek. ayah mu tidak dapat diselamatkan kami sudah berusaha sekuat tenaga, namun Allah berkata lain kami mohon maaf, waktu kematian pukul 01.35 WIB. "
Aku tak percaya apa yang dokter katakan aku menangis tak tahan rasanya kenapa ini semua harus terjadi...
"Ayah, ayah mengapa begitu cepat ayah pergi meninggalkan Adira?". Jeritan tangisanku memecah keheningan. Begitupun bibi yang tak kuat menahan tangisnya.
•
•
•
Next...
Jenazah ayah sudah siap untuk dipulangkan.
Sesampai dirumah.
Saat itu tamu-tamu, baik saudara maupun kerabat dekat ayah sudah mulai berdatangan. Teman-teman sekolah pun datang.
Ucapan belasungkawa yang tak berhenti mengalir. Terdengar pertanyaan-pertanyaan bagai suara ledakan.
Ia datang bersama teman sekelasku yang langsung menubruk, memeluk, dan menangis lebih keras daripada aku. Iya..., dia Rara sahabatku aku bertambah kencang menangis karena pelukan Rara.
Di belakang punggungnya bisa aku lihat antrean orang-orang yang menunggu giliran dengan tangis yang tak kalah kerasnya. Wajah-wajah yang saya kenal. Wajah-wajah yang tidak saya kenal. Wajah-wajah yang berusaha keras untuk menunjukkan simpati dengan akting sekelas pemain sinetron. Jika tidak bisa menangis, paling tidak mengernyit sedikit dengan mulut mengerut seperti ikatan balon.