webnovel

15. Penonton Kecewa!

Pada jam pulang sekolah, Mori pulang sedikit terlambat karena harus melakukan tugas membersihkan kelas bersama tiga siswa dan dua siswi teman sekelasnya. Begitu yakin setiap sudut kelas bersih agar esok hari bisa langsung masuk kelas.

"Sudah disimpan semua, kan perlatannya ke dalam lemari?" tanya Bian yang telah berdiri di ambang kelas menunggu teman-temannya mengambil tas masing-masing.

"Sudah semua. Ayo kita pulang." Sahut Syafira sambil menyandang tasnya dan mulai berjalan keluar dari kelas bersama temannya.

Ke enam remaja itu mulai pergi meninggalkan sekolah karena hari telah sore. Beberapa bagian wilayah kompleks sekolah ada yang telah gelap karena bayangan dari bangunan sekolah itu sendiri yang menutupi cahaya matahari yang telah redup pada jam tujuh belas tiga puluh.

Siswa yang memiliki kegiatan ekstrakurikuler masih akan bertahan cukup lama di sekolah. Mori dan ke lima teman sekelasnya berjalan bersama untuk keluar dari kompleks sekolah. Salah satunya yang berjalan paling depan ketika yang lai asyik bercanda, tiba-tiba berhenti dan membuat dirinya ditabrak dari belakang oleh dua orang siswi, temannya sendiri karena mereka berjalan beriringan.  

"Adudududu..." keluh Syafira, salah satu siswi yang menabrak tepat punggung siswa yang berhenti mendadak.

Siswi satu lagi, Renata yang ikut menabrak bahu siswa itu, menepuk sedikit kuat punggung temannya. "Kalau berhenti itu kira-kira woi! Bisa tambah pesek nih hidung!"

Para anak laki-laki yang  berjalan di belakang, termasuk Mori mencondongkan tubuh masing-masing ke samping untuk mau tahu apa yang terjadi.

"Ada apa?" tanya Adrian salah satu anak laki-laki.

Anak laki-laki yang berhenti tiba-tiba, Bian menoleh ke belakang. "Hei. Kalian pernah dengan soal mitos sekolah ini?"

"Mitos siswi yang pernah hilang sewaktu jam terakhir sekolah?" Syafira balik bertanya.

"Itu kan cerita zaman masih awal kemerdekaan dulu, waktu sekolah ini masih baru." Sahut Renata, siswi yang memukul punggung Bian.

Leon yang memperhatikan ke depan mereka dari awal mereka berhenti. "Siswi, kan? Zaman awal kemerdekaan seragamnya yang baju putih. Buat yang perempuan, roknya menyatu dengan baju. Seperti baju monyet."

"Kok kamu tahu?" tanya Renata melihat Leon.

Leon dan Bian menunjuk bersamaan ke depan. "ITU DI DEPAN!"

Mori, Adrian, Renata dan Syafira melihat ke depan yang ditunjuk Leon dan Bian bersamaan. Terlindung bayangan bangunan sekolah, tepat di bawah pohon pelindung terlihat sosok perempuan berambut panjang digerai. Memakai baju serba putih dengan rok pas selutut membelakangi para remaja itu dalam jarak yang cukup jauh. Sekitar lima puluh meter di depan mereka.

"Apa itu asli?" Renata mengeluarkan ponselnya dan mencoba mengambil gambar sosok di depan mereka.

Adrian ikut melihat ke arah ponsel Renata karena penasaran. "Kenapa terlihat di kamera, ya?"

Renata melihat kepada Adrian. "Hooh."

Mori melihat ke depan sama seperti temannya. Ia tidak merasakan apa pun sejak awal. Karena biasanya jika ada suatu kehadiran makhluk tak kasatmata, maka Mori akan merasakannya. "Rasanya aku pernah melihat..." gumam Mori membuat ke lima temannya memperhatikan dirinya seketika.

"Pernah melihat?!" seru Renata, Syafira dan Leon hampir bersamaan.

"Lihat 'itu' sebelumnya?" Bian bertanya dengan wajah penuh penasaran.

Mori balik memperhatikan satu persatu wajah teman sekelasnya itu. "Iya. Biar coba aku tes dulu ya, memanggilnya." Ucap Mori santai sambil mengeluarkan ponselnya. Dengan cepat ia mengetik suatu pesan. "Apa yang kamu lakukan? Coba lihat ke belakang!"

"Kamu mengirimi pesan ke siapa?" bisik Adrian penasaran melihat pesan yang ditulis Mori tidak memiliki nama kontak.

"Lihat ke depan." Perintah Mori datar pada ke lima temannya.

Renata, Syafira, Leon, Adrian dan Bian melihat kembali ke depan bersamaan sesuai perintah Mori dalam diam.

Sosok perempuan dengan baju dan rok selutut serba putih, rambut panjang tergerai itu berpaling perlahan. Sosok perempuan yang berdiri tepat di bawah pohon itu telah berpaling sempurna, terlihat perempuan itu sedang mencabut headset dari telinganya dengan tangan kiri dan tangan kanan memegang ponsel. "Ada apa sih? Ganggu orang lagi main game saja!"

Mori menghela nafas lega. "Benarkan?"

"HEEE!!!" seru ke lima teman Mori yang terdengar sedikit kecewa.

Mori memperhatikan satu persatu wajah temannya kembali. "Kenapa kalian kesannya kecewa dia itu bukan penampakan dari urban legend?"

Mendengar perkataan Mori, membuat bahu ke lima anak itu merosot.

"Kami berharap dapat hiburan!" ucap Renata.

"Mengecewakan!" sahut Adrian.

"Benar." Sambung Syafira.

"Penonton kecewa!" dukung Bian.

"Ayo kita lanjut pulang." Ajak Leon.

Ke lima anak itu segera berlalu meninggalkan Mori sendirian.

Mori membiarkan Adrian, Renata, Syafira, Bian dan Leon pergi. Ia sendiri lalu menghampiri Miranda yang masih berdiri di tempatnya dan asyik dengan game onlinenya.

"Kamu hampir membuatku mati!" ucap Miranda begitu Mori sampai di dekatnya.

"Itu hanya game onlien. Bagaimana bisa perempuan tergila-gila game online?!"

"Ini melatih strategi ketika berhadapan dengan musuh secara langsung dan menyusun rencana kalau bertarung dalam tim!" jelas Miranda yang tetap asyik dengan gamenya dan sama sekali tidak tersinggung ucapan Mori, ia justru membuat Mori terdiam mendengar penjelasannya.

"Ok in saja lah biar cepat. Kamu sendiri ngapain datang sore-sore ke sekolahku dan sampai dikira penampakan urban legend tadinya sama teman sekelasku!"

"Hanya mau menghabiskan waktu senggang dengan main game dan mengunjungimu." Sahut Miranda santai.

"Mengunjungi atau memata-mataiku?"

"Apa untungnya bagiku memata-mataimu?" Miranda balik bertanya lalu lanjutnya kembali bertanya. "Kamu pikir aku kurang kerjaan? Lebih asyik main game di rumah."

Mori tertawa mengejek mendengar perkataan Miranda barusan. "Tanya sendiri dan jawab sendiri. Luar biasa sekali kamu."

"Ow... iya dong. Miranda gitu!"

"Aku tidak memujimu, gadis yang selalu kepedean selangit!" ucap Mori yang sudah mulai berjalan meninggalkan Miranda.

"Oh iya lah! Aku cantik dan sempurna tanpa kekurangan fisik sedikit pun!" sahut Miranda mengikuti Mori tepat dari samping.

Mori melihat kepada Miranda yang asyik dengan gamenya sambil berjalan mengikuti dirinya.

"Kenapa diam?" Miranda membuka suara karena Mori menjadi diam ketika ia mengikuti Mori sambil terus main game.

"Tak ada yang harus aku bicarakan sama orang yang tidak mau melihat lawan bicaranya."

"Kamu tahu orang buta? Mereka tidak pernah melihat lawan bicaranya, tapi mereka tahu siapa lawan bicaranya dengan cara mendengarkan lawan bicaranya dengan baik!"

"Tapi kamu bukan orang buta."

"Memang, tapi aku tetap fokus mendengarkanmu walau asyik main game."

Mori kembali diam. Miranda bukan levelnya kalau mau dilawan dalam hal apa pun, karena itulah Mori mengalah. Walau sebenarnya ingin membicarakan soal aura lain yang dirasakannya pada David, salah satu teman sekelasnya.

"Kamu yakin tidak ada yang mau dibicarakan? Ini selagi aku berbaik hati mengunjungimu walau tidak disuruh Tuan Idris."

Mori berhenti berjalan dan melihat ke depan.

"Kenapa berhenti?" tanya Miranda ikut berhenti walau tidak memperhatikan ke depan.

Mori berhenti berjalan dan melihat ke depan.

"Kenapa berhenti?" tanya Miranda ikut berhenti walau tidak memperhatikan ke depan.

"Kamu tentu percaya mitos, karena kamu bagian dari mitos itu sendiri."

"Pertanyaan macam apa itu? Kamu juga bagian dari mitos sekarang ini!" Miranda terdengar jengkel saat ia asih asyik dengan gamenya.

Nächstes Kapitel