webnovel

16. Urban Legend

Mori menghela nafas melihat Miranda yang asyik dengan game. Bertanya kepadanya, tapi tidak memperhatikan yang diajaknya berbicara. "Kamu mau dengar atau tidak sih?"

Miranda melirik Mori sekilas. "Aku akan dengar sambil main game. Oke! Jadi, ayo mulai."

"Baiklah."Mori mengalah lalu lanjutnya. "Ada sebuah cerita di sekolah ini yang sudah ada sangat lama! Biasanya hanya dianggap urban legend saja tentang seorang siswi masa zaman sekolah ini baru dibuka yang tiba-tiba hilang pada sore hari dan terkadang menampakkan diri pada setiap sore menjelang magrib."

"Terus."

Mori melihat ke arah Miranda, memegang kepala gadis itu dengan kedua tangannya lalu mengarahkan ke depan dengan kasar. "Terus sekarang ada sesuatu di depan kita!"

"Apa sih!" Miranda menjatuhkan tangan Mori yang seenaknya memegang kepalanya. Setelah membebaskan kepalanya barulah Miranda melihat ke depan dengan benar.

Sosok seorang perempuan dengan penampilan hampir mirip dengan Miranda dari belakang. Memakai baju sergam sekolah lama yang serba putih, rambut panjang sepunggung dijalin kepang dua khas model remaja masa perang dulu. Sosok perempuan itu berdiri tepat di bawah pohon angsana yang telah terlindung gelapnya bayangan bangunan sekolah.

"HUAA!!!" seru Miranda melihat sosok itu. 

"Jangan bilang kamu terkejut dan takut?"

Miranda melotot pada Mori dan dengan jengkel ia berkata. "Ka, kata siapa?"

"Aku yang baru saja bilang tadi kan? Tidak dengarkah? Perlu diulangkah? Miranda takut ternyata. Hehehehe..."

"Aku tidak takut! Tak mungkin ras terkuat takut sama makhluk astral yang tersesat!"

Ketika Miranda dan Mori berdebat sosok perempuan yang berdiri membelakangi mereka di bawah pohon angsana itu terdengar terisak. [Hiks... hiks... hiks...]

"EH!" Mori melihat ke arah sosok perempuan itu.

"Apa yang 'eh' sama kamu?"

"Tak dengarkah kamu kalau dia menangis?"

"HA?" Miranda heran sendiri mendengar perkataan Mori. 

Mori mengabaikan Miranda yang sepertinya tidak mendengarkan apa pun. Perlahan Mori mendekati sosok perempuan yang ada di bawah pohon angsana.

"Kenapa kamu mendekatinya?" bisik Miranda.

Mori menoleh sekilas ke arah Miranda yang kini ada di belakangnya. "Aku mau menanyakan kenapa dia menangis."

"Tapi dia itu bukan manusia, Mori!"

"Terus kenapa?" Mori balik bertanya kemudian tambahnya. "Kamu saja bisa tumbuh telinga harimau di kepala, cakar tajam dan bulu harimau sampai siku biasa saja. Hanya seperti sedang cosplay! Apa lagi dia yang dari kecil aku sudah biasa lihat."

"Jangan kamu sama kan, perubahan Cindaku dengan cosplay dan setan itu!"

"Setidaknya dia bukan Mis Kunti yang suka usil."

"Apa lagi itu. Jangan dekat-dekat!"

"Aok lah." Mori cuek saja, kembali berjalan mendekati sosok berbaju serba putih.

Miranda mengusap kedua lengannya melihat Mori mendekati sosok perempuan di bawah pohon. Sedikit ngeri.

Mori berhenti tepat di batas antara bayangan yang melindungi pohon angsana. "Siapa kamu?"

[Aku siswi sekolah ini.]

"Siswi sekolah tak lagi memakai sergam seperti yang kamu pakai, jadi kamu bukan siswi sekolah ini."

[Aku siswi sekolah ini lebih dari tujuh puluh tahun lalu.]

"Sudah hampir dua tahun aku sekolah di sini, kenapa baru ini kamu muncul? Jangan bohong kamu!"

[Hiks... hiks... hiks... aku sungguh siswi sekolah ini dulunya!]

"Kenapa kamu harus nangis? Aku kan tak memarahi kamu. Aku juga tak pernah mengusik kalian walau bisa melihat kalian! Ayo berpaling, jangan membelakangiku!" perintah Mori datar.

[Aku takut! Hiks... hiks... hiks...] 

"Kenapa takut?" 

[Aku selama ini bersembunyi karena takut. Ada anak manusia lainnya yang ingin menangkapku dan memaksaku untuk menakut-nakuti agar tak ada yang mau sekolah di sini lagi.]

"HA?! Kamu takut dengan manusia karena ingin menangkapmu?"

[Sungguh!]

"Kalau begitu berpaling ke arahku agar aku percaya kamu tidak bohong!" perintah Mori halus.

Sosok perempuan itu berpaling perlahan dan masih tertunduk, menghapus air mata dari wajahnya yang sungguh pucat dengan warna kehitaman seperti panda di bawah matanya.

Mori tidak terkejut melihat wajah sosok perempuan itu. "Katakan, kenapa kamu bisa mati dulunya?"

[Baiklah. Saat itu tahun 1946, tahun yang panas di Sumatera Timur. Aku berasal dari keluarga bangsawan. Aku dipindahkan sekolah ke kota ini untuk menghindari situasi saat itu. Terlebih lagi kota ini dulunya bersedia memberi perlindungan bagi pelajar yang berasal dari keluarga bangsawan. Namun kemalangan tetap menimpaku. Aku sedang ke toilet dulunya pada sore hari di jam terakhir sekolah. Saat aku baru keluar aku disergap dari luar oleh orang yang ingin memusnahkan keturunan Sultan serta bangsawan! Aku di bawa ke bagian belakang sekolah dan dikubur di tempat aku dibunuh!]

Mori mengangguk mengerti. "Jadi karena itulah kamu dikatakan menghilang tiba-tiba saat izin ke toilet pada jam terakhir sekolah."

[Benar sekali. Tempat aku berdiri ini adalah bagian belakang sekolah dulunya dan tempat aku dikubur! Tapi seseorang dari keturunan pemilik kemampuan sepertimu yang juga berkerabat dengan pemilik sekolah, telah berbaik hati memberitahu kalau ada yang terkubur di sini. Jadi tanah tempat aku dikubur tidak didirikan bangunan.]

"Kalau orang itu tahu lalu kenapa tidak menggali dan memindahkan kerangkamu?"

[Karena terhalang akar pohon. Aku tidak apa-apa walau tidak dikuburkan yang layak, setidaknya keluargaku sudah membuatkan makam tanda untukku di tempat asal.]

"Dari mana kamu tahu?"

[Setahun setelah aku dinyatakan menghilang, keluargaku datang ke kota ini dan mengambil sisa barang-barangku di rumah yang aku tempati dulu, mereka mengatakan itu saat datang ke sekolah ini untuk mengenangku. Mereka mengatakan banyak hal sebelum pergi, termasuk makam tanda untukku.]

Mori mengangguk lagi. "Kasihan sekali kamu. Tidak bisa beristirahat dengan tenang, malah diburu untuk dipaksa menakut-nakuti manusia!"

[Apa kamu bisa menolongku? Aku tidak mau ditangkap dan disuruh menakut-nakuti manusia!]

"Apa yang bisa aku lakukan untuk menolongmu?"

[Kirimkan aku bacaan doa.]

"Baiklah! Akan aku lakukan untukmu! Oh iya, seperti apa orang yang pernah berusaha menangkapmu itu?"

[Terima kasih kamu mau mengirimkan doa untukku! Apa yang akan kamu lakukan pada orang itu memangnya?]

"Berusaha bicara mungkin. Melarangnya untuk menangkapmu!"

Sosok perempuan itu memperhatikan Mori yang terlihat tulus. [Orang itu seusiamu. Kamu akan tahu sendiri kalau bersentuhan dengannya!]

"Bersentuhan dengannya?" Mori berusaha berpikir cepat adakah orang lain di sekolahnya yang memiliki kemampuan berkomunikasi dengan makhluk tak kasat mata sama seperti dirinya. Mori tahu kalau Alysha bisa merasakan aura dan melihat makhluk tak kasat mata walau tak bisa berkomunikasi dengan lancar seperti Mori, namun Alysha tidak akan berbuat hal mengerikan seperti menangkap makhluk tak kasat mata lalu menyuruhnya macam-macam.

Mori lalu teringat sesuatu mengenai kejadian pagi hari itu di kelasnya. Perdebatan dengan David, teman sekelas dan juga teman sekelas sejak dari masa SD, SMP hingga kini di SMA yang sama, juga sekelas. Selain itu David juga baru diketahui oleh Mori memiliki sesuatu yang lain setelah menyentuh tangannya. "Sial sekali!" gumam Mori.

[Ada apa?]

Mori menatap sosok perempuan tak kasat mata di hadapannya. "Aku sepertinya tahu siapa orang itu!"

[Benarkah?]

"50 : 50."

Nächstes Kapitel