webnovel

Hujan

Langit pagi itu tampak mendung, suasana pun juga menjadi tampak sepi dan muram karenanya. Tetapi apa yang kurasakan pagi itu berbanding terbalik dengan suasana sekitarku. Karena pada hari ini, akhirnya aku akan bertemu dengan dia. Seorang wanita yang selama ini selalu kudambakan. Dia, seorang wanita yang bernama Adellia.

"Kita masuk kelas E.2-5 ya?" tanya Steven.

"Iya… tapi kita gak sekelas sama Jessica ya?" tanyaku balik.

"Sekelas kok… tapi dia biasanya datang agak telat." jawab Steven.

Hari ini adalah hari pertama masuk kuliah. Sebelumnya, aku dan Steven sudah menyamakan semua jadwal kelas kami. Jadi untuk seterusnya kami bisa berangkat dan mengerjakan tugas bersama-sama.

Di saat kami sedang berjalan menuju gedung dan ruangan kelas kami, aku selalu menyempatkan diriku untuk menoleh ke sekitarku, untuk mencari keberadaan Adellia.

"Lo ngapain sih… kek lagi nyari orang ilang aja." ucap Steven dengan heran dan risih.

Aku hanya diam tak merespon ucapannya dan tetap fokus memandangi orang-orang di sekitarku. Tetapi orang yang kucari-cari tak kunjung nampak. Bahkan setelah sampai di dalam kelas pun, aku tak menemukan bayangannya.

"Ga usah dicariin Ram… ntar dia bakal nongol sendiri juga." ucap Steven sambil melirikku dengan sebelah matanya.

"Iya…" balasku singkat, walau sebenarnya perasaanku tak bisa sabar lagi.

Bahkan di sepanjang kelas berlangsung, aku tak bisa berhenti memikirkan dirinya. Aku tak bisa membendung rasa rindu untuk memandang figurnya, mendengar suara merdunya, dan berjalan bersama dengannya.

"Sampai jumpa di pertemuan selanjutnya." ucap Dosen yang sedang mengakhiri kelas.

Tanpa basa-basi, aku langsung pergi keluar secepatnya sambil mencoba mencari tahu keberadaan dari Adellia. Aku mulai berkeliling ke kelas-kelas sekitar, tapi hasilnya tetap nihil.

Hingga akhirnya aku pun menyerah dan memutuskan untuk pulang dengan Steven. Tetapi baru saja sampai di depan pintu keluar kampus, tetesan air dari langit mulai jatuh membasahi bumi.

Hujan mulai turun dengan derasnya, diiringi oleh suara gemuruh dan petir yang mulai menyambar. Aku dan Steven pun terpaksa menunggu di depan gedung kampus, terpaksa menunggu hujan reda karena tak membawa payung.

Suara guyuran hujan itu pun bagaikan suara penenang yang mengantarkanku ke dalam lamunan yang indah. Aku mulai membayangkan, apa reaksi Adellia jika bertemu denganku. Apakah dia terkejut, atau apakah dia akan tersenyum. Membayangkannya saja sudah membuatku merasa senang.

"Ram… itu ada si Adel noh." ucap Steven secara tiba-tiba yang berhasil membangunkanku dari lamunan.

Aku langsung terperanjat dan mulai memandang seorang figur yang sedang mengenakan kemeja hitam dan mengenggam sebuah payung di tangannya.

Tanpa aba-aba, aku langsung berlari menuju posisinya. Tak perduli akan hujan deras yang membasahi tubuhku, karena perasaan menggebu-gebu ini tak bisa kutahan lagi.

"Eh Ram…" teriak Steven karena terkejut.

Adellia spontan berhenti, saat melihatku sedang berdiri di hadapannya. Kami mulai saling memandang satu sama lainnya, di bawah hujan derasnya hujan yang tak mau berhenti.

Kupandang dirinya dari dekat, dia sungguh tampak sangat anggun. Aku merasa aura dan penampilannya tampak berbeda dari sebelumnya. Mungkin karena efek aku sudah lumayan lama tak berjumpa dengannya.

"Halo De…."

Sebelum sempat aku berbicara, Adellia sudah terlebih dahulu memotongku.

"Ikut gw." ucapnya pelan dan datar.

Aku tak menyangka responnya akan datar seperti itu, tak sesuai dengan apa yang kubayangkan. Lalu Adellia mulai berjalan tanpa sekalipun menoleh dan berbicara denganku. Tapi mau tak mau, aku pun mengikutinya karena merasa penasaran.

Beberapa saat kemudian, tibalah kami di lokasi yang tak asing bagiku. Lokasi dimana kami pernah bertengkar dan meminta maaf satu sama lainnya. Lokasi yang menjadi saksi atas salah satu kenangan kami, yaitu lokasi belakang kantor BEM.

Sesampainya disana, Adellia berbalik badan lalu memandangiku dalam diam. Entah kenapa, aku merasakan ada sesuatu hal yang janggal dan berbeda darinya. Dia tampak menjadi orang yang berbeda dari orang yang selama ini kukenal.

"Kenapa chat gw yang kemarin gak dibalas Del?" tanyaku.

"…." Adellia tetap diam tak merespon ucapanku.

"Gw mau minta maaf soal yang kemarin." ucapku perlahan.

"…." Adellia masih diam, dia hanya melirikku dengan ekspresi datarnya.

Aku pun menjadi panik, karena tak tau harus berbuat apa di situasi yang canggung dan dingin ini.

"Kamu masih marah ya? Jangan suka marah-marah dong… nanti makin cepet tua loh." candaku berusaha mencairkan suasana.

"Mulai sekarang jangan deket-deket gw lagi, soalnya gw udah punya pacar." ucap Adellia tiba-tiba.

Bagiku, ucapan Adellia itu bahkan lebih mengejutkan daripada suara petir yang menyambar. Aku tak menyangka, itu adalah kalimat yang diucapkannya di saat pertama kali kami berjumpa kembali.

"Pacar…" gumamku pelan. "Sejak kapan Del?" tanyaku dengan lesu.

"Dia bukan orang sini, dan kamu gak perlu tau dia siapa Ram." jawab Adellia datar.

Lalu tanpa aba-aba, Adellia langsung berbalik dan berjalan pergi meninggalkanku. Tapi aku langsung pergi berlari menyusulnya, lalu menggenggam salah satu tangannya.

Aku berusaha menampilan senyuman di bibirku lalu bertanya, "Ini cuman bercanda doang kan Del?"

Adellia menoleh lalu menatap mataku dalam-dalam, "Gw serius." jawabnya pelan.

"Ga lucu tau Del… lo cuma mau ngerjain gw doang kan?" tanyaku berusaha untuk menyangkal semua perkataannya barusan.

Adellia langsung melepaskan genggaman tanganku dengan paksa lalu berkata, "Mulai sekarang… kita ga usah berteman lagi Ram."

"…." Aku terdiam seketika. Rasa marah, kecewa, sedih, dan kebingungan bercampur menjadi satu. Perkataan Adellia itu membuat dadaku terasa sesak dan sakit karena membendung rasa ini.

"Untuk terakhir kalinya, sebelum lo pergi, gw cuma mau nanya satu hal ini doang…" ucapku sambil menatapnya dalam-dalam.

"Apa lo suka sama gw?" tanyaku pelan.

Tampak pupil mata Adellia yang sedikit bergetar, tapi dia langsung memasang ekspresi datarnya lagi dan berusaha menyembunyikan perasaannya dariku.

"Nggak…" jawabnya dengan ekspresi dan suara yang datar.

Adellia lalu berpaling dan mencoba untuk pergi meninggalkanku lagi. Tapi aku tak mau menyerah, aku langsung mengenggam tangannya dengan erat.

"Gw tau lo lagi bohong Del…" ucapku.

"Lepasin gak…" balas Adel dengan nada yang mulai meninggi.

"Gak bakal gw lepasin… sampe lo mau ngomong jujur ke gw." ucapku tak mau kalah.

"Peringatan terakhir… jangan salahin gw kalo harus pakai cara kasar." ucapnya mengancamku.

Aku tak menghiraukan ancamannya, aku tetap lanjut bertanya, "Apa semua kenangan yang udah kita laluin, ga ada artinya buat lo?"

Aura dan energi dari Adellia tiba-tiba mulai memancar dengan tajam, begitu juga dengan tatapan matanya yang dingin. Dia perlahan mengarahkan telapak tangannya ke dadaku. Lalu secara tiba-tiba, aku langsung tercampak ke belakang dengan sendirinya, tanpa adanya sentuhan.

Aku tergeletak di lantai, masih shock akan apa yang terjadi barusan. Dadaku terasa sangat sesak akibat dorongan kuat energi itu. Telingaku juga mulai berdengung dengan keras, begitu juga dengan pandanganku yang mulai kabur. Tapi semua rasa sakit itu tak sebanding dengan rasa sesak dan sakit yang muncul di perasaanku.

Saat aku sadar, Adellia sudah berjalan jauh dari posisiku. Dia bahkan tak menoleh sekalipun. Di saat itu lah aku sadar, bahwa Adellia benar-benar serius. Walau masih tak terima, aku tak bisa menyangkalnya lagi.

Semua penyesalan yang selama ini kutumpuk di hatiku pun muncul secara sekaligus. Mulai dari penyesalan mengungkapkan perasaanku, penyesalan berusaha mendekatinya, penyesalan karena mulai berharap, hingga penyesalan karena mengenal dirinya.

Aku hanya bisa termenung di bawah derasnya hujan yang mengguyur sekujur tubuhku. Semua bayangan dan skenario indah yang kupikirkan saat kami bertemu pun hancur seketika.

Aku mencoba untuk mengingat semua kenangan indah yang kami alami, tapi entah kenapa aku merasa menjadi semakin sesak dan sakit. Layaknya ada sebuah pisau yang menusuk-nusuk dadaku.

Hingga tak tau sudah berapa lama aku diam termenung, tiba-tiba aku tak merasakan adanya guyuran hujan menimpa tubuhku. Saat aku menoleh, ternyata ada Riska yang sedang memegang payung di belakangku.

Riska hanya diam membisu sambil memandangi dan memayungiku. Aku merasa, sepertinya dia tahu kejadian apa yang baru saja kualami. Tapi aku tak begitu memperdulikannya, sebab apa yang kualami barusan terasa sangat cepat dan tidak nyata.

"Aku lagi pengen sendiri kak." ucapku pelan dalam posisi membelakanginya.

"Aku iri Ram…" ucap Riska pelan. "Kenapa harus dia?."

"…." Aku hanya diam.

"Apa yang harus aku lakuin supaya kamu bisa tertarik sama aku Ram?" tanya Riska perlahan.

"Udah kak… jangan dilanjutin." balasku dengan lesu.

"Ga ada harapan buat aku sama sekali ya Ram?" tanya Riska pelan.

Ucapan dari Riska itu membuatku merasa semakin tidak nyaman. Karena selama ini, aku hanya menganggapnya sebatas senior dan teman, tak lebih dari itu.

Karena tak tahan lagi, tanpa berkata apa-apa, aku mulai beranjak berdiri lalu pergi meninggalkannya sendiri di sana.

Aku mulai berjalan pulang di bawah guyuran hujan. Tak perduli walau semua orang di sekitar memandangku dengan aneh. Sebab saat itu aku hanya merasakan kehampaan.

Untuk pertama kalinya aku merasakan kekecewaan karena seorang wanita. Seorang wanita yang telah membawa perubahan ke dalam hidupku. Seorang wanita yang selama ini kudambakan, yang akhirnya kini berpaling meninggalkanku.

"Ini adalah hujan dengan kenangan terburuk di sepanjang hidupku." ucapku dalam hati.

Bersambung…

Nächstes Kapitel