webnovel

Pesugihan

Sudah sebulan berlalu semenjak Adellia telah memutuskan hubungan pertemanan kami. Sejak hari itu, aku dan Adellia tak pernah berkomunikasi lagi. Walau kami sering berpapasan di kampus, Adellia selalu saja menghiraukanku. Hubungan kami yang sekarang, bagaikan dua orang yang tak pernah mengenal satu sama lainnya.

Satu bulan itu terasa sangat panjang bagiku. Hari demi hari aku selalu mengingat setiap ucapan dingin yang diutarakan Adellia. Makin hari, rasanya semangat hidupku memudar.

Orang-orang yang di sekitarku pun selalu menanyakan keadaanku. Mereka juga berusaha menghibur dan menyemangatiku, terutama Steven dan Melissa. Mereka selalu berinisiatif untuk menemaniku di saat-saat diriku terpuruk dan kesepian.

Hingga akhirnya aku pun perlahan mulai menyerah dan menerima kenyataan, bahwa hubungan pertemanan dan rasa yang kumiliki, telah berakhir sampai disini saja.

Aku harus melepaskan semua rasa dan kenangan yang kupunya, walau perih dan sulit. Bagaikan ditampar saat tertidur, walau terasa sakit tapi setidaknya aku bisa bangun dari mimpiku yang palsu, dan mulai fokus menjalani hidupku di dunia yang nyata.

Di sisi lain, Nadia dan Melissa menjadi akrab semenjak malam itu. Sampai-sampai, Nadia mengajak Melissa untuk tinggal bersama di rumahnya. Melissa sempat bertanya pendapatku, dan aku mendukungnya untuk tinggal disana. Sebab selain bisa menemani Nadia agar tak kesepian, dia juga bisa sekalian berhemat.

Hubunganku dengan Nadia juga berangsur membaik, terutama setelah dia mendengar cerita dan kronologisnya langsung dari Melissa. Aku jadi bisa lebih tenang dan lega, karena dia perlahan mulai bisa menerimanya.

Berhubung hari itu adalah hari weekend, aku pun berniat untuk seharian bersantai ria di kamarku. Jadi aku memutuskan untuk menonton semua film yang sebelumnya sudah kucopy dari Steven di laptopku.

Saat sedang asik-asiknya menonton, tiba-tiba ponselku yang kuletakkan di meja bergetar. Aku buru-buru mengambilnya dan setelah kulihat ternyata terpampang nama Putra di sana. Tanpa banyak pikir, aku pun langsung mengangkatnya.

"Halo…" ucapku.

"Halo Ram… gimana kabar lo?" tanya Putra sebagai basa-basi.

"Baik-baik aja Put…" jawabku singkat.

"Omong-omong, hari ini lo lagi sibuk gak Ram?" tanya Putra.

"Nggak kok Put, emangnya kenapa ya?" tanyaku balik.

"Oh bagus deh, kira-kira nanti lo mau ikut gw gak, buat ketemu sama pasien?" tanya Putra.

Aku diam sejenak, lalu perlahan berkata, "Gw sih mau-mau aja Put, lumayan buat nambah pengalaman."

"Oke deh… nanti gw jemput ya, jam lima sore." ucap Putra.

Selagi menanti kedatangan Putra, aku pun melanjutkan menonton film. Hingga beberapa saat kemudian, tiba-tiba ponselku bergetar. Aku pun tersadar, ternyata Putra sudah sampai di depan kostku. Aku pun langsung bergegas mengganti baju dan menyemprotkan parfum lalu berlari menuju pintu kost-anku.

Saat sampai diluar, aku melihat Putra sedang menatapku dari jendela mobilnya sambil melambaikan tangannya ke arahku. Tanpa berpikir panjang, aku pun langsung memasuki mobilnya.

Sesaat di mobil, tiba-tiba Putra mengernyitkan dahinya sambil memandangiku dengan tatapan yang aneh.

"Kok muka lo gak bersemangat gitu sih Ram? Kayak muka orang yang baru putus cinta aja." ucap Putra sambil tertawa.

"…." Aku hanya diam dan menunjukkan senyuman tipis di bibirku.

Melihat respon dan ekspresi wajahku, Putra pun langsung terdiam seketika. Sepertinya dia tak menyangka, celotehan yang asal itu, ternyata benar.

"Sorry Ram… gw niat bercanda doang." ucap Putra merasa bersalah.

"Gapapa Put, santai aja." balasku.

Setelahnya kami hanya berbincang-bincang santai, hingga tak lama kemudian, akhirnya kami sampai di depan rumah Putra. Di depan sana, ternyata sudah ada seorang wanita paruh baya yang sedang berdiri sambil memandang ke arah kami. Sepertinya wanita itu adalah pasien yang dimaksud Putra, pikirku.

"Maaf bu, udah lama nunggunya ya?" tanya Putra dengan ramah.

"Nggak kok mas… saya baru sampai juga." jawab wanita itu.

Setelah itu Putra langsung mempersilakan wanita itu masuk dan duduk di ruang tamunya. Begitu juga aku dan Putra yang duduk di kursi yang berseberangan dengan wanita itu.

Saat memandang wanita itu, aku bisa merasakan hawa dan aura yang sangat negatif dari tubuhnya. Berbeda dengan hawa negatif biasanya, aura gelap yang dipancarkannya tampak redup, tetapi entah kenapa terasa mengerikan bagiku.

"Nama saya Nirma." ucap wanita itu dengan pelan sambil menjulurkan tangannya.

Putra membalas salaman tangannya, seraya berkata, "Saya Putra bu… temen yang di sebelah saya ini namanya Rama."

Bu Nirma hanya mengangguk pelan. Melihat Bu Nirma yang tampak lesu, aku jadi berpikir, apa dia sebenarnya memang pemalu atau menjadi murung karena sedang dilanda banyak masalah.

"Jadi ibu punya keluhan apa ya? Boleh pelan-pelan diceritakan ke saya." ucap Putra dengan ramah.

"Saya pakai pesugihan mas." ucap Bu Nirma secara blak-blakan dan dengan nada yang datar.

Entah kenapa, mendengar ucapannya langsung membuat bulu kudukku berdiri. Aku juga merasa suasana ruangan pun seketika menjadi dingin dan tegang.

Setelah diam sejenak, perlahan Putra mulai bertanya,"Bisa dijelaskan lebih detail lagi Bu?"

"Saya butuh bantuan mas… bantuan untuk batalin pesugihan itu." ucap Bu Nirma dengan tatapan penuh harap.

"Memangnya perjanjian itu sudah berjalan berapa lama bu?" tanya Putra.

"Ini minggu yang keempat mas." jawab Bu Nirma.

"Hmmm… alasan dan cerita ibu bisa sampai memutuskan untuk buat ikut pesugihan begini, bagaimana ya?" tanya Putra dengan penasaran.

"Sebenarnya karena faktor ekonomi mas. Suami saya baru dipecat dari kantornya, sedangkan saya hanya ibu rumah tangga yang gak punya penghasilan. Gara-gara faktor ekonomi, keluarga kita yang dulunya harmonis jadi berantakan."

"Sejak jadi pengangguran, suami saya malah jadi suka main judi dan mabuk-mabukan. Suami saya ga betah di rumah dan hanya pulang tengah malam aja, setelah habis mabuk-mabukan."

"Penghasilan sudah tidak ada, tapi uang yang semakin menipis malah dihambur-hamburkan untuk judi. Otomatis saya marah dan mencoba menegur suami saya. Tapi suami saya malah marah dan tetap melanjutkan judinya. Sejak itulah saya selalu bertengkar setiap kali bertemu dengan suami saya."

Bu Nirma tampak sangat sedih saat menceritakan tentang kisahnya. Sedangkan aku dan Putra hanya diam menyimak setiap ucapan yang keluar dari mulut bu Nirma.

"Saya sudah putus asa waktu itu, karena makin hari kehidupan keluarga saya semakin terasa sengsara. Makanya saya jadi tergoda untuk mengikuti pesugihan yang ditawarkan teman saya."

"Kalau boleh tau, temen ibu itu nawarinnya gimana ya?" potong Putra.

"Temen saya awalnya bilang kalau dia udah ikut pesugihan itu sekitar satu tahun. Dia cerita, kalau keadaan kehidupannya yang dulu juga sama seperti saya. Tapi semenjak ikut pesugihan itu, dia langsung kaya dalam sekejap. Terus dia bilang, kalau tumbalnya itu bukan harus dari keluarga. Dia boleh menumbalkan orang lain yang ikut menikmati hartanya secara cuma-cuma." jelas Bu Nirma dengan panjang lebar.

Putra mengangguk lalu bertanya, "Jadi akhirnya ibu setuju karena berpikir kalau keluarga ibu bisa aman dari pesugihan itu ya?"

"Iya mas." jawab Bu Nirma sambil mengangguk.

"Jadi, kenapa ibu mau berhenti sekarang? bukannya keluarga ibu katanya bakal aman?" tanya Putra dengan bingung.

Bu Nirma menggelengkan kepalanya, "Ternyata teman saya bohong mas." ucapnya pelan.

"Kok bisa bu? Bukannya seharusnya udah ada perjanjian dari awal?" tanya Putra dengan heran.

"Waktu saya ritual, tidak ada janji yang disebutkan." jawab bu Nirma.

Putra mengernyitkan dahinya, sepertinya dia merasa ada sesuatu yang janggal, "Terus, apa ibu pernah ketemu sosok makhluk yang mengabulkan pesugihan itu?

Bu Nirma mengangguk pelan, ekspresi wajahnya menunjukkan ketakutan yang sangat mendalam, bagaikan orang yang mengalami trauma.

"Apa bisa dijelaskan wujud sosoknya bu?" tanya Putra dengan nada yang berhati-hati.

Bu Nirma menghela nafas sejenak, lalu mulai menjawab, "Sebenarnya saya sudah bertemu dengan dia sejak pertama kali melakukan ritual. Saat melakukan ritual, pandangan saya tiba-tiba gelap."

"Saat pandangan saya kembali, saya melihat dua lilin besar dan sebuah altar. Waktu melihat ke sekitar, disitu saya akhirnya sadar, kalau saya sedang berada di dalam sebuah goa."

"Tiba-tiba muncul laki-laki yang sangat tampan di depan saya. Tubuhnya kekar dan gagah, ekspresi wajahnya tampak sangat ramah. Beberapa saat, dia cuma diam memandangi saya dari ujung kaki sampai ujung kepala."

"Ujung-ujungnya dia mengajak saya melakukan hubungan suami istri mas." ucap Bu Nirma dengan suara lesu dan wajah yang menunduk.

"Saya berusaha menolak, tetapi badan saya terasa kaku dan tidak bisa digerakkan. Saya hanya bisa menjerit di dalam hati tanpa bisa melakukan perlawanan." ucapnya dengan suara yang bergetar.

"Saya hanya bisa pasrah, dan berharap itu saya lakukan untuk terakhir kalinya. Tetapi makhluk itu malah datang hampir setiap malam, dan saat saya menolak, dia langsung murka dan mengancam saya." jelas bu Nirma.

"Ancaman seperti apa bu?" tanya Putra.

"Dia mengancam untuk mengambil nyawa keluarga saya mas." jawab bu Nirma dengan ekspresi yang ketakutan.

"…." Putra diam sejenak, dia tampak sedang berpikir keras.

"Saat saya ingin menjumpai Ayu, ternyata teman saya yang menawarkan pesugihan itu ternyata sudah meninggal mas. Saat saya sampai di rumahnya, mantan bawahannya memberi saya sebuah amplop yang masih tertutup rapat. Setelah saya buka, ternyata isi suratnya itu…" lalu tiba-tiba bu Nirma berhenti berbicara dan hanya diam beberapa saat.

"Kenapa bu?" tanya Putra bingung.

"Kutunggu kau di dasar neraka Nirma." ucap bu Nirma pelan.

Tiba-tiba listrik di rumah Putra padam. Kegelapan pun menyelimuti kami bertiga. Suasana menjadi terasa menegangkan. Aku pun mulai merasa seperti banyak mata yang sedang menatapi kami bertiga. Bulu kudukku berdiri dengan kencang. Aku tak henti-hentinya merinding, karena merasakan hawa-hawa negatif yang kelam.

"Ini ada apa ya mas?" tanya bu Nirma dengan suara ketakutan.

"Gapapa bu… tenang dulu ya… saya coba cari tahu dulu." jawab Putra perlahan.

Tak berhenti disitu saja, tiba-tiba muncul suara geraman kuat bagaikan suara hewan buas dari arah luar rumah. Aku dan Putra pun spontan langsung bersiaga. Ketiga harimau dan pria berjubah merah muncul di sisi kami seketika.

Listrik yang tadinya padam, tiba-tiba hidup kembali. Aku dan Putra melihat sekitar, tetapi tak ada entitas apapun disana. Aku merasa sangat aneh dan janggal melihat kejadian itu. Sebab jelas-jelas, aku merasakan hawa keberadaan mereka barusan.

"Lo ngeliat sesuatu gak Ram?" tanya Putra berbisik.

"Nggak Put, cuma ngerasain kalo banyak yang ngeliatin kita barusan." jawabku berbisik.

Aku dan Putra hanya bisa saling menatap dalam kebingungan. Kami pun mulai berspekulasi dan menyampaikan pendapat kami masing-masing sambil berbisik.

Saat aku sedang berbicara dengan Putra, tiba-tiba listrik padam lagi. Kami pun langsung bersiaga kembali. Karena aku merasakan hawa-hawa makhluk itu mulai muncul kembali.

Saat aku melihat ke sekitarku, aku menyadari bahwa di dalam kegelapan itu, banyak warna merah yang sedang bekerlap-kerlip. Saat aku melihat lebih fokus lagi, aku menyadari bahwa warna merah itu perlahan bergerak-gerak.

Tiba-tiba listrik hidup kembali lagi. Saat aku tak sengaja menoleh ke samping, di sana sudah tampak muka pria tua yang hancur melepuh dan berlumuran darah.

Aku sangat terkejut dan spontan menghindar ke belakang. Jantungku terasa berdebar-debar, keringat dingin mulai menetes di punggungku.

Saat kuperhatikan, ekspresi wajah pria tua itu tampak sangat kesakitan dan menderita, lalu dia hanya mengucapkan sebuah kata.

"Tolong…"

Bersambung…

Nächstes Kapitel