"Iya, Pi. Aku sadar betul soal itu."
Alvan bersama Papi Darma masih memaku diri di ruang makan. Tanpa Rako yang baru saja pergi menyusul Megha, sepasang bapak dan anak itu berbicara dari hati ke hati.
"Sebetulnya... kamu juga bisa kan, bertanggung jawab atas anak itu di dalam pernikahan kamu bersama Metha?" tanya Papi Darma lagi. Ia masih ingin menggali betul-betul apa yang menjadi alasan anaknya tetap ingin menikahi Megha.
"Iya. Aku memang bisa saja memilih itu, Pi. Tapi –" ucapan Alvan mendadak terhenti.
Papi Darma yang semula bersandar santai langsung memajukan badannya dengan tangan bersiap di atas meja. Ia tidak ingin kehilangan satu kata pun dari anak sulungnya.
"Tapi bagaimana dengan Megha, Pi? Dia ibu yang sebenarnya dari calon bayi itu. Orang-orang harus tahu sejak awal. Jika aku sampai memutuskan untuk menyembunyikannya, maka kekecewaan Megha lah yang paling menyakitkan dibanding kekecewaan Metha yang putus sama aku.
"Metha baik, cantik dan berprestasi. Dia bisa mendapatkan pria mana pun yang dia mau. Patah hatinya akan semakin terobati dan dia akan melangkah maju. Tetapi Megha? Tidak diakui anaknya sebagai ibu yang melahirkan hanya akan membuat dia patah hati seumur hidup."
Papi Darma menarik nafasnya dalam-dalam. Satu sisi ia mengerti sekarang apa yang menjadi pertimbangan Alvan. Namun di sisi yang lain, masih ada keganjilan yang mengganggu perasannya.
"Papa senang, kamu betul-betul menunjukkan bahwa kamu mau sepenuhnya bertanggung jawab dalam hal ini. Kamu sangat memikirkan posisi Megha." Papi Darma menarik panjang nafasnya sejenak. Masih ada ganjalan hati yang ingin ia ungkapkan. "Lalu bagaimana dengan kamu Alvan?"
Alvan mengangkat wajahnya. Keningnya mengerut sambil menatap penuh Papi Darma.
"Alvan – apa kamu siap menikah dengan orang yang sama sekali ngga kamu cintai dan mencintai kamu? Menjalani rumah tangga yang hanya berdasarkan status.
Seketika Alvan terperuk, tenggelam dalam pikirannya.
***
"Kamu kenapa jadi tampar aku, sih!" Rako tampak jengkel sambil memegangi pipinya yang terasa panas.
"Itu pantas buat kamu!" Megha tak kalah berang.
"Pantas apanya?!" Rako terus dirundung bingung.
"Pantas buat kamu yang niat buang bayi ini!" tandas Megha. Langsung melengos pergi meninggalkan Rako.
Rako terdiam semakin tak mengerti. Tak ingin Megha keburu menjauh tanpa memberinya penjelasan, buru-buru ia menyusul lalu menarik lengan wanita itu sampai-sampai kekasihnya terkejut dan berbalik ke arahnya.
"Maksud kamu apa aku mau buang anak ini?!" lagi-lagi Rako bertanya.
"Ya ampun! Jadi kamu masih nggak nyadar sama omongan kamu sendiri!"
"Apa yang harus aku sadarin?"
Megha tersenyum sinis. Sesaat kemudian ia melangkah mendekati Rako. Kini wajahnya hanya berjarak sepuluh senti dari pria itu. Raut muka amarahnya juga masih belum samar dari sana.
Dengan suara pelan sambil menahan kegerama Megha menandaskan, "Aku sama sekali nggak nyangka, kamu bisa mendukung Metha! Kamu pasti senang banget kan, enggak perlu bertanggung jawab atas anak ini."
Kini Rako memahami kebodohannya.
"Kamu otak dari permainan ini, Ko. Aku udah ikutin maunya kamu. Tapi kalau sampai kamu menuntut lebih dengan membuat aku pisah sama anak aku sendiri. Lebih baik permainan ini kita selesaikan. Dan biarkan Alvan yang memimpin perusahaan."
Menarik mundur wajahnya yang menantang. Ia lihat tingkah Alvan yang seketika menunjukkan gusar. Pria itu mengusap mulutnya, memandang tak tentu arah dengan nafas tak teratur, lalu bertolak pinggang tanpa ingin menatap Megha.
"Kenapa? Takut?" selidik Megha bermain-main dengan kegelisahan Rako yang ia rasa.
Rako mencoba mengatur tarikan nafasnya. Ia berusaha tetap terlihat tenang.
"Maafin aku, Gha. Aku pikir itu cara agar aku nggak perlu melihat kamu menikah dengan Kak Alvan."
"Dengan membuang bayi kita?!"
"Enggak, Gha! Aku sama sekali nggak ada niatan untuk buang anak itu. Aku justru pikirin masa depan dia. Tadinya menurutku, dia akan lebih baik jika diasuh Metha dan Kak Alvan, setelahnya kita bisa secepatnya kembali bersama-sama dan menikah dengan posisiku sebagai pemimpin perusahaan."
"Lalu kamu biarin kita terpisah dari anak ini selamanya?" balas Megha. "Mereka bukan orang tua kandungnya. Kita orang tua kandungnya! Salah satu dari kita harus mendapat pengakuan orang-orang di luar sana sebagai orang tua anak ini, atau – atau anak ini nggak akan pernah mengenal kita."
Rako tertunduk lemah. "Maaf, Gha. Aku udah berpikiran pendek." Terpancar raut penyesalan yang jelas dari wajah pria itu.
Megha terdiam. Amarahnya meredup bak api yang padam di atas kertas. Sikapnya menunjukkan hati yang luluh untuk memaafkan kesalahan kekasihnya.
"Jangan lakuin itu lagi. Aku mencintai anak kita," ujarnya terdengar pelan.
"Ya. Aku juga sama. Bahkan bukan hanya anak itu yang cinta, tapi juga ibunya," Rako sudah berani menggoda. Membuat Megha ingin tersenyum tapi masih enggan lebar-lebar.
"Kalian di sini?" suara lain tiba-tiba terdengar masuk, tanpa ada langkah kaki sebelumnya yang dapat mereka dengar sehingga mampu bersiap untuk menjaga ucapan.
"Alvan!" Megha tersentak melihatnya. Tak terkecuali Rako yang mendadak gelisah.
"Gawat! Jangan-jangan tadi si Alvan denger!" batin Rako.
Alvan berjalan menghampiri mereka. Ada keganjilan di hatinya yang ia simpan kala kedua wajah itu menampakkan muka tegang. Namun begitulah Alvan, jika bukan soal pekerjaan ia tipe orang yang sangat sungkan bertanya tentang hal pribadi orang lain. Namun bukan berarti ia tidak memiliki kepekaan yang tajam. Merasa ada yang sedang dibahas oleh Megha dan Rako namun mereka tak ingin orang lain tahu. Alvan hanya menarik diri, dan memberi sedikit pesan agar Megha mau bicara kepadanya setelah menyelesaikan urusan dia dengan Rako.
"Gue sama Rako udah selesai, kok!" Megha langsung menjawab.
Tatapan Rako terkesan berat hati, dan memang benar kenyataannya. Ia masih belum puas bicara dengan Megha. Apa lagi sudah beberapa hari ini mereka disibukkan oleh urusan mereka masing-masing, tepatnya adalah urusan tentang kehamilan Megha. Setelah permainan licik ini yang mereka mainkan, mereka harus mulai menjaga jarak agar sekitar mereka tidak curiga. Itulah sebabnya juga, waktu bicara antara mereka berdua pun ikut terbatas.
Dan anehnya, dibalik kelicikan yang Rako simpan, panggilan Alvan untuk Megha di tengah pembicaraan mereka barusan adalah kali pertama Rako merasa tidak nyaman. Ya, tidak nyaman melihat kakak dan kekasihnya mulai dekat.
Megha dan Alvan lantas berjalan beriringan. Di belakangnya ada Rako yang memaku diri di tempat, tanpa punya hak untuk mencegah hal itu.
"Gimana perasaan lo? Mual? Pusing? Capek? Atau ada keluhan yang lain mungkin?" Alvan langsung saja bertanya, saat mereka baru tiba lalu duduk di kursi taman belakang. Kekhawatirannya sudah seperti dokter kandungan.