Taman belakang rumah Alvan memang tempat yang nyaman untuk mengobrol. Selain tersedia kolam renang, pencahayaannya juga bagus. Ada lampu-lampu kecil yang sengaja dipasang selain berfungi sebagai penerangan, juga berguna sebagai penghias. Sehingga taman belakang itu jadi terkesan lebih estetik.
Akan tetapi keindahan taman itu sama sekali tidak membuat otak Megha jadi encer mencerna. Ia menggaruk-garuk tengkuk lehernya karena merasa aneh ditanya seperti itu. "Enggak kok! Kok lo nanya gitu?" tanyanya balik pada Alvan.
"Ya... yang gue tau, biasanya kan ibu hamil gitu."
Megha mengerjap-ngerjap bingung. "Masa?! Ko gue nggak ya?! Tapi untung deh! Pasti repot kan."
"Iya, repot – apa lagi kalau nggak ada suami."
Jawaban Alvan yang apa adanya membuat Megha jadi teringat masa lalu. Saat di mana ibunya mengandung ia dan Metha. Megha tahu betul, dalam masa kehamilan ibu kandungnya – sebut saja Mama Ais – sang ibu berjuang sendiri dalam menghadapi kehamilan. Papa Agung saat itu sudah pergi meninggalkan Mama Ais dan menikah dengan Mama Mawar.
Delapan tahun Papa Agung dan Mama Ais menikah dan belum di karuniai anak. Hal itulah yang membuat orangtua Papa Agung mulai gelisah hingga akhirnya tak kuasa lagi menahan diri untuk tidak meminta anaknya menceraikan istrinya. Mereka curiga bahwa Mama Aislah yang bermasalah dengan kesehatannya.
Papa Agung yang masih mencintai Mama Ais, tentu tidak ingin menceraikan istrinya. Mereka juga memeriksakan diri mereka ke dokter. Tak ada masalah sama sekali, karena itulah Papa Agung percaya bahwa ini hanya karena Tuhan belum memberi kesempatan.
Selang satu tahun kemudian. Orangtua Papa Agung yang terpandang itu menjodohkan kembali ia kepada Mama Mawar. Ya, "Kembali" mereka pernah dijodohkan semasa kuliah dulu. Akan tetapi Papa Agung tetap memilih Mama Ais yang berasal dari keluarga biasa walah saat itu menghadapi pertentangan yang sangat keras.
Kembali ke perjodohan Papa Agung dan Mama Mawar setelah delapan tahun perpisahan mereka. Bak gayung bersambut, Papa Agung yang mulai menyerah kepada nasib belum beruntungnya sekarang memiliki ketertarikan pula kepada Mama Mawar.
Papa Agung lalu menikahi Mama Mawar tanpa sepengetahuan Mama Ais. Lalu satu bulan setelahnya, setelah lama tak pulang dengan alasan pekerjaan. Pria itu akhirnya datang menemui Mama Ais dan terang-terangan mengakui kalau ia telah menikah. Lalu disaat yang bersamaan pula ia menceraikan istri pertamanya.
Mama Ais begitu terluka. Dalam kesendiriannya tanpa orangtua ia menikmati pilunya kenyataan. Padahal saat di mana suaminya pulang, ingin sekali ia memberi tahu bahwa dirinya sedang mengandung. Namun berita baik itu terpaksa harus tenggelam, oleh berita buruk yang dibawa oleh suaminya lebih dulu.
Mama Ais tahu betul apa yang menjadi alasan suaminya menikah lagi. Hatinya yang terbakar membuatnya mengambil keputusan untuk menyembunyikan kehamilannya. Sepuluh tahun berlalu, hanya itulah waktu yang Tuhan izinkan untuk Mama Ais menyembunyikan status anak-anaknya.
Papa Agung yang kembali tinggal di Indonesia setelah menetap di Malaysia harus berurusan kembali dengan Mama Ais. Wanita itu sakit, dan meninggalkan surat yang mengungkapkan siapa ayah dari kedua anak kembarnya.
Setelah Mama Ais meninggal. Papa Agung dan Mama Mawar yang saat itu ternyata belum juga dikaruniai seorang anak memutuskan untuk merawat Metha dan Megha.
Uniknya, Metha ternyata sangat cocok dengan ayah yang baru dikenalnya dan ibu tirinya. Mereka selalu berada dalam kesukaan, pendapat, dan cara hidup yang sama. Berbeda sekali dengan Megha yang selalu bertolak belakang dengan Papa Agung dan Mama Mawar.
Metha tumbuh menjadi gadis cantik berprestasi. Senang diatur, menonjol dalam lingkar pertemanannya, dan manja. Berbeda dengan Megha, ia lebih mandiri di banding kakaknya. Dia tidak suka diatur-atur, tidak mudah menerima orang baru di dalam hidupnya, kurang jago dalam pelajaran sekolah, dan selalu saja keinginannya tidak sejalan dengan orangtuanya.
"Kenapa bengong?" selidik Alvan, membangunkan Megha dari lamunannya.
"Enggak," jawab Megha sambil menggeleng. "Cuma kepikiran aja kalo gue nggak ada suami. Pasti sesedih nyokap."
"Hush! Jangan ngomong gitu," halang Alvan yang tahu betul latar belakang Megha. "Masa kehamilan lo akan jauh lebih baik dari nyokap lo! Gue nikahin lo, dan memberi perhatian penuh buat anak kita."
Ucapan Alvan menggelitik telinga Megha. Rasanya masih aneh kalau ia mendengar "anak kita" dari bibir Alvan.
"Kenapa lu cekikikan?" tanya Alvan, melihat perubahan tingkah laku Megha yang tergelak.
"Lucu aja! Anak kita – aneh banget, kan! Gue hamil anak sahabat gue sendiri. Sama sekali nggak pernah terlintas di otak gue." Lagi-lagi Megha tertawa.
Alvan terdiam memikirkan sesuatu, sama sekali tak terpengaruhi oleh gelak tawa Megha. Namun ucapan yang keluar dari bibir wanita itulah yang mengetuk hatinya.
"Hem... mungkin ini yang disebut jodoh."
Perkataan Alvan seketika mematikan tawa Megha. "Jodoh?" wanita itu membatin. "Jodoh apanya? Ini kan cuma permainan."
"Jodoh, maut, rezeki, selalu jadi misteri yang butuh waktu buat dipecahkan. Salah satunya, hubungan kita," sambung Alvan. "Gue kira hubungan kita sudah sampai dibatas maksimal sebagai sahabat. Ternyata... – "
"Bisa sampai menjadi suami dan istri?" sela Megha.
Alvan mengangguk pendek.
"Apa orang yang nggak saling mencintai juga bisa berjodoh, Van?"
Alvan memajukan tubuhnya dari sikap duduk bersandar. Diberikannya tatapan perhatian penuh itu kepada Megha.
"Sama seperti Tuhan yang membiarkan dua orang yang saling mencintai untuk tidak berjodoh, maka Dia juga bisa membiarkan orang yang tidak saling mencintai berjodoh."
Jawaban itu membuat Megha tertegun menyelami. Ia jadi berpikir, terlepas pernikahan mereka nantinya hanyalah sebuah permainan, tetapi bukankah tetap saja, pernikahan itu adalah ikatan sejati di hadapan Tuhan. Apakah permainan ini juga bisa disebut jodoh?
"Kenapa?" Alvan yang peka lagi-lagi membangunkan perenungan Megha.
"Oh, enggak!"
"Terus kenapa lo diam?"
"Gak pa-pa, kok. Gue cuma kaget aja, ternyata dalam memaknai soal jodoh. Pemikiran lo lumayan dalam juga ya."
Alvan mendengus seraya tersenyum kecil.
"Bisa gak sih, kalo puji orang jangan setengaj-setengah," protes Alvan.
"Bisa – bisa," balas Megha cepat. "Bisa bikin gue malas maksudnya!" ia pun kembali terbahak-bahak melihat raut muka masam dari wajah Alvan.
***
Di sepanjang perjalanan pulang Metha terus saja menangis. Bahkan sesekali ia bersikap seperti orang histeris. Ia sangat benci dengan keadaannya, berniat membuka tangan untuk memaafkan agar tak kehilangan keberuntungan, namun nyatanya Alvan menolak pengorbanannya.
"Kenapa jadi kayak gini sih, Pa!" jeritnya hampir saja membuat Pak Amud kehilangan fokus menyetir. "Pokoknya Papa sama Mama harus buat pernikahan mereka batal!"
Perempuan yang sudah bukan anak kecil lagi itu merengek habis-habisan. Kekesalannya tumpah hingga sampai rumah. Lagi-lagi ia mengunci dirinya di kamar. Hal itu tentu saja, membuat Papa Agung dan Mama Mawar ke pusingan tidak tahu harus berbuat apa.