webnovel

Episode 9 : Sulastri

"Sulastri! Ayo masuk ke dalam!" Suara seperti seorang laki-laki yang berumur 40 tahun memanggilnya untuk berhenti berteriak dan lekas ke dalam. Teriakan itu sontak berhenti menggema ke arah cak Dul dan mas Piet yang terus berpelukan seperti pasangan kekasih yang baru saja menikah. Wanita yang menyeramkan menjadi pendiam dengan rambut yang menutupi kening dan kedua matanya. Bibirnya berwarna biru seperti mayat yang dibiarkan selama berhari-hari tak dikubur. Lalu lengan kanannya lurus ke depan sembari mengacungkan jari ke arah mereka berdua. Ia mengisyaratkan bahwa kopi-kopi itu harus diberikan padanya untuk diminum sesegera mungkin agar rasa haus yang mencekiknya bisa lepas dari kerongkongan. Mas Piet memberikan wadah plastik yang berisi sepuluh gelas es kopi susu bercampur dengan darah manusia segar dari tangan mereka. Wanita itu berbalik badan membelakangi kemudian berjalan pelan seolah-olah tubuhnya melayang dari atas bumi.

Seorang laki-laki berperawakan sedang berbadan gemuk dengan perut buncitnya yang maju sepanjang tujuh sentimeter mengenakan baju adat jawa berwarna loreng perpaduan cokelat dan hitam dengan lengannya yang panjang, bersewek batik khas Yogyakarta dengan ukiran singa mengaum di bagian kanan dan kiri, wajahnya bundar berhiaskan kumis tebal untuk menampakkan kewibawaannya bahwa ia adalah seorang priyayi keturunan keraton Yogyakarta dan blangkon batik berpentolan di bagian belakang sebagai penambah citra pengauasa setempat. Tatapan matanya begitu tajam bagai musang kelaparan yang ingin segera mengisi perut dengan sepotong daging rusa. Ia membawa sebilah keris bermotifkan kaligrafi Arab dengan aksara Jawa pada bagian sarungnya serta ujung lancip pada pangkal yang selipkan di belakang punggungnya sebagai senjata apabila musuh datang mengancamnya.

"Kaliang ngapain datang kesini?". Terdengar dari suaranya yang meninggi dan menakutkan, Raden Faird tak suka dengan kedatangan mereka yang semaunya sendiri, tidak memiliki adab kesopanan, dan lebih parahnya tanpa melakukan perjanjian terlebih dahulu untuk bertamu di rumahnya. Kedua matanya terus memandangi cak Dul dan mas Piet dengan sinis, jika tatapannya memiliki sihir pastilah ia langsung menghempaskan mereka agar segera pergi dari rumah.

"Datang tidak memberikan salam. Asal masuk saja ke dalam rumahnya orang. Tidak melihat waktu kalau sekarang sudah tengah malam. Begitukah cara orang tua kalian mendidik?"

"Ma-maaf, paman." Cak Dul mulai angkat bicaranya dengan nada lirih penuh ketakukutan. Pelan-pelan dirinya menjelaskan maksud dan kedatangannya ke rumah Raden Farid. Tapi saat lidahnya ingin berkata, laki-laki itu mengunci mulutnya sampai membusung ke depan layaknya ikan cupang kelaparan.

"Aku bukan pamanmu. Namaku adalah Raden Gusti Slamet Hassanuddin Farid Aminullah keturunan dari Mbah Tjokro Aminullah. Dan perempuan tadi adalah anakku Raden Roro Sulastri Sri Hartini. Kalian ini anak kampungan yang tak memiliki harga diri dan tata krama, kenapa sangat lancang sekali datang kemari dan ingin menyentuh putriku?"

"A-anu, Raden. Mak- maksud kedatangan kami kesini untuk mengantarkan pesanan 10 es kopi susu yang telah saya campurkan dengan lima tetes darah manusia".

Cak Dul mulai memegang tangan mas Piet dan terus menariknya ke belakang sebagai isyarat ingin kabur dari rumah atau sebagai perlawanan apabila Raden Farid menyerang mereka dengan keris yang terselip di seweknya.

Raden Farid berdehem, tangan kanannya meraba-raba saku baju untuk mengambil sesuatu. Sepertinya ia akan mengambil uang sebagai imbalan serta jerih payah mereka untuk menyenangkan hati puterinya. Tapi tetap saja ia tak suka dengan mereka tanpa alasan yang jelas. Uang seratus ribu rupiah diberikan kepada cak Dul lalu tangannya bergoyang sebagai isyarat mengusir mereka pergi dari rumah Raden Farid. "Terima kasih banyak, den." Cak Dul membungkukkan badan sambil kemudian pergi dengan membawa motornya untuk kembali ke warung kopi.

***

Sulastri, tidak ada yang mengerti asal-usul kelahiran perempuan itu. Rumor mengatakan ia adalah anak hasil hubungan gelap dari sepasang kekasih di desa Laren. Namun karena sang ayah tak ingin mengambil risiko dengan alasan takut dipermalukan oleh keluarga dan kerabatnya, ia memaksa isterinya untuk membuang bayi tersebut pada waktu tengah malam.

Akan tetapi sang ibu tak rela apabila anaknya dibuang begitu saja, wanita manakah yang tega membuang darah dagingnya dengan alasan nafsu semata. Ia lalu membawa pergi bayinya jauh dari suami serta keluarganya pada suatu desa bernama Zombok. Di desa ini ia menemukan rumah kosong dengan lantai berupa tanah, dinding batu bata, atap yang hanya berupa seng dan tak memiliki pintu maupun jendela. Akhirnya wanita ini tinggal bersama anaknya untuk bertahan hidup. "Nak, ibu akan memberimu nama Sulastri. Kelak kau akan menjadi wanita yang cantik dan menjadi bunga desa disini. Temani ibu ya, nak. Tetaplah hidup hingga seribu tahun."

Hari demi hari wanita ini hanya mengemis di pinggir pasar sambil menggendong bayinya yang terus menangis karena kelaparan. Ia menengadah kepada orang-orang yang lewat agar memberinya sesuap nasi untuk dirinya dan bayinya. Sayangnya usaha yang ia hasilkan sia-sia. Setiap malam tiba ia selalu pulang membawa tangan kosong. Ia hanya berdoa agar Tuhan memberikan hidup kepada bayinya yang masih mungil walaupun perut kosong masih terus menghantuinya.

Suatu ketika saat berada di pasar, seorang laki-laki datang kepadanya sambil memberikan 5 buah jagung yang sudah matang dengan biji-biji berkumpul di badannya dan warna kuning cerah seperti mentari di pagi hari membuat siapapun ingin segera menyantap jagung-jagung itu.

"Ambilah. Berikan kepada bayimu lalu tanamlah sebagian supaya kau mampu menyambung hidup" Wajah ibu Sulastri sumringah atas pemberian orang tak dikenalnya sama sekali. Pria itu segera berlari meninggalkannya begitu cepat dan menghilang dari pandangan dalam sekejap. Wanita itu mengupas kulit jagung yang masih segar seperti mengupas sebuah pisang ambon berukuran besar. Mulutnya lahap memakan jagung yang diberikan oleh pria itu sampai lupa bernafas saking laparnya, lambungnya merasa senang mendapatkan pasokan energi setelah berhari-hari hanya diisi oleh air dan batu kerikil. Setelah satu jagung habis, ia kupas jagung kedua untuk diberikan kepada Sulastri kecil agar tangisannya berhenti sejenak. Dilumat perlahan biji-biji jagung oleh mulut tak bergigi ini agar tak tersedak. Sulastri berhenti menangis sebagai pertanda bahwa perutnya sudah kenyang. Wanita ini pulang dengan membawa sisa jagung untuk ditanamkan di pelataran tanah kosong yang hanya penuh rumput-rumput liar.

Waktu terus berjalan hingga Sulastri menjadi seorang gadis yang memiliki paras cantik dengan tatapan mata yang mampu menggoda setiap laki-laki di seluruh desa. Rambutnya terurai hingga melebihi punggungnya yang molek itu, badannya kurus dan ramping namun ideal, tangannya putih laksana mutiara yang baru diambil dari kerang terbaik di lautan. Ia bagaikan bidadari yang terjatuh dari surga dan ingin mencari lelaki tampan seperti nabi Yusuf untuk menjadi tumpuan hidupnya. Sehari-hari ia hanya mengenakan kebaya putih dan sewek pemberian ibunya untuk berpergian mencari makan atau menggoda para penyamun di pasar yang sedang menahan konaknya untuk kawin. Sulastri adalah gadis ramah serta periang kepada siapapun yang ditemuinya, mulai dari pedagang sayuran, petani desa, anak-anak kecil yang menerbangkan layangan, bahkan istri kepala desa begitu iri akan kecantikan Sulastri.

Namun di balik itu, hatinya diselimuti oleh rasa dengki dan congkak. Ia tidak ingin disaingi oleh gadis manapun. Ia ingin menjadi satu-satunya bunga desa bahkan gelar ratu desa akan disabetnya walau dengan darah. Untuk memenuhi keinginannya, dukun pedalaman didatangi oleh Sulastri sebagai harapan agar kecantikannya abadi sepanjang masa. Namun untuk mendapatkan impiannya, ada satu syarat yang harus dipenuhi yaitu jantung ibunya sendiri.

Dukun itu meminta jantung sang ibu agar resep mujarabnya bisa berjalan dengan baik. Sulastri memohon kepadanya namun tiada hal lain selain itu. Ia ingin menangis namun bisikan setan telah membutakan pikiran dan perasaannya. Sang ibu didatangi saat malam telah larut. Sebilah pisau tajam telah digenggam erat-erat. Air matanya telah berkumpul namun ambisi untuk tetap abadi mematikan hati nurani. Sulastri mendatangi ibunya ketika telah tertidur pulas. Langkah kaki berjalan menuju sang ibu yang telah menua digerogoti usia. Tanpa berpikir panjang, ditikamlah dada ibunya sampai darah menodai seluruh tangan kanannya.

"Su, Sulastri. Ada apa denganmu nak?". Kini ibunya sedang sekarat menghadapi maut akibat ulah anaknya. Napasnya tersengal-sengal menunggu nyawa tercabut dari jasadnya yang hanya bersisa tulang dan kulit. Ia tak menyangka usahanya merawat Sulastri dari bayi kecil hingga dewasa begitu sia-sia. Dulu ia rela berjalan jauh demi sesuap nasi untuk sang buah hati tercinta. Sayangnya saat ini ia harus meregang nyawa di tangan anaknya sendiri. "Bu, maafkan Sulastri. Aku sayang sama ibu. Tapi aku tak punya pilihan. Istirahatlah dengan tenang, bu". Tubuh sang ibu dicabik dan dirobeklah dada kiri kemudian ditarik seonggok jantung sebesar genggaman tangannya. Air matanya terus mengalir melewati pipi akibat bisikan setan yang tersemat di kedua telinga Sulastri. Nasi sudah menjadi bubur. Penyesalan Sulastri hanya debu yang terhempas angin.

Sulastri membiarkan tubuh ibunya yang tak bernyawa di tempat tidur. Ia segera keluar dari rumah sambil membawa jantung sang ibu yang masih dipenuhi darah kepada seorang dukun demi kecantikan abadi. Ia menembus malam yang gelap menuju tempat persemayaman sang dukun yang terletak sangat jauh dari tempat tinggalnya. Jalan setapak yang penuh rerumputan dan hewan-hewan liar yang mengancam nyawa dilewatinya dengan perlahan. Sang dukun bertapa di bawah pohon beringin yang sangat besar dengan akar yang bergelantungan di segala penjuru.

"Jadi, kau sudah ambil jantung ibumu"

"Sudah, Ki. Jantung segar yang baru aku ambil tadi. Sekarang, ap akita bisa memulai ritual?"

Dukun itu membalik badan ke hadapan Sulastri tanpa memandangnya, ia bisa merasakan kehadiran Sulastri berada tepat di depannya mulai dari detak jantung, hembusan napas, sampai aliran darahnya. Sang dukun menarik nafas dalam-dalam lalu mengambil sebilah keris di pinggangnya dan merebut jantung dari genggaman Sulastri dengan secepat kilat. Mulutnya berkomat kamit sampai air liurnya berkeliaran di penjuru tempat ia duduk dan tak sadar terkena Sulastri hingga basah kuyup. Suara hewan-hewan yang bersemayam dalam semak-semak tak dihiraukannya walaupun mereka ingin menerkam sang dukun. Matanya masih dipejamkan dengan mulut yang terus bergoyang sambil membaca mantra khusus pemanggil arwah. Jantung berada di tangan kiri ditancapkan dengan keris hingga menembus telapak tangan. Tak ada raungan rasa sakit akibat tusukan keris itu walaupun darah menetes hingga membanjiri seluruh lengannya.

Kemudian ia memasukan jantung milik ibu Sulastri ke dalam mulutnya sampai penuh oleh daging dan darah. Ia lahap dan lumat secara nafsu sampai pipinya menggembung seakan mau meledak dan secara cekatan ia tarik Sulastri hingga bibir dengan bibir saling bertemu. Sulastri merasakan bau amis darah ibunya sendiri menusuk hidungnya hingga ia mau muntah tapi terus ditahan demi kecantikan abadi mengekalkan hingga kiamat.

Dukun itu terus melumat bibir Sulastri sambil menyumpal mulutnya dengan jantung yang dikunyahnya selama beberapa saat. Setelah habis, Sulastri melepaskan cengkeraman mulutnya dan mengunyah perlahan-lahan jantung sang ibunda yang dirasa begitu lezat sampai halus lalu ditelan hingga tak bersisa sedikitpun.

"Wahai arwah kecantikan abadi yang tak akan mati, keluarlah! Rasukilah wanita ini dan kuasai seluruh elok tubuhnya."

Tiba-tiba tubuh Sulastri membiru pucat dari wajah hingga kakinya seperti mayat yang terapung dalam air selama berhari-hari. Ia mulai menggigil padahal salju tak turun di tempatnya dan sangat mustahil wilayah tropis dihujani badai salju. Di bagian dada terasa sakit dan sesak seakan tertusuk oleh ribuan pedang yang menghujam tubuhnya berkali-kali. Sulastri ingin berteriak namun lidahnya kaku tak mampu bergetar namun terus menjulur seperti anjing yang kehausan. Bola matanya memerah darah laksana manusia vampir yang siap menggigit leher dengan taring tajamnya. Sulastri memandangi seluruh tubuhnya yang berubah menjadi mayat hidup dengan kuku hitamnya di tangan maupun kaki. Kutukan apalagi pada diri Sulastri sehingga harus mendapatkan tubuh di luar harapan. Sia-sia sudah nyawa ibunda tercinta di tangan seorang anak yang tak tahu berterima kasih atas setiap pengorbanan dan kasih sayang sepanjang masa.

"Apa yang kau lakukan kepadaku dasar dukun biadab!". Sulastri mencekik leher tua sang dukun dengan cengkeraman yang sangat kuat sehingga oksigen susah memasuki paru-parunya. Jika ingin mati biarlah mati sia-sia akibat janji manis yang keluar dari mulut busuknya. Seperti bangkit dari kubur, Sulastri terus menambah kekuatan cengkeraman tangannya sampai keluh lidah sang dukun.

"I-itu, adalah efek samping dari mantera kecantikan yang abadi. Sa-saat siang hari kau adalah wanita tercantik sejagad raya. Namun saat malam hari mantera itu akan hilang dan akan mengubahmu menjadi wanita paling hina."

"KURANG AJAR!" Sulastri terus mencekik sekuat mungkin dukun yang telah mengubahnya menjadi buruk rupa, walaupun tatapannya memohon belas kasih agar diampuni seluruh dosa-dosa terhadapnya sehingga malaikat maut tak terganggu waktunya untuk memisahkan ruh dari jasad sang dukun. Namun permohonan ampun tak digubris oleh Sulastri, diacungkan sebilah keris lalu ditusuk hingga menancap ke dalam lehernya. Dukun itu telah mati sia-sia tanpa memiliki kesempatan untuk bertaubat kepada Tuhan.

Sulastri membiarkan jasad pendosa ini begitu saja sampai menunggu waktu belatung akan melahap habis jasadnya sampai tersisa tulang belulang. Ia sangat kebingungan harus pergi kemana lagi? Tubuhnya tak seperti manusia normal pada umumnya yang memiliki putih, sawo matang ataupun hitam dan bersih tanpa cacat sedikitpun. Langkah kakinya sudah tak mampu berlari lagi ketika bertemu dengan orang-orang desa yang sedang melakukan ronda malam, khawatir dia adalah penyihir seperti mitos orang-orang akan menyantet seseorang dengan paku serta boneka mirip manusia sehingga bagian organnya akan dipenuhi paku berkarat. Atau orang akan menganggap Sulastri sebagai siluman babi ngepet melalui moncong panjangnya seluruh harta penduduk desa akan dibawa pergi untuk membeli emas dan perak.

"Apa yang harus kulakukan? Apa yang telah aku lakukan? Mengapa aku tega melakukan semua ini?". Tangisnya pecah sampai membuat hewan-hewan malam terbangun dari tidur lelap setelah lelah seharian mencari makan untuk keluarganya. Keheningan malam berubah menjadi gemuruh tangisan seorang gadis berdosa akibat ulah setan yang menguasai akal pikirannya.

Sulastri sudah tak memiliki harapan hidup lagi, mulai dari pembunuhan sadis pada ibunda tercinta, sekujur tubuh yang telah dikutuk hingga membunuh seorang dukun. Ia ingin menyusul kedua orang itu dengan cepat agar bersama-sama dikumpulkan dalam surga yang tenang.

"Sulastri!". Suara datang dari dalam semak belukar gelap tanpa penerangan. Kini ia takut apabila datang seorang pembunuh yang sudah lama mengincar sedari berangkat menuju sang dukun. Tiada senjata atau perisai pelindung untuk melindungi tubuh mungilnya dari lemparan tombak atau timah panas yang akan mengoyak kepalanya. Panggilan itu berganti langkah kaki berat bak prajurit bersepatu boots berbobot 10 kilogram yang siap menghantam tangannya. Suara itu terus mendekat kepadanya ditambah suara tongkat berdentum di tanah yang terus diketuk berkali-kali. Sulastri semakin lemas tak berdaya, ia pasrah jika harus meninggalkan dunia malam ini. Apa terserah Tuhan dimanakah akan bertempat setelah perpisahan dengan fatamorgana dunia. Kenikmatan surgakah atau kesengsaraan neraka?

"Sulastri! Janganlah engkau takut. Mari pulang bersamaku. Kini, aku adalah ayahmu."

Nächstes Kapitel