webnovel

Episode 10 : Lelah

"Dasar orang tua enggak tahu diri. Dikira kopi ini punya mbahnya gitu?! Masa pesan kopi rasa angkringan?! Malah dikasih 20 ribu rupiah tanpa dikasih bonus lagi. Dahlah! Lain kali aku enggak mau kesana lagi. Walaupun nanti akan diteror, disantet, bahkan dibunuh pun. AKU TIDAK PEDULI!". Suasana malam yang gelap berhiasi purnama malam di ujung barat diiringi kokokan ayam jantan untuk membangun setiap insan yang masih terlelap mulai saling bersahutan di rumah-rumah penduduk desa demi mengingatkan mereka akan pentingnya bangun pagi demi kelancaran rezeki. Induk-induk hewan mulai bangun lalu membangunkan anak-anaknya yang sedang asyik menyusui sampai-sampai perut mereka membuncit hingga seluruh badan. Tapi lain lagi jika hewan itu nokturnal, malam hari tenaganya digunakan untuk mencari hewan kecil sebagai santapan malam sedangkan menjelang pagi mereka pulang ke sarang untuk tidur nyenyak mengisi tenaga atau temu kangen bersama keluarga sambil menidurkan anak mereka.

Mas Piet lebih banyak diam menyimak celotehan serta sumpah cerapah yang terus memanasi telinganya sampai pening kepala. Suara cak Dul beradu keras bersama hewan-hewan di semak belukar atau suara traktor petani yang dipanaskan agar siap menggempur tanah persawahan becek. Bibir merah kehitaman cak Dul karena terlalu banyak menghisap rokok kretek terus memuntahakan air liur ke penjuru arah. Amarah dalam dada terus ia keluarkan sebanyak mungkin walau sampai meledakkan seluruh desa hancur berkeping-keping, siapa peduli? Untuk apa merasa iba kepada seseorang jika peluh keringat seluas samudera hanya terbalas dengan seoongok batu kerikil. Dendamnya terus diluapkan kepada Raden Farid melalui makian yang tak tahu apakah akan masuk ke telinganya atau tidak

"Cak, sudah dong marah-marahnya. Enggak enak sama orang-orang. Toh habis ini shubuh akan datang, pelanggan siap dengan dompetnya yang tebal untuk memenuhi dompet kita."

"Persetan dengan pelanggan! Awas saja jika pak tua itu datang ke warung. Akan kucincang seluruh badannya dan kulempar ke Bewangan Solo biar dimakan buaya."

"Cak, jangan gitu dong. Nanti urusannya bisa panjang. Kalau kau turuti nafsu membunuhmu, kau akan diincar oleh polis, penduduk desa akan menganggapmu biang kerok, warungmu akan diluluhlantakan seperti tanah. Dan yang paling parah, Yuli akan menjauhi selamanya dan akan menikah bersama orang lain, cak."

Cak Dul merasakan badai petir menghantam pikiran dan dadanya sampai tak sanggup berkata-kata lagi. Wajahnya seakan penuh tamparan bertubi-tubi sampai dibuat lebam tak berdaya. Kedua matanya memerah dan berair hingga bengkak karena masih terjaga di saat semua orang masih mengorok di atas karpet rotan. Lidahnya terasa kaku padahal saat mengumpat dan mengeluarkan kata-kata fasih yang diambil dari kamus kebun binatang terasa ringan tanpa beban.

Suara mesin yang berdengung harus berhenti di tengah jalan perempatan Drajad. Sesekali mobil berkecepatan tinggi melesat bagai kilat di tengah hujan melemparkan seluruh debu ke motor RX King milik cak Dul. Nafasnya tersengal-sengal seperti sapi jantan yang kehabisan darah karena disembelih untuk menjadi santapan perut manusia.

"Aku sudah enggak kuat, mas. Kita berhenti dulu disini."

"Ah nanggung, cak. Itu loh di depan sudah terlihat angkringan milik temanmu."

"Siapa? Udin? Ah aku enggak enak, mas. Lagian aku enggak sanggup untuk bangun."

"Ayo lah cak. Tinggal sedikit lagi."

Apes, cak Dul telah terlelap dengan posisi duduk menyilangkan kaki beralaskan batu paving yang dingin seperti es. Suara mengorok berirama tinggi bak konser Queen menyanyikan lagu Bohemian Rhapsody di California. Sesekali tangan kanan cak Dul menggaruk bagian belakang tubuhnya kemudian menyawer hidung lalu tidur kembali,

"Udiiiin. Sini dong! Bantu aku angkat cak Dul. Dia sudah pingsan."

Mas Piet meneriaki Udin yang jaraknya sekitar 500 meter dari kaki berpijak. Udin masih segar bugar seolah tersengat alat pengejut atau meminum satu karung dopping yang membuat seluruh badan bekerja tanpa ada rasa lelah sedikit pun. Udin mengenakan kaus oblong bergambarkan dua pria berpeci yang diduga merupakan pasang calon pemimpin daerah. Dalam gambarnya, dua pria mengeluarkan senyum manis seperti janjinya yang selalu memberikan bermacam rupa bujukan agar masyarakat memilih dirinya saat pencoblosan. Namun ketika masyarakat menagih kapan akan terealisasi, ia selalu saja menyimpan alasan berbelit sebagai pelindung nama baiknya agar terpilih lagi pada pemilihan 5 tahun mendatang.

Udin sedang mengaduk kopi hitam bercampur susu untuk seorang pelanggan setia yang rela menemani hingga fajar mendekat. Digoyangkan jari jemari yang kurus kering sambil diikuti pinggul bergoyang ke kiri dan ke kanan. Mulut maju ke depan mengeluarkan siulan Rayuan Pulau Kelapa dengan syahdu. Kedua telinga dibuat bisu olehnya sampai tak mampu membedakan suara nada do hingga do kembali. Mas Piet terus memanggilnya tapi tak sekalipun didengarkan oleh Udin. Sampai serak suara mas Piet, dilemparkanlah batu kerikil mengenai kepalanya sampai benjol.

"Hoi. Sudah puas goyangnya bos? Ada orang manggil kok enggak dibalas. Seenggaknya dihargai dong. Penting nih, Din. Ayo segera kemari!"

"Oh. Hai mas Piet. Apa kabar kau disana? Ngapain kok melongo saja disana? Sedang menunggu babi ngepet ya?"

"Babi ngepet gundulmu. Ayolah segera kesini."

Si Udin lari terbirit-birit seperti kesetanan. Setan manakah yang sudi merasuki tubuhnya yang kurus kering tak berdaging, genderuwo mungkin lebih baik tidur daripada merasakan kehangatan tubuh Udin. Mas Piet geleng-geleng kepala atas kelakuan Udin, yang boleh dikatakan sebagai pasien rumah sakit jiwa yang kabur sebelum waktunya. Beruntung saja jalan sedang sepi tanpa motor atau mobil, bahkan truk tak melesat. Mas Piet tak menyangka bahwa cak Dul memiliki banyak kawan dan mudah bergaul dengan siapapun tak peduli kaya atau miskin, baik atau jahat, bahkan waras atau gila tetap saja tak dipandang remeh olehhnya.

"Jadi, apa yang bisa aku bantu bang Piet? Loh?! Dullah ngapain tidur disini?"

"Ya makannya itu aku minta bantuanmu, bang. Tolong kamu angkat cak Dul ke motor terus tidurkan di warungmu ya. Nanti agak siang kita akan kembali deh."

"Ya gapapa deh gapapa. Tapi kalian harus beli minuman loh nanti. Jangan asal pulang saja kalian. Rugi nanti pula aku, cah."

"Ya suantai bang Udin. Yasudah nih tolong dibopong ke motor. Tapi kamu yang nyetir ya.

"Asem."

Mas Piet dan Udin mengangkat bersama-sama tubuh cak Dul yang terkulai lemas di trotoar dingin akibat angin malam berhembus semalam. Awan sungguh bersahabat kepada seluruh penduduk desa Lamongan karena tak menurunkan tangisan awan sehingga mereka tak repot begadang semalaman akibat atap bocor. Tapi sengsara bagi petani jagung yang sedang menunggu buah jagung untuk dijual kepada tengkulak agar bisa membeli beras sekarung untuk keluarganya yang kelaparan.

"Dullah ini badannya kurus kering tapi kok berat sekali". Udin mulai mengeluh dengan suara serak akibat begadang semalaman melayani bapak-bapak di kedai angkringan untuk menikmati. Bukan karena terlalu banyak minum tuak atau anggur merah, tapi karena reaksi dalam tubuhnya akibat tak mengistirahatkan pada malam hari sehingga organ dalam harus bekerja ekstra dan mengakibatkan mata berair, hidung beringus, dan kepala pusing mirip seperti terkena Influenza.

Posisi depan diduduki oleh Udin, tengah cak Dul, dan bagian belakang adalah mas Piet yang berada di belakang sendiri menahan seluruh tubuh cak Dul agar tak terjatuh ke jalanan. Bisa bahaya nanti jika terjatuh. Mungkin hal terkecil adalah terjatuh lalu mengalami luka ringan di bagian lengan dengan tempo sembuh tidak terlalu lama. Paling lama mungkin hanya seminggu. Jika luka sedang bagian lengan akan patah atau sobek, maka ia harus dijahit atau dioperasi untuk menyambungkan tulangnya. Penyembuhan membutuhkan waktu minimal satu bulan, bahkan lebih dari itu. Biaya pun juga tak main-main, jika tak mampu membayar dengan uang maka nyawa harus dipertaruhkan untuk membayar biaya pengobatan di rumah sakit. Dan yang terakhir, apabila ia terluka berat akibat terjatuh kemudian tertabrak bis lalu mengakibatkan seluruh tubuh serta isi perutnya bertebaran kemana-mana. Maka siapa yang akan menanggung nyawanya? Mas Piet hanya mengandalkan cak Dul sebagai pemilik warung, sedangkan Udin belum tentu memiliki aset tanah di Lamongan untuk membayar ganti rugi. Jelas Udin dan mas Piet tidak mau membiarkan cak Dul terjatuh di jalan.

"Bang Udin, kok lama sekali sih sampainya? Perasaan Cuma 500 meter saja loh. Tapi kok seperti perjalanan ke Lamongan kota?"

"Engg, anu mas. Aku sebenarnya juga enggak terlalu lancar memakai sepeda motor kopling. Ini saja aku pelan-pelan narik gasnya. Hehe."

"Duh, sudah capek aku bang. Ayo cepetan dong. Aku juga ingin tidur."

"Ehhh. Ya deh ya. Sabar ya."

Mas Piet terus menahan tubuh cak Dul yang kadang naik turun, ke samping kanan dan kiri terombang-ambing bak gelombang laut di pantai Kutang pada siang hari yang ombaknya menggerus apapun di depannya biarpun ia adalah batu raksasa atau kelomang yang sedang mencari cangkang untuk berlindung, bakal digerusnya habis.

Motor RX King yang dikendarai oleh Udin seperti orang batuk-batuk di malam hari. Kepalanya terlihat bingung melihat cara agar motornya bisa berjalan sempurna tanpa nyandet-nyandet. Mata kantuknya telah payah melihat sandi berbahasa Rusia yang sangat susah dibaca apalagi dipecahkan. Jika tangan kirinya menekan terlalu kuat, motor tak bisa berjalan. Jika dilepaskan, mesin akan mati. Sialnya jika ingin mesin hidup, kakinya yang hanya terbuat dari tulang dan sedikit daging harus mendorong kuat-kuat double starter pada sisi kanan motor. Sudah ribuan kali Udin melakukan hal tersebut sampai nafasnya terengah-engah bermandikan keringat.

"Sudah mas. Kamu turun dan bawa Dullah ke angkringan. Biar aku tuntun saja motornya. Capek banget aku sedari tadi nih motor enggak mau nyala dan enggak bisa jalan.". Udin mulai berang pada motor tua cak Dul seakan mau membantingnya atau menjual ke tukang rongsokan lalu diganti yang baru saja. Memang betul motor cak Dul tak berkarat sedikitpun, namun bagian mesin dalam wajib hukumnya diperbaiki atau diganti semua dengan mesin modern agar tidak batuk-batuk lagi.

Mas Piet menuntun jalan cak Dul seperti habis pulang dari medan perang melawan penjajah Belanda yang ingin menguasai Nusantara bermodalkan bambu runcing. Kakinya dihujam oleh peluru sniper sampai membuatnya tak bisa berjalan dan mati semua seluruh syaraf pergerakannya. Mas Piet terus menuntun cak Dul perlahan walaupun air liur menetes ke bajunya hingga berbau busuk. Pelan-pelan direbahkan tubuh kurus berotot itu ke atas karpet merah permadani surga Firdaus yang empuk dan berbau wangi aroma misk. Biarlah burung-burung berterbangan di atas permukaan sambil menebarkan makanan lezat serta minuman anggur yang tak memabukkan. Di samping, puluhan wanita cantik membelai wajahnya lalu mencumbu bibir kecil yang mungil sampai hasrat terpenuhi.

"Sudah tidur ya si Dullah?" Udin bertanya dengan sinis kepada mas Piet sambil memandangi tubuh kurus terhampar di karpet rotan yang sudah kumal.

"Sudah nih. Tapi suara ngoroknya bikin aku susah tidur."

"Hahah. Buang saja ke laut tuh si Dullah."

Tiba-tiba seorang wanita berdaster kuning bermotif bunga matahari di pagi hari sepanjang lutut datang dengan kaki terseok-seok menyapu jalanan. Pandangan matanya tajam namun kosong dengan arah yang tak jelas ia ingin kemana. Rambutnya begitu indah layaknya seorang putri Cinderella sehabis pulang menemui sang pangeran. Wajahnya bersih berwarna sawo matang sampai sekujur tubuh. Namun dilihat dari perawakannya, ia adalah mayat hidup yang baru bangkit dari kubur untuk membalaskan dendam kepada sang pembunuh bayaran.

"Mas, boleh bertemu cak Dul dan mas Piet?"

"Su, Sulastri????"

Nächstes Kapitel