"Dasar hantu, lu!" gerutu Shireen, ia merasa malu karena ketahuan oleh Sullivan.
"Unch, apa? Lagi berkhayal jadi bini gua? Jangan ngarep lu, pea!" cibir Sullivan menoyor kepala Shireen dan berlalu begitu saja.
"Siapa juga yang mau sama lu! Dasar tua, alot, bangkitan!" gerutu Shireen, ia batal meminta makanan dan kembali ke kamarnya.
Pagi hari Shireen dan Sullivan sudah siap di ruang tengah. Sama seperti kemarin, hanya ada Madam Choi yang menyambut dan menemani mereka. Sedangkan Mr Dave, memang tidak mau bertemu dan mengurung diri di dalam kamarnya.
Sullivan berpamitan pada Madam Choi, seakan melepas anaknya sendiri, Madam Choi dengan hangat memberikan restu. Meski semua hanyalah kamuflase biasa, mereka masuk ke dalam mobil dan diantar sampai ke Ontario. Sepanjang jalan Shireen tak berhentinya berdecak kagum, melihat pemandangan sekitar.
Salju tidak pernah turun di Indonesia, hal tersebut membuat Shireen merasa beruntung. Karena tidak pernah melihat dan merasakannya secara langsung. Setiap momen ia abadikan di depan kamera, meski sulit sekali mengajak Sullivan untuk selfie.
Sesampainya di hotel, Sullivan langsung membersihkan dirinya dan menemui klien. Sementara Shireen menatap indahnya air terjun Niagara falls yang begitu indah. Hatinya tak sabar ingin segera ke air terjun dan mengambil foto.
Tapi ia teringat pada pesan Sullivan yang mengatakan padanya, untuk tidak ke mana-mana tanpa dirinya. Shireen hanya bisa duduk di pinggir jendela, ia kembali mengingat percakapannya dengan Megan semalam.
"Saya kadang kasihan pada Om Sulli, dia seperti kambing hitam di keluarga ini aslinya," kata Megan.
"Kenapa kamu berkesimpulan demikian, Megan?"
"Karena saya sering dengar, Madam ketika susah pasti menelpon dia. Sedangkan saat senang, mereka tidak ada yang ingat," jelas Megan.
"Kasihan juga kalau gitu."
"Benar, mbak Shireen, makanya Om Sulli tidak pernah ada waktu untuk mencari jodoh."
"Jadi, dia udah tua begitu masih aja jomblo?"
"Saya nggak tahu sih, dia single atau bukan. Soalnya dia tertutup sekali orangnya."
Shireen tersenyum lebar saat mendengar hal tersebut, ia penasaran dan berniat mengulik sisi lain dari seorang Sullivan. Shireen memesan pada service hotel untuk menyiapkan makan malam di kamar mereka. Ia ingin membuat kejutan untuk Sullivan, sepulang bertemu dengan kliennya.
Di sebuah mall, Sullivan tengah menunggu seorang pria. Dia adalah Dimitry, klien yang akan menginvestasikan uang di perusahaannya. Sebelum bertemu dengan pria tersebut, Sullivan sudah mencari tahu latar belakang dan sepak terjang Dimitry dalam dunia bisnis.
"Hallo, apakah anda Sullivan?" sapa seorang pria, yang berdiri di samping Sullivan.
"Oh, hai, hallo Mr Dimitry," sambut Sullivan, ia bangkit dari duduknya dan menyalami Dimitry.
Dua bodyguard pengusaha itu mengapit Sullivan, ia tidak heran karena sudah mengetahui siapa yang dihadapinya. Mereka sedikit berbincang sekadar perkenalan, setelah itu Sullivan mempresentasikan produk yang dimiliki oleh PT Abinaya. Tidak lama kemudian, dua orang lainnya menyusul ke dalam meeting.
Cara Sullivan menyampaikan presentasi sangat disukai oleh Dimitry, pembawaannya yang santai dan nyaman saat bicara. Semakin menambah kekagumannya pada sosok Sullivan, selesai membahas pekerjaan, Dimitry mengajak Sullivan makan di salah satu food court.
Dimitry meminta para pengawalnya menjaga jarak, hal tersebut membuat Sullivan senang. Tanpa ia minta, Dimitry bercerita sendiri tentang latar belakang siapa dirinya. Meski sudah tahu akan hal itu, Sullivan tetap bungkam dan pura-pura tidak mengetahui apapun.
Itulah caranya masuk ke dalam pikiran seseorang. Kosongkan gelas milikmu, jika kamu ingin belajar. Prinsip itu selalu ia pegang dengan teguh, ketika berhadapan dengan lawan bicaranya. Supaya ia tahu lawannya asal bicara atau ada isinya, mereka pun sampai di food court dan duduk berhadapan.
"Sulli, saya boleh bertanya sesuatu yang agak pribadi?" tanya Dimitry, mereka bicara dalam bahasa inggris.
"Tentang apa?" Sullivan balik bertanya.
"Sudah berapa lama, kamu ikut keluarga Dave Choi?" Dimitry tiba-tiba melontarkan pertanyaan tersebut.
Sullivan menatap tajam pria di depannya, sudah ia duga bahwa Dimitry akan bertanya demikian. Ia pun menyunggingkan senyum dan menjawab dengan tenang.
"Cukup lama," jawabnya singkat.
"Itu berarti kau tahu sumber harta mereka didapat dari mana?" Dimitry semakin gencar menyelidik, hal tersebut membuat Sullivan waspada'
"Saya hanya asisten dan hanya tahu sedikit tentang mereka. Keluarga merupakan orang ternama di tanah air. Mereka sangat dermawan dan sangat baik, setelah itu saya tidak tahu apapun. Sebab, saya hanya seorang yang selalu di suruh oleh mereka," jawab Sullivan sambil berkelakar.
"Cih! Dermawan dari hasil merebut hak orang lain." Dimitry berdesis.
Sullivan tersenyum senang, karena pancingannya telah berhasil.
"Maksud anda? Saya tidak mengerti."
"Kau tahu Sullivan, dari caramu memberikan presentasi tadi. Saya yakin, kamu bukanlah orang yang bodoh. Saya pernah bertemu dengan orang seperti kamu, sayangnya dia sudah tiada," tutur Dimitry.
"Lalu?" Sullivan semakin tertarik mendengar cerita Dimitry.
"Jujur, saya investasi di PT Abinaya bukan untuk berbisnis," ungkap Dimitry.
"Lalu, apa Mister?"
"Revenge," jawab Dimitry singkat.
'Ini yang gue tunggu,' bisik hati Sullivan.
Sullivan diam menunggu Dimitry kembali bicara, ia tidak banyak bertanya untuk tahu sejauh mana pria itu percaya padanya. Saat tengah berbincang serius, pesanan makanan datang ke meja mereka. Dimitry mengedipkan mata pada pelayan wanita yang mengantar makanan ke meja mereka.
Sullivan memperhatikan tingkah Dimitry, lagi-lagi hatinya berbisik mencibir perilaku bule tersebut. Sambil makan Dimitry melanjutkan ceritanya, dari mulai dirinya masih kecil. Hingga suatu tragedi menimpa hidupnya dan membuat dirinya kehilangan sang ayah.
Dimitry mengatakan ayahnya mati bunuh diri, setelah bisnis yang dibangun bersama Dave Choi gagal. Tuan NIchole, ayahnya mati bunuh diri dengan menembakkan pistol ke mulutnya, saking depresi seluruh hartanya raib, bahkan pakaian yang dikenakannya pun lenyap.
Dimitry sedikit emosional saat menceritakan kembali kronologi ayahnya yang meninggal dunia. Awalnya ia tidak tahu apa-apa, tapi saat mempelajari berkas kerja ayahnya ia menemukan kejanggalan. Di mana saat itu ia menyadari bahwa ayahnya telah dicurangi, dalam berkas perjanjian kerjasama.
Tertulis nama Dave Choi sebagai mitra kerja Tuan Nichole, sejak saat itu ia dendam pada keluarga Choi dan berniat menghancurkannya. Sullivan masih diam menyimak, ia mencermati cara bicara Dimitry yang menurut pengamatannya berkata jujur. Ia senang pada akhirnya mendapat lawan seimbang untuk membalas keluarga Choi.
"Kenapa Anda membicarakan hal ini pada saya?" sela Sullivan.
"Sebab, saya ingin kamu membantu pembalasan pada mereka," jawab Dimitry dengan yakin.
"Jika saya tidak mau?"
"Maka kamu akan kehilangan kesempatan emas." Dimitry tersenyum penuh arti.
"Saya bekerja bukan untuk berkhianat. Jika anda meminta saya melakukan kerjasama. Maaf, saya tidak bisa Tuan Dimitry."
"Why, Sullivan?"
"Cause, I have a attitude," jawab Sullivan.