"You're right sir, I'm not stupid," kata Sullivan, ia menyentil kerah jas Dimitry, lalu mengangkat tangan bodyguardnya.
Ia tahu ada kamera kecil di jas tersebut, Dimitry sengaja menaruh dua bodyguardnya. Karena mereka memasang microfon kecil di lengan jas bagian bawah untuk merekam pembicaraan mereka. Sullivan pamit pulang, karena pertemuan mereka telah usai.
"Aku suka gayamu Sullivan, sudah kuduga bahwa kamu bukan orang sembarangan," kata Dimitry, berdecak kagum dengan kejelian dan ketelitian Sullivan. Padahal, posisi kamera dan microfon kecil itu tersembunyi.
Setelah agak jauh dari tempat mereka makan. Sullivan menoleh sesaat ke belakang, lalu menyunggingkan senyum lebar. Ia membayangkan wajah kaget Dimitry, saat mengetahui bahwa ia menyadari jebakannya. Hal seperti itu sudah biasa ia tebak, Sullivan menggelengkan kepalanya berkali-kali.
Sullivan segera bergegas menuju toilet di lantai dasar. Ia memeriksa perangkat ponsel dan lainnya, sebab ia takut ada peretasan, hasilnya semua aman dan ia bernapas lega. Saat melewati boutique, Sullivan teringat pada Shireen yang hanya membawa sedikit baju.
Ia pun masuk dan memilihkan baju untuk gadis itu, lalu memilih kaos warna pink, celana jeans biru, dan jaket tebal yang di bagian kepalanya berbulu. Ia juga mampir ke toko peralatan sekolah, untuk membeli pensil dan buku gambar satu pack. Sullivan ingin tahu bagaimana tulisan tangan Shireen bekerja.
Sebab, ia merasakan suatu potensi ada dalam diri Shireen yang belum bisa ia gali. Hanya saja gadis itu masih berada dalam kebingungan. Belum melewati fase dewasa dan mengenal dirinya sendiri. Ia pun membelikan gelang unik, dengan hiasan love menggantung dibawahnya.
"Anak itu pasti suka," gumam Sullivan, menatap gelang berwarna hijau dari manik, dengan love kecil di bawahnya. Ia segera pulang ke hotel.
Shireen berdiri di pinggir jendela kaca besar pada kamarnya. Dia enggan beranjak dari sana demi menatap keindahan Niagara falls. Kenapa kelap kelip lampu warna-warni bisa seindah ini? Shiren tak habis pikir.
Gedung-gedung tinggi menjulang, seakan mencakar langit. Bentuknya yang unik nan megah, meski tidak beraturan. Membuat hati Shireen tak hentinya berdecak kagum, dengan pesona Ontario yang menyihir matanya.
Ia kesal pada Sullivan karena belum kunjung pulang. Padahal, hatinya sangat ingin pergi ke dekat air terjun sejak sore. Ia ingin selfie ria di sana, untuk mengabadikan momen, bahwa ia pernah berada di Ontario, Kanada.
Saat petugas hotel yang ia pesan datang, Shireen hanya diam memperhatikan pria itu menata makanan di meja kecil. Juga menaruh beberapa lilin aroma therapy, di sekitar meja juga pinggir kasur. Beberapa lembar bunga mawar juga ikut ditaburkan, menambah suasana kian terlihat romantis.
Tanpa banyak berkomentar, Shireen kembali memalingkan wajahnya ke arah Niagara falls. Saat lilin aroma therapy dinyalakan, harum lavender langsung menyeruak ke seluruh ruangan. Shireen memberikan tip pada petugas.
Ia memejamkan matanya, menikmati aroma bunga lavender dari lilin yang cukup menenangkan hatinya. Seumur hidup, ia baru merasakan setenang ini. Setelah bertahun-tahun lalu, hidupnya kacau karena perceraian orang tuanya.
Potongan memori masa lalu melintas dalam pikirannya. Shireen mencoba tenang dan menghadapi kenyataan. Meski hatinya semakin sesak, ketika teringat semua impian masa kecilnya hancur. Karena keadaan sang ayah yang sudah tidak mampu, melakukan tugasnya sebagai kepala rumah tangga.
Ceklek!
Sullivan masuk ke dalam kamar hotel, ia terkejut melihat suasana yang berbeda. Lampu yang temaram, makanan di meja, kasur yang bertabur bunga mawar. Lalu ia beralih menatap Shireen yang masih duduk di dekat jendela, dengan mata yang masih terpejam.
"Astaga, lo ngapain beginian. Jangan bilang lo, layanin pelanggan bule di sini," celetuk Sullivan, ia menyimpan tas belanjaan di sofa.
Shireen membuka matanya, ia bangkit seraya menyunggingkan senyum lebar merekah di wajahnya. Ia berjalan dengan anggun, dibuat seindah mungkin. Ia kini berada di hadapan Sullivan dan meraih dasi yang dikenakan pria tua itu.
"Om, pasti capek ya, makan yuk," ajaknya, tangannya bergerilya melepas dasi, lalu membuka jas dari tubuh Sullivan.
"Don't touch me!" sergah Sullivan, mundur beberapa langkah.
Shireen tidak peduli dan terus mendekat. "Cuma lepasin baju, emang nggak boleh?" Matanya menatap tajam pada Sullivan.
"Lo habis makan apa? Kecubung?" Sullivan semakin heran dengan sikap Shireen.
Bughh!
Shireen memukul dada Sullivan, ia berbalik meninggalkan pria itu dan kembali berdiri di dekat jendela. Ia melipat tangan ke depan, hatinya kesal dengan sikap Sullivan padanya.
"Katanya mau makan, ayo." Sullivan menghampiri Shireen yang terlihat memasang wajah cemberut.
"Idih, kenapa mukanya ditekuk gitu. Lagi pms ya," goda Sullivan.
"Lu emang makhluk nyebelin. Suasana lagi romantis gini, manfaatin dong. Gue juga pengen, rasain hidup kaya kaum Borjuis di Tv itu. Makan di hotel, romantis sama pasangan. Mana pemandangan nya bagus banget!" cecar Shireen.
"Oh, jadi lagi pengen romantisan toh." Sullivan terkekeh pelan.
Ia meraih tubuh Shireen, gadis itu tetap tidak mau menatapnya. Jemari lembutnya ia eluskan di wajah Shireen. Gadis itu memejamkan matanya, Sullivan membawa wajah Shireen ke depannya. Shireen tersenyum lebar, begitu juga dengan Sullivan.
"Naik," titah Sullivan.
"Ke mana?" Shireen bertanya.
"Injak kaki gue."
"Sakit dong, nggak ah," tolak Shireen.
"Bawel Lo."
Sullivan menarik paksa tubuh Shireen, ia menaruh tangan gadis itu di lehernya. Shireen mendadak gugup berada terlalu dekat dengan Sullivan. Desir panas terasa kian membuncah, untuk pertama kalinya Shireen merasakan hal berbeda.
"Mau dansa atau apa?" tanya Sullivan dengan lembut.
"Nggak-- tahu, Om," jawab Shireen gugup, ia menundukkan kepalanya.
"Gua nggak bisa dansa atau nari atau apapun itu. Gua bukan tipe cowok romantis," kata Sullivan, perlahan ia bergerak ke kiri lalu ke ke kanan, membawa tubuh Shireen, lalu kemudian memutar pelan.
"Tapi, lu cowok manis, kok, Om," puji Shireen.
"Kalau soal itu sudah tidak diragukan. Sullivan selalu ngangenin."
"Dasar tukang pamer!" seru Shireen, bola matanya berputar malas.
"Ehem, nyaman banget lo ada di pelukan gua," celetuk Sullivan.
"Sesekali, rasain dipeluk om om kan, nggak masalah sambil lihatin pemandangan bagus," balas Shireen berkilah.
"Hati-hati, kenyamanan bisa bikin orang lama-lama jatuh cinta."
"Tapi, gue nggak akan pernah cinta sama lu."
"Jangan suka takabur kalau bicara."
"Nggak takabur, gue bukan tipe cewek yang mudah jatuh cinta. Catat ya," ucap Shireen dengan yakin.
"Oh gitu ya, oke deh." Sullivan diam tak mengatakan lagi apapun.
Ia terus membawa Shireen dalam dekapannya, meski bukan sebuah gerakan dansa atau tarian. Shireen membenamkan kepalanya dalam pelukan Sullivan. Hatinya sangat tenang, mendengar degup jantung Sullivan yang berdetak dengan teratur.
"Om, gue juga takut, jatuh cinta sama lu," bisik hati Shireen.