Aleta menangis, tapi suaranya melengking di ruangan VVIP itu saat dia memukuli kakinya sendiri. Keributan langsung terjadi. Samar-samar Aleta bisa mendengar suara Raymond dan Eve yang memanggilnya "Nona Aleta! Nona!" secara bersamaan sebelum dirinya kehilangan kesadaran karena suntik bius yang sangat ampuh.
Aleta hampir kehilangan kewarasan sejak hari itu. Dia seperti gadis kerasukan. Diam seperti orang dungu, dan bangun hanya untuk menampar siapa pun yang menyuapinya makan.
TOLONGLAH!
ALETA TIDAK INGIN DIKASIHANI!
LAGIPULA BAGAIMANA BISA DIA MAKAN SAAT KECELAKAAN DI HARI ULANG TAHUNNYA!
KEHILANGAN AYAH! IBU! MATA! KAKI!
HAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHA!
Namun lambat laun Aleta menyerah. Dia hanya bernafas seperti boneka hidup setelah dua bulan dirawat di rumah sakit. Oleh Raymond dan Eve, dia dibawa pulang dengan menyewa dokter pribadi bernama Freud untuk memantai perkembangannya.
Oleh Eve, dia seperti manekin paling cantik setiap kali wanita itu merawatnya sehari-hari. Sesekali Aleta mendengarnya menangis saat melepasi piamanya untuk dimandikan dan diganti dengan piama baru lagi.
Aleta sendiri tampak kosong.
Cahaya di matanya hilang sejak perbannya dibuka. Kedua bola mata itu hampa. Dan Aleta sudah tidak peduli lagi dirinya dibawa kemana dengan kursi roda itu.
Kisah dongeng menjadi puteri penerus sudah berhenti sampai di sini.
Aleta juga tidak pernah menangis lagi. Dia seperti kehilangan jiwa. Emosi tak lagi menjalari kehidupannya meski masih bisa bernafas. Dia juga tidak merespon ngeongan kucing bernama Maomao yang dibelikan Raymond untuk menemani hari-harinya di pangkuan. Dia justru sempat ingin mencekik Maomao, membuat kucing itu menjerit dan mencakarnya sebelum pergi melompat kea rah Eve.
Aleta hanya tertawa kecil saat itu, namun setelah beberapa detik … dia kembali seperti sebelumnya. Tampak datar, dan sepertinya rasa sakit menjadi hal menyenangkan sejak saat itu.
"Maaf, Nanny Eve …. " kata Egi. Asisten pribadi Hendra selama pria itu masih hidup. "Bisa kau panggilkan Tuan Raymond?"
"Oh, ada apa?"
Aleta sempat mendengar percakapan itu pada suatu siang.
"Ada hal yang mendesak," sahut suara lain yang sangat familiar. Itu adalah Manajer Heru. "Tentang perusahaan. Kemarin Tuan Di Samuel sudah didatangkan secara langsung kemari. Tapi pengesahan surat wasiat tentu memiliki timing yang harus diatur hati-hati. Sekarang situasinya sangat kacau, jadi kami ingin segera negoisasi agar para karyawan juga tidak mengambil tindakan resign dari perusahaan secara masal hanya karena terbengkalai."
"Oh… ya! Tunggu sebentar!"
Aleta tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Dia hanya tahu Eve sangat gugup memerintah Kania dan Liana—dua pelayannya yang paling setia—untuk segera memanggil tangan kanan Hendra itu. Dan begitu Raymond tiba, sebuah pembicaraan rahasia langsung dilakukan di ruang tamu.
Ada yang tak beres.
Bukankah Hendra dan Maharani adalah sepasang suami istri yang tak lagi memiliki keluarga dari mana pun? Karena mandul, Maharani sampai berpikir untuk mengasuhnya dari panti. Jadi, kenapa ada nama keluarga lain yang terus disebut-sebut?
"Tuan Lucas akan segera sampai ke Jakarta sore ini," kata Heru. "Kemarin beliau langsung melakukan survey di lapangan begitu turun dari bandara. Jadi kita siapkan saja perihal penyambutannya di sini."
"Bagus, lakukan lah dengan cepat, Egy," kata Raymond. Egi pun segera mengangguk dan mengkoordinasi semua pelayan yang ada di kediaman mewah keluarga Aleta.
Aleta tidak tahu apa-apa. Dia sungguh tak bisa diandalkan dalam situasi seperti ini. Dan meskipun suatu hari dia pernah bertanya kepada Maharani soal mengangkat penerus perempuan—wanita itu justru tertawa-tawa.
"Kenapa? Mama nggak boleh ngangkat kami jadi anak Mama?" tanya Maharani sembari mencubit pipinya. "Jadi kamu menyesal dan mau dikembalikan ke panti lalu Mama mengangkat anak yang lain!"
DEG
EH! JANGAN!
Aleta ingin bilang begitu, tapi dia tak berani mengatakan apapun. Dia hanya menunduk sedih dan bilang, "Tapi aku sudah sayang Papa dan Mama," katanya. "Hanya saja aku nggak terlalu paham soal perusahaan. Jadi aku … aku …"
"Mama nggak akan memberikan kamu kepada siapa pun!" kata Maharani gemas. Lalu memeluk Aleta erat.
Hari itu, Aleta sungguh bahagia. Rasa penasarannya terhadap orangtua biadab yang pernah membuang bayinya ke panti asuhan sudah sirna. Mungkin lebih baik mereka mati saja dan dirinya bisa bersama Hendra dan Maharani selamanya. Toh mereka lebih menyayanginya. Mereka lebih tahu cara memperlakukannya sebagai manusia, bukannya benda buangan seperti layaknya sampah.
Aleta pun melupakan soal orangtua kandung. Dia mulai menjalani kehidupan yang luar biasa itu dan berpetualang dengan caranya sendiri. Hanya saja, saat ini … semua itu tak berarti lagi.
Kenapa mengambil penerus perempuan?
Kenapa mengambil satu saja?
Bukankah jika ada laki-laki yang berperan sebagai kakaknya, dia lebih bisa diandalkan?
Kira-kira kenapa Hendra dan Maharani mengangkat 1 anak perempuan aja?