webnovel

MSL - BAB 22

Limabelas hari perawatan, dan itu waktu yang cukup lama bagiku. Berbaring di ranjang rumahsakit, dengan segala aroma obat yang tidak terlalu menyenangkan dan tentunya yang paling menyedihkan adalah tidak bisa banyak bergerak.

"Aku akan kembali ke apartment Ze." Kataku di dalam mobil Christ. Dia tampak duduk di sebelahku tapi sibuk dengan ponselnya.

"Tidak akan kubiarkan." Jawabnya singkat tanpa menatapku.

"Aku tidak ingin kembali ke tempat itu, aku trauma." Bohongku.

"Kita tidak akan kembali ke rumah itu." Jawab Christ singkat.

"Kalau begitu biarkan aku kembali ke apartment Ze."

Christ memasukkan ponselnya kedalam saku, dan menatapku. "Kau pikir setelah semua yang terjadi, aku akan membiarkanmu pergi begitu saja?"

"Kau mengacuhkanku, tapi kau juga tidak membiarkanku kembali ke apartment Ze, apa maumu sebenarnya?" Oh, kurasa benar yang dikatakan Christ, jika Lindsey membenturkan kepalaku terlalu keras, aku bahkan menjadi sangat emosional saat ini untuk hal sepele.

"Diam dan jangan membantahku." Christ melihat keluar jendela. Sudah empat hari dia menjadi sangat dingin padaku, lebih tepatnya setelah percobaan pemerkosaan yang kulakukan padanya di rumahsakit dalam keadaanku yang masih diinfus dengan bekas jahitan yang masih belum pulih bahkan. Dasar wanita tamak, aku mengumpat pada diriku sendiri.

Kami tiba di sebuah rumah mewah lainnya, kali ini agak jauh dari pusat kota. Dengan gaya arsitektur klasik.

"Selamat datang." Seorang wanita berusia lebih dari tujuh puluh tahun menyambut kami.

"Granny." Christ memeluk wanita itu.

"Son." Wanita itu mengusap punggung Christ dan tampaknya mereka sangat akrab.

"And you must be Mss. Stuart."

"Yes." Anggukku.

"Aku nenek Christopher."

"Oh, nice to see you Mrs. Hudson"

"Call me granny." Senyumnya. "Masuklah, kalian pasti lelah. Sekarang masuk dan istirahat dikamar kalian masing-masing." Ujar wanita itu. OH NO!! Dia memisahkan kami berdua?

"Aku akan mengantarnya ke kamarnya." Christ mengandeng tanganku dan membawaku berjalan melalui beberapa ruangan hingga masuk kedalam sebuah kamar.

"Ini rumah nenekmu?" Tanyaku dan dia mengangguk.

"Kenapa kita kesini?" Potesku.

"Kau trauma dengan rumah dan kamarku, jadi ini tempat paling aman untuk sementara waktu."

"Aman?" Alisku bertaut. "Nenekmu bahkan berusaha memisahkan kita." Gerutuku lirih.

"Dirumahku banyak wartawan yang menunggu, mereka tahu kau keluar dari rumahsakit hari ini."

"Benarkah, bukankah itu bagus. Jadi aku bisa menjelaskan pada wartawan tentang posisimu, kau tidak akan kesulitan lagi setelah itu." Mataku berbinar, berharap Christ akan menyetujui rencanaku bicara pada wartawan.

"Apa yang akan kau katakana pada mereka?"

"Ini kesalahkanku." Ujarku singkat, seolah itu pemikiran cerdas.

"Dan semua orang akan menjadi paham situasinya, bahwa kau mahasiswiku, tinggal dirumahku dan tidur di kamarku, bersama denganku tanpa ikatan pernikahan, dan hampir tewas ditikam oleh mantan isteriku? Kau ingin mereka menjadi paham situasinya dengan cara seperti itu?" Tanya Christ, seolah aku baru saja disadarkan dari kebodohanku.

"Semua fakta dan bukti sudah jelas, kau mahasiswiku, dan ditemukan hampir mati di dalam kamarku, apa lagi yang akan kau jelaskan?"

Aku tertunduk. "Tinggalkan aku sendiri." Kataku putus asa, aku tidak marah padanya, aku marah pada diriku sendiri. Situasinya menjadi rumit karenaku, aku merasa sangat buruk.

Christ benar-benar meninggalkanku sendiri, mungkin dia juga mulai jengah dengan kebodohan dan sifat keras kepalaku. Mungkin tak lama lagi dia akan meninggalkanku sendiri di rumah ini dan menemukan wanita lain yang jauh lebih mudah, cantik, dan menarik. Tak sepertiku yang selalu menyusahkannya.

***

Aku jatuh tertidur malam itu setelah makan malam yang bahkan diantar pelayan kekamarku. Aku tak melihat Christ lagi setelah percakapan kita yang tak begitu mulus, bahkan pagi ini saat aku keluar dari kamar untuk mencari udara segar aku bahkan tak menemukan orang lain selain pengawal, pelayan dan nenek Christ yang sibuk berkebun.

"Hei . . . bagaimana perasaanmu?" Tanya wanita itu.

"Jauh lebih baik." Jawabku.

"Christ menceritakan semuanya padaku, aku turut prihatin." Ujarnya.

"Aku merasa buruk sekarang ini Granny." Jujurku sambil duduk di sisi wanita yang sibuk dengan bunganya itu.

"Christoper tetap menerimamu, seburuk apapun dirimu." Ucapnya tanpa menoleh padaku, tapi dia tersenyum di akhir kalimatnya.

"Apa maksud Granny?" Tanyaku bingung.

"Aku menemukan anak itu dalam keadaan yang jauh lebih buruk dari semua yang sanggup orang-orang bayangkan jika mereka mengenal Christoper Hudson yang sekarang."

Aku tertegun saat wanita tua itu meletakkan peralatan berkebunnya dan berbalik menatapku dengan sangat serius.

"Aku menemukan anak itu pada saat aku dan suamiku dalam liburan kami di Atlanta. Anak itu ditemukan sangat kurus dan hampir mati di sebuah stasiun kereta."

Aku merinding mendengar penuturan wanita tua itu. "Aku seorang dokter saat itu, dan jiwa kemanusiaanku memanggil untuk memeriksa kondisi anak berusia satu setengah tahun yang hampir mati karena kelaparan. Entahlah, orang tua mana yang tega meninggalkannya begitu saja di stasiun kereta."

"Apa yang terjadi setelah itu?"

"Kami membawa anak itu kerumahsakit dan dia mendapat perawatan hingga kondisinya normal lagi. Butuh berbulan-bulan, bahkan hampir satu tahun baginya mengejar ketertinggalannya, belajar bicara, bergerak, berlari dan lainnya." Mata Granny berkaca-kaca.

"Aku dan suamiku memiliki seorang putera, dan karena kami terlalu tua untuk mengadopsinya, akhirnya aku meminta puteraku Jhon Hudson untuk mengadopsinya."

"Proses sampai anak itu bisa menjadi cucu kami tidak mudah, kami harus bersidang dan meyakinkan otortias setempat agar anak itu bisa kami adobsi. Dan setelah menjadi cucu kami, dia tinggal terpisah dengan ayah angkatnya. Putera kami menikah dan akhirnya bercerai dengan isterinya tanpa seorang anakpun." Wanita tua itu seperti baru saja membuka lembar demi lembar buku tebal dengan judul Christopher Hudson.

"Puteraku meninggal dalam sebuah kecelakaan, dan kami membesarkan Christ seperti kami membesarkan mendiang Jhon."

"Jadi Christ bukan cucu dari keluarga Hudson?" Tanyaku dan wanita itu memukul meja dengan marah.

"Dia cucuku, darahku mengalir dalam dirinya."

Alisku bertaut mendengar kalimat Mrs. Hudson.

"Saat berusia tigabelas tahun Christoper mengalami kecelakaan dalam liburannya saat dia mengendarai sky di pegunungan Alpen. Dia hampir kehilangan nyawanya saat itu, dan aku adalah orang yang mendonorkan darahku saat dia sekarat. Dia cucu kandungku, darahku mengalir dalam dirinya."

Aku menahan nafasku, benar kata Granny. Christopher mengalami banyak hal buruk dalam hidupnya.

"Dia menikah dua kali dan keduanya gagal, menyeretnya dalam lubang hitam kegagalan yang menelan senyumannya." Ujar Granny. "Christ-ku yang malang." Wanita itu menggelengkan kepalanya lemah.

"Sepuluh hari lalu dia datang dan memberitahukan semuanya padaku." Ujarnya sambil menatapku. "Dan itu kali pertama aku melihat dia dalam ketakutan besar, ketakutan yang bahkan tak kulihat saat dia sendiri hampir mati berkali-kali."

"Itu karenaku?"

"Siapa lagi?" Ok, bisa kusimpulkan, Granny tidak benar-benar ramah sebenarnya.

"Dan dua hari lalu dia datang padaku, kami mengobrol dengan sangat hangat, aku melihat bahkan beberapa kali dia tersenyum." Ujarnya dengan senyum mengembang di wajahnya, solah-olah Granny melihat Christ tersenyum di hadapannya.

"Dia menceritakan tentangmu, dan itu membuatnya bahagia. Dan bagiku, kebahagiaan cucuku adalah segalanya." Imbuhnya.

"Aku tidak terlalu menyukaimu karena kau terlalu muda, dan kurasa di usiamu, sebagai seorang wanita, kau pasti sangat labil. Aku hanya takut jika suatu saat nanti cucuku akan terluka lagi, seperti luka karena dua kegagalan pernikahannya yang sebelumnya."

"Kenapa Granny menerimaku jika tidak menyukaiku."

"Karena cucuku menyukaimu."

Aku tertunduk. "Aku juga menyukainya, lebih dari itu bahkan."

"Aku berpikir kau mungkin hanya menginginkan hartanya, seperti yang dilakukan dua perempuan sebelumnya." Ujar sang nenek dna aku tersenyum.

"Semua orang juga memberiku stempel yang sama dan itu bukan salah Granny, bukan salah semua orang juga jika mereka berpikir demikian." Ujarku. "Salahku jika terlahir miskin dan jatuh hati pada pria kaya raya yang dengan bodoh bisa menganggapku adalah segalanya."

"Kau benar soal satu hal."

"Apa itu?"

"Cucuku menjadi bodoh saat dia jatuh cinta, dan aku tidak mewariskan sifat itu kepadanya."

"Andai Granny tahu, aku juga benci menjadi diriku saat ini." Ujarku lirih. Aku meletakkan kepalaku di atas tanganku yang tertumpu di atas meja.

"Aku hanya hidup sekali, dan sepanjang hidupku, duapuluh tahun terakhir aku baru merasa benar-benar menginginkan sesuatu saat aku melihatnya menjadi dosen mata kuliah di kampusku." Ungkapku tanpa peduli wanita itu mendengarkanku atau tidak.

"Aku selalu ingin cepat menyelesaikan minggu dan bisa melihatnya di kelas sabtuku lagi. Sampai akhirnya dia menawarkan sebuah project rahasia untuk membuat rangkuman buku supertebal." Imbuhku. Wanita tua itu tampak sibuk memotong daun-daun pada mawar yang sudah di petiknya.

"Awalnya semua kulakukan demi uang, karena cucumu adalah pria yang sangat dermawan. Apalagi aku adalah mahasiswi miskin yang butuh uang untuk bertahan hidup." Lanjutku.

"Lalu kau jatuh hati padanya?" Tanyanya sinis.

"Kurasa tidak ada satupun wanita di dunia ini yang bisa menolak pesona cucumu."Ujarku.

"Kau dan cucuku memiliki satu kesamaan yang menyedihkan." Ujarnya masih dengan nada yang sama.

"Ya . . . kurasa kami sama-sama menjadi bodoh." Aku menyetujui apa yang bahkan belum dia utarakan.

"Apa yang akan kau lakukan setelah mendapatkan hartanya?" Tanya Granny, dan itu membuatku menoleh ke arahnya.

"Aku tidak membutuhkan uangnya, karena jika aku ingin tentu aku sudah memintanya menikahiku agar secara hukum aku bisa mendapatkan warisannya jika dia mati." Aku benar-benar menjadi sangat kasar saat ini, aku bahkan melupakan soal kesopanan meski aku sedang bicara dengan wanita yang usianya jauh lebih tua dariku. Tapi aku ingin membuat dia mengerti bahwa aku menginginkan cucunya dan bukan harta yang dia miliki.

"Cucuku sudah menidurimu?" Tanyanya sarkastik, oh my god, dia jauh lebih tidak sopan dariku ternyata.

"Cucumu tidak akan melakukannya sebelum menikahiku." Ujarku putus asa.

"Seharusnya dia menidurimu dan setelah puas memberikanmu bayaran yang lebih lalu meninggalkanmu, sayangnya dia sangat bodoh."

"Granny, . . ." Aku mendekat ke arah wanita itu. "Aku juga tidak pernah mengenal orang tuaku sejak bayi, tapi saat melihatmu aku berharap aku memiliki seorang nenek." Ujarku dan wanita itu menoleh ke arahku. "Bolehkah aku memelukmu, sekali saja." Entah mengapa ini keluar begitu saja dari mulutku, dan pikiranku tanpa bisa kukendalikan. Bahkan sebelum mendapatkan persetujuan darinya aku sudah memeluk wanita itu.

"Sebentar saja ku mohon." Aku tidak mau melepaskan wanita tua itu, dan entah mengapa, hangat tubuhnya membuatku merasa nyaman. Aku bahkan menangis di pelukannya.

"Jika aku memiliki seorang nenek, tentu saja akan ada orang yang membelaku saat ada wanita tua mengatakan hal yang tak pantas tentangku bukan?" Aku bertanya padanya dan dia tidak menjawabku.

"Kalau aku punya nenek, dia pasti akan memarahiku jika aku dengan bodoh jatuh cinta pada pria yang dua kali gagal membangun rumahtangga, bukan begitu nek?" Aku terus meracau dalam tangisku.

"Sayangnya aku tak punya siapa-siapa, bahkan untuk memarahiku atau memukulku sekalipun saat aku nakal." Imbuhku.

Aku memeluk erat wanita itu sekali lagi. "Bahkan saat aku hampir mati karena mantan isteri kekasihku membenturkan kepalaku dan menusukku, tidak ada yang menagisiku."

Entah mengapa saat aku terus meracau, aku merasakan kehangatan tangan perempuan tua itu membalas pelukanku.

"Cucuku." Bisiknya, dan dia memelukku erat saat ini.

"Aku bahkan rela kehilangan nyawaku jika itu kulakukan untuk cucumu, jadi jangan berpikir jika aku hanya menginginkan uangnya." Ujarku lirih.

Entah mengapa kami menjadi saling berempati seperti sekarang ini. Dia memelukku seolah-olah aku juga cucunya dan kami bahkan menangis bersama.

"Jika Jhon punya anak perempuan, dia pasti sudah sebesar dirimu." Ujarnya lirih sambil terus memelukku.

Nächstes Kapitel