webnovel

MSL - BAB 23

Lewat tengah malam dan aku mendapatkan pesan singkat dari Christ. Pria yang entah pergi kemana seharian ini, karena sejak pagi hingga tengah malam aku bahkan tidak mendapatkan kabarnya barang sedikitpun.

"Kau sudah tidur?" Itu yang dia tulis dalam pesan singkatnya. Aku membaca tapi memilih tidak membalasnya. Entahlah sejak mengobrol dengan Granny tadi siang, rasanya seluruh tenagaku habis terkuras.

Tok Tok

Terdengar suara pintu diketuk dan mendadak jantungku berdegup kencang. Yang ada dikepalaku adalah Lindsey masuk kedalam kamar itu dengan sebilah pisau di tangannya dan langsung menyerangku.

No No No . . . aku mendadak panik. Dan dengan jantung yang berdegup tidak karuhan aku menatap ke arah pintu tanpa berkedip sedikitpun, sambil terus memeluk lututku. Rasanya keringat dingin mendadak membanjiri seluruh tubuhku. Aku mendengar pintu diketuk sekali lagi dan kali ini handel pintu itu ditarik seseorang dari luar.

Aku bersiap menjerit, saat tiba-tiba pintu terbuka dan aku sudah berdiri di sisi ranjang dengan lampu tidur yang kuangkat dan siap kulempar.

"Wo . . . wo . . . easy." Itu Christ, dia berdiri diambang pintu dengan setengah pintu terbuka. Aku jatuh terduduk di ranjang dalam keadaan cemas dan mulai lemas.

Christ menutup pintu kemudian menguncinya dari dalam. "Apa yang terjadi?" Dia menghampiriku dan langsung memelukku.

"Aku membayangkan itu adalah Lindsey." Ujarku lirih, masih dengan tubuh yang gemetaran.

"Lindsey ada di dalam sel tahanan, dia tidak mungkin datang kemari." Christ mencoba menenangkanku.

"Aku tahu itu, aku hanya panik." Jawabku.

Christ meraih wajahku dan mencium bibirku, mungkin itu salah satu cara menenangkanku yang paling ampuh. Hanya dalam hitungan detik aku merasa Christ benar-benar bisa menenangkanku. Aku bahkan punya kekuatan untuk membalas ciumannya.

"Kenapa kau datang ke kamarku selarut ini?" Tanyaku lirih.

"Kau menghantuiku sepanjang hari." Ujarnya kesal.

"Aku masih hidup, bagaimana bisa menghantuimu."

"Kau marah padaku tanpa sebab berhari-hari, kau pikir mudah bagiku menjaga jarak darimu?" Protesnya.

"Jadi kau datang untuk marah?" Tanyaku.

Dia menghela nafas dalam. "Aku datang untuk mengabulkan permintaanmu." Jawabnya sambil menatapku dalam. Aku ingat kalimatku saat di rumahsakit yang memintanya bercinta denganku, tapi mengapa tiba-tiba dia ingin melakukannya? Jantungku mulai tidak berdetak pada irama normalnya, oh sial, mengapa aku dengan ceroboh pernah menginginkan hal yang mungkin bisa membuatku mati muda karena serangan jantung. Aku berusaha mengatur nafasku, dan mengatur detak jantungku, tapi sia-sia, semakin dalam dia menatapku, jantungku semakin kencang melompat didalam dadaku.

Dia diam menatapku cukup lama, sebelum akhirnya kembali bicara, "Apa kau yakin dengan permintaanmu Mss. Stuart?" Tanyanya, sementara jemarinya mengusap wajahku, turun ke leherku hingga ke tulang selangkaku. Dengan telunjuknya dia menurunkan satu bagian tali gaun tidurkuku dan membuatnya terjatuh. Satu payudaraku terlihat jelas di depan matanya, karena ketika tanganku berusaha menutupnya dia menarik pergelangan tanganku dan membawanya ke atas kepalaku.

"Jangan bergerak jika aku tidak memintanya." Bisiknya halus dan aku mengangguk, seolah mengerti padahal aku tidak bisa mencerna kalimat yang dia katakana sama sekali.

Aku menutup mataku, tidak sanggup melihat diriku seperti itu didepannya, kurasa aku terlalu malu. Nafasku memburu bahkan sebelum dia menyentuhku lebih jauh, hanya dengan ditatap seperti itu aku sudah merasa ditelanjangi seutuhnya.

"Mr. Hudson." Desisku memohon belas kasihan, kuharap dia berubah pikiran dan menaikkan lengan gaun tidurku kemudian pergi meninggalkanku. Tapi yang membuatku terkesiap adalah saat aku merasakan sesuatu yang lembut dan hangat menempel di bibirku. Aku tak sanggup membuka mataku karena saat itu juga bibirnya dengan ganas melumat bibirku dan menemukan lidahku yang tersembunyi didalam, dengan sedikit pemaksaan tentunya. Dia ingin aku menerimanya, dan sialnya aku bahkan tidak bisa menolak dirinya. Christ dengan sangat bergairah melumat bibir bawahku, hingga aku merasa kuwalahan, kurasa satu tanganku mencengkeram erat lengannya, dan membuatnya berhenti menciumku.

"Sorry . . ." Dia berusaha mengatur nafasnya, dan dengan telunjuknya menyibakkan helaian rambutku yang menghambur menutupi sebagian wajahku.

"Are you ok?" Tanyanya lirih, dan dengan bodoh aku mengangguk.

"Aku akan melakukannya perlahan." Bisiknya dan aku kembali menutup mataku, bodoh, bodoh, bodoh, tidak bisakah aku menolak? Setidaknya ini kali pertamaku, mungkin aku bisa sedikit bersiap dengan mandi, bercukur, atau bahkan berdandan. Tapi Christ datang disaat seperti ini, saat aku benar-benar menjadi diriku yang seadanya.

Christ menciumku lembut di bibir, tapi tak begitu lama, kemudian aku terhenyak karena bibir hangatnya menjentuh telingaku dan menuruni leherku hingga ke tulang selangkaku, aku bisa merasakan semuanya dengan jelas meskipun aku tidak berani membuka mataku barang sedikitpun.

Dia berhenti, oh apa yang dia lakukan?

Aku menunggu, aku menunggu bibirnya, dimana dia akan menyentuhku? Aku seperti sedang berperang dengan musuh yang tak terlihat, dan dengan bodoh menantikan musuh itu menyerangku.

"Ah . . ." Aku kembali terhenyak ketika merasakan sesuatu yang hangat, dan kurasa itu bibirnya menyentuh puncak payudaraku. Aku bahkan mendengarnya menarik nafas dalam, kemudian menghisap ujung payudaraku dengan kuat.

"Ah." Aku menarik nafas dalam, rasanya sangat geli, dan sedikit sakit. Aku bahkan tidak pernah membiarkan orang lain melihat payudara kecilku, tapi Christ menghisapnya dan memainkannya dengan gigi-giginya kurasa. Ah, sial . . . aku bahkan tidak berani membuka mataku hingga saat ini.

Christ membaringkanku dengan lembut dan saat itu aku berani membuka mataku. Tubuhnya menindih sebagian tubuhku dan wajahnya begitu dekat dengan wajahku hingga aku bisa merasakan nafas hangatnya yang harum menerpa wajahku.

"Is it your really first time?"Bisiknya dan aku mengangguk perlahan, seolah baru saja tersihir oleh ketampanan makhluk ini dan juga suara beratnya.

"Kau yakin akan memberikannya padaku?" Tanyanya, dan tatapan itu benar-benar membuatku terjebak didalam sebuah labirin yang rumit hingga sulit keluar dan menemukan kesadaranku. Aku menghela nafas dalam, dan menelan ludah untuk membasah kerongkonganku, sebelum aku mengatakan "Yah."

Kulihat Christ tersenyum, rahangnya mengeras sekilas, sesaat kemudian aku tidak bisa melihat wajahnya lagi karena aku terkesiap "Ah . . ." Aku menarik otot perutku masuk kedalam saat aku merasakan salah satu jari Christ menyentuh bagian luar labia minora miliku.

"Tell me if you want to stop." Katanya dan aku tidak bisa mengingat apa yang dia katakan. Aku merasa diriku baru saja terlempar keluar galaksi hingga tidak lagi menginjak bumi, apalagi saat Christ menyentuh satu titik yang aku yakin benar dia expert dalam hal ini mengingat entah sudah berapa wanita yang takhluk padanya.

"Eh . . . eh . . ." Aku menggeliat, karena sentuhan Christ membuat tubuhku memberikan respon seperti berdenyut hebat di bawah sana. Sesekali gerakan yang diciptakannya membuatku menghisap nafasku dalam-dalam dan menahannya, aku tidak ingin itu terlepas begitu saja.

Crist merosot ke bawah, dengan kedua lengannya dia menekuk kakiku ke atas, membuatku terlihat buruk, karena saat ini dia melihat diriku yang sebenarnya.

Aku berniat untuk bangun tapi Christ berdesis.

"Pssstttt . . . it's ok." Dia menatapku dan menempelkan telunjuknya di bibirnya sendiri, memintaku untuk tenang.

"Aku malu." Aku menutup wajahku.

"It's ok, You are wonderful." Dia naik lagi ke atas tubuhku hanya untuk meyakinkanku bahwa aku menarik baginya.

"You're wonderful, I love it." Christ menarik tanganku hingga dia mampu melihat wajahku. "You're beautiful." Dia menatapku dalam.

"Kau mengagumkan." Dia tersenyum, mengecupku sekilas kemudian kembali ke posisinya. Akhirnya aku pasrah, membiarkannya melakukan semua yang dia inginkan, karena tanpa penolakanku semua terasa lebih ringan, lebih mudah, dan aku bisa menikmatinya. Dia benar soal dia akan membantuku, menuntunku, he really lead me.

Aku menemukan diriku basah dibawah sana, entah cairan apa itu tapi aku jelas merasakan sesuatu yang lengket dan basah. Christ beringsut turun dari ranjang dan melepaskan kemejanya. Aku melihatnya dengan jelas dari belahan kakiku. Tatapannya tak lepas dariku, bahkan ketika dia melepaskan celananya, dan melemparnya begitu saja di lantai.

Tangannya menyentuh miliknya sendiri, kemudian membuka sebuah bungkusan kecil yang terbungkus dengan pelindung mengkilap. Dengan cepat Christ memasangnya, semua dia lakukan dibawah pengawasanku tanpa canggung sedikitpun. Begitu selesai Christ merangkak ke atas ranjang, separuh tubuhnya menindih tubuhku dan bibirnya menemukan payudaraku kemudian mengulumnya kembali. Kali ini Christ melakukannya dengan sangat cepat, dan bernafsu.

"Ah . . . ah ." Aku terengah dalam sensasi geli yang nikmat sementara Christ sesekali mencuri pandang ke arahku sebelum dengan ganas kembali menghisap ujung payudaraku.

Dengan bantuan tangannya, Christ membenamkan miliknya yang sudah sangat keras kedalam diriku yang sudah basah. Tidak semenyakitkan yang kubayangkan, tapi ada sensasi yang mendadak penuh seperti aku hampir tersedak.

"Emph . . ." Aku menarik nafas yang kemudian kutahan hingga otot-otot bagian vaginaku reflek mengencang, dan itu membuat Christ tersenyum sekilas.

"Ah . . ." Dia mengerang dengan suara serak dan itu membuat darahku berdesir.

"I love your body . . ." Bisiknya ketika dia mulai bergerak menghentak-hentak kedalam dan keluar.

"Eh . . ." Sesekali aku merasa bahwa Christ masuk terlalu dalam, hingga ke ujung lorong servix milikku.

"Kau menyukainya?" Tanyanya ditengah deru nafas kami yang bersahutan dan aku tidak bisa berpikir selain mengangguk. Aku benar-benar tidak bisa memikirkan apapun saat ini.

Kami seperti dua alat music yang dimainkan bersamaan hingga membentuk harmonisasi yang luarbiasa indah.

Christ tiba-tiba berhenti dan membebaskan dirinya dariku.

What? Is it the end? Aku seperti sedang menikmati sebuah pertunjukan kemudian lampu tiba-tiba padam. Sedikit frustasi karena Christ melempar dirinya ke sisiku, berbaring tepat di sebelahku. Apakah ini akhirnya? Antiklimas yang menyiksa? Aku bertanya-tanya dalam hatiku.

"Come to me." Christ menoleh padaku dan menatapku, tangannya meraih tanganku dan menarikku hingga aku berada di pelukannya.

"Giliranmu." Bisiknya.

"What?" Aku menautkan alisku bingung.

"Lakukan seperti yang barusan kulakukan." Perintahnya, aku berusaha menemukan makna dari perintahnya itu. Aku bangkit perlahan kemudian duduk menindihnya dengan sangat hati-hati.

"Emph . . ." Dia merasakan bobot tubuhku menekan pinggangnya, dan itu membuatku ragu. Aku bahkan mengigit bibirku.

"Jangan mengigit bibirmu, itu membuatku gemas." Bisiknya.

"Sekarang aku harus bagaimana?" Aku berbisik lirih, dan kulihat dia tersenyum padaku. Ini benar-benar membuatku frustasi, tapi Christ meraih pergelangan tanganku.

"Bantu aku masuk." Katanya dan dengan tangan gemetaran aku mengangkat sedikit bokongku kemudian memengang miliknya yang masih sangat keras kemudian membantunya menemukan pintu kecil milikku. Aku menurunkan bokongku perlahan, sambil terus menahan nafas.

"Aaaaa . . ." Aku meremas selimut, rasanya berbeda dengan saat dia yang mendominasi. Saat aku berada diatas tubuhnya, milik Christ terasa menghujam sangat dalam hingga aku merasakan sedikit nyeri di dalam tubuhku.

Christ memperhatikan wajahku.

"You ok?" Tanyanya singkat dan aku mengangguk.

Setelah aku mengangguk singkat, Christ memegang pinggangku dengan erat kemudian mendorongku mundur kemudian menariknya lagi, begitu seterusnya, dan kupikir gerakan itu tidak akan menimbulkan efek apapun padaku, justru sebaliknya. Aku terus mendesah penuh kenikmatan karena tubuh kami bergesekan di suatu tempat.

"Christ . . ." Aku bahkan menyebutkan namanya dengan sangat tidak sopan.

"Yah." Dan dia melupakan bahwa dia adalah dosenku atau seseorang yang jauh lebih tua dariku dan jauh lebih superior.

Kami bergerak seperti itu dan mendadak aku merasa diriku bag koboi perempuan yang tengah menunggangi kuda perkasa. Oh sial, aku sangat menikmatinya.

Ditengah-tengah nafas kami yang berderu Christ mendorong lututku kebelakang, hingga seluruh kakiku berada sejajar dengan kakinya, dan payudaraku menyentuh dadanya yang bidang. Christ bisa menemukan bibirku di sana, tapi tangannya tetap memegang pinggangku erat kemudian mendorongku dengan gerakan yang sama hingga aku menjerit didalam ciumannya.

Christ melepaskan bibirku kemudian beralih ke payudaraku yang menggantung dihadapannya, bergantian Christ menghisap ujungnya, membuatku merasa gila, sementara tubuh kami terus bergesekan penuh kenikmatan.

"Hhhhhh . . . . " Satu titik entah disebelah mana seolah baru saja melemparkanku keluar angkasa lagi, dan aku tidak menemukan apapun selain diriku yang tak bisa berpikir dan terus menjerit dalam ciuman Christ yang keras.

"Hhhhhh . . . Hhhhhh . . . . I'm coming . . .sorry sorry . . . sorry." Christ mengatakan semua itu tepat saat aku tidak bisa merasakan apapun dikepalaku dan melenguh keras.

Keringat kami yang membanjir menyatu saat Christ memeluk pinggangku dan membiarkanku roboh dalam pelukannya, di atas tubuhnya.

Satu atau dua menit kemudian aku beringsut dan turun dari atas tubuhnya, Christ melepas karet pelindungnya dan melemparnya ke sisi ranjang.

"Karet sialann itu membuatku tersiksa." Desisnya dan aku tersenyum meski entah mengapa rasanya terlalu lelah untuk membahas soal karet.

"Bagaimana dengan lukamu?" Dia meraba perut kiriku dan menemukan bekas jahitan itu, meski masih sedikit nyeri tapi aku mengatakan sebaliknya.

"Baik-baik saja." Gumamku lirih, sambil menutup mataku.

Christ tidak mengatakan apapun, tapi aku merasa dia mengecup bibirku kemudian memelukku.

"Apa yang kau rasakan sekarang?" Tanyanya.

"Aku tidak bisa berpikir sekarang." Aku membuka sedikit mataku dan melihat dia menatapku dengan satu tangan yang menyangga kepalanya dan tubuhnya miring ke arah tubuhku sementara satu tangannya melingkar di perutku.

Kulihat Christ tersenyum, dan aku membalas senyumannya dengan malas kemudian kembali terpejam. Kurasa aku hampir jatuh tertidur, tapi masih bisa mendengar suaranya. "Aku akan kembali ke kamarku, karena Granny mungkin akan terkena serangan jantung jika menemukanku telanjang di dalam kamarmu." Bisiknya.

Aku terlalu lelah untuk merespon apapun saat ini, hanya saja saat aku bangun pagi aku menemukan diriku telanjang dengan selimut membalut tubuhku. Pakaianku berada di sisi ranjang dan sebuah kertas ada di atas satu bantal lainnya bertuliskan kalimat dengan tulisan tangannya.

"Saat kau bangun dalam keadaan telanjang jangan menjerit, kau tahu betul siapa pelakunya."

Aku tersenyum untuk diriku sendiri saat menyibak selimutku dan menemukan tubuhku telanjang dengan sisa-sisa bau dirinya yang menempel padaku.

Oh sialan, aku merindukan pria itu, meski aku tahu dia hanya berjarak beberapa meter dan mungkin tengah tertidur pulas di kamar lain di rumah besar ini.

Nächstes Kapitel