Setelah enam jam perjalanan, akhirnya sampai juga di kota Surabaya. kembali ke realita kemacetan dan panasnya kota pahlawan ini. Sebenernya, aku belum mau untuk kembali ke surabaya, tapi seolah ada yang menuntunku.
Ada seseorang yang harus aku temui.
Aku berhenti tepat di depan rumahku. Belum beranjak dari kursi kemudi. Rasa lelah setelah perjalanan tadi aku abaikan. Sejenak, aku menoleh ke arah rumahku sendiri. Rumah dua lantai itu tampak megah. Entah kenapa rumah itu tampak asing bagiku, padahal baru beberapa hari aku meninggalkannya. Seperti ada aura hitam yang menyelimuti rumah itu, membuatku begidik.
"Mbak!" ucap seseorang mengagetkanku. Aku terperanjat dan seketika menoleh ke arah pria yang sudah berumur itu di balik jendela. Seketika aku langsung menurunkan kaca.
"Pak Min, ngagetin saja." pekikku. Tapi tukang galon itu tidak menggubris perkataanku. Malah tatapannya sinis ke arah rumahku seolah ada sesuatu yang tidak baik di sana.
"Rumah Mbak tidak aman, mending sekarang ikut sama bapak saja." perintahnya yang membuatku terbengong. Lagi-lagi pria tua ini berbicara sesuatu yang sangat misterius. Aku semakin yakin untuk membicarakan soal ibu kepadanya.
Pria itu menaiki motor bututnya, lantas melaju di depanku. Aku mengekorinya dari belakang dengan sejuta pertanyaan.
Rumah Pak Min terletak dengan kompleks yang berbeda denganku. bisa di bilang rumah Pak Min berada di kawasan rumah yang berdempetan, sempit. Bahkan motor pun tidak di perkenankan untuk lewat di sana karena saking sempitnya jalan, di tambah banyak anak-anak yang berlarian. Jadi terpaksa aku memarkirkan mobil dulu di jalan utama, baru mengikuti pak min yang menuntun motor ke rumahnya.
"Sudah sampai Mbak," ujarnya setelah sampai di depan rumah sederhana bercat hijau. Sempit namun rapi, itu kesan pertamaku saat melihatnya. Bangunan dengan lebar empat meter, di himpit rumah kanan kiri. Ada pengisian galon yang agak menjorok ke depan, hampir menutupi rumah itu, namun juga di taruh tanaman yang diletakkan sedemikian rupa sehingga sedap di pandang.
"Silakan masuk Mbak." kata Pak Min sopan. Dari dalam rumah muncul seorang ibu yang menggunakan daster yang sepertinya adalah istrinya Pak Min. Sejenak dia menyalami suaminya yang baru datang, sementara Pak Min tampak mengelus-elus pundaknya. Aku sedikit kikuk melihatnya. "Monggo Mbak." Dia tersenyum ramah. Tanpa menunggu diminta lagi, aku pun masuk ke dalam ruang tamu dan duduk.
"Oh iya, Mbak Dina mau Minum apa?" ujarnya sembari duduk di kursi kayu.
"Terserah bapak saja."
"Yang, tolong kesini sebentar." Ujar Pak Min memanggil istrinya. Aku melongo. Memastikan pendengaranku, Apa aku tidak salah dengar?
"Iya sayang, ada yang bisa adek bantu." Ibu yang tadi kembali masuk dan menghampiri suaminya.
"Tolong buatkan saya kopi dan jus orange untuk Mbak Dina dong sayang" pinta suaminya lembut. Sang istri mengangguk sambil tersenyum. lalu melipir ke dalam.
Hampir saja aku tertawa melihat pemandangan di depanku itu. Namun, berusaha menahannya, tidak mau sampai menyinggung perasaan orang tua yang ada di depanku itu. Geli bercampur kagum. Jarang sekali aku melihat orang yang sudah tidak muda lagi, menujukan keromantisan layaknya pemuda-pemudi yang baru di mabuk cinta. Intens dan mesra sekali.
"Kenapa Mbak?"
"Ehem, tidak apa-apa kok pak." aku berdehem sejenak. berusaha mengusir rasa geli. Tapi tetap saja aku masih tersenyum.
"Kamu pasti ngetawain aku sama ayang bebku tadi ya?"
Kali ini bener-bener aku dibuat terpingkal-pingkal dengan perkataannya. Pertahananku jebol juga. Pak Min hanya nyengir melihatku, seolah tidak keberatan dengan sikapku yang kurang sopan.
"Maaf Pak Min," tukasku setelah puas tertawa. Dibalik sikap pak min yang kebapakan dan dewasa, ternyata beliau juga romantis dan lucu. Pantas saja, istrinya terlihat awet muda dan gemuk. Pasti dia sangat bahagia sekali bersama Pak Min.
"Gak perlu minta maaf, sudah biasa kami seperti itu. apalagi kami hanya tinggal berdua." Ucapnya sambil terkekeh.
"Terus, Anak bapak pada kemana? Pasti sudah pada menikah ya?"
Dia mendadak terdiam. raut wajahnya berubah sendu. Ya ampun, apa aku salah bicara. Perasaanku menjadi tidak enak. Suasana yang tadinya hangat berubah mendung.
"Anak semata wayang kami meninggal dua tahun lalu, Mbak. Namanya Nurul. Sepertinya dia sebaya dengan kamu." pandangannya menerawang, matanya berair. Aku menjadi tidak enak sendiri.
"Maafkan saya Pak."
Tiba-tiba Istri Pak Min muncul dengan membawa nampan berisi minuman yang di minta Pak Min.
"Ini kopinya sayang, dan ini jus buat mbaknya. Silahkan diminum." Dia melihat ke arah Pak Min sejenak, "Sayang kenapa? Kok kayaknya sedih gitu?"
"Enggak apa-apa sayang Makasih ya."
"Ya sudah kalau begitu, ibu tinggal dulu ya mbak." Ujarnya kepadaku, lalu dia menyibak korden yang membatasi ruang tamu dan tengah. Aku hanya mengangguk. Rupanya keromantisan mereka natural, tidak dibuat-buat. Tapi kasihan juga melihat kejadian yang menimpa almarhumah anaknya.
"Sudah jangan di bahas lagi, kasihan Nurul kalau melihat orang tuanya bersedih." Ujarnya sembari menggaruk keningnya yang tidak gatal. " Sekarang bapak mau memberi tahu sesuatu tentang rumah kamu."
***
"Apa pak? ada genderuwo di rumahku?" aku membelalakan mata. Tampak dia mengangguk takzim.
"Tepatnya dia adalah peliharaan seseorang yang sengaja di kirim di rumahmu."
"Untuk apa dia mengirim genderuwo ke rumahku pak?" seruku geram.
"Dia tahu kalau Mbak adalah wanita yang ditinggal pergi suami merantau. Dia memanfaatkan situasi itu dengan mengirim genderuwo itu untuk menambah gairah mbak dengan merasuk kedalam setiap indra yang mbak miliki."
"..dan mengarahkan mbak untuk melampiaskan hasrat kepada orang itu." sambungnya
"Siapa orang itu Pak?"
"Anton."
Mataku terbelalak. Ternyata bajingan itu yang diam-diam menerorku. Apa jangan-jangan mahluk yang aku temui sebelum pingsan di toilet gym itu..
Atau mahluk yang aku temui ketika ban mobilku terperosok ke dalam kubangan air itu?
Malam itu, aku mengempaskan tubuhku di kursi mobil. Pasrah. Hanya itu yang bisa aku lakukan. mobil terjebak di kubangan air dalam kegelapan hutan kala hujan mengguyur dengan deras.
Tiba-tiba suara itu kembali terdengar. Dengan gemetar, aku menutup wajahku dengan kedua tanganku.
"Dina...Dina.."
Pelan-pelan aku mengintip dari celah jari yang terbuka. Aku menoleh ke arah samping. Hampir saja aku melompat tatkala melihat Angga suamiku berada di sampingku. Nyata sekali.
Dia sangat mirip dengan angga suamiku.
"Mas Angga..." lirihku
Entah kenapa libidoku tiba-tiba meninggi. Aku menggigit bibir sembari menggesek-gesekan pahaku. Sosok Angga menatapku dalam, membuatku terbuai akan hasrat yang tidak terbendung. Ketika aku memejamkan mata, aroma melati semakin pekat tatkala sebuah bibir hangat melumat bibir ranumku, sembari meremas kedua bulatan indahku.
Pergumulan hebat malam itu adalah awal petaka yang tidak berkesudahan dalam hidupku.
Note:
jangan lupa vote, like dan komen ya gaes