webnovel

Para Pelayan yang Unik (2)

"Terima kasih untuk baju dan air hangatnya … emm…." Mihai berhenti dengan ragu. Matanya menatap wanita itu dengan penuh tanda tanya.

'Aku tidak tahu namanya….'

Beberapa saat yang lalu, setelah diperintahkan, dua kembar itu – El dan Ela – berlari kembali dengan pakaian bayi serta sebaskom kecil air hangat. Mihai tentunya tidak mendapat pakaian ganti tapi ia tidak keberatan. Lagi pula, tubuh half-beast yang masuk dalam jenis mamalia memiliki suhu tubuh yang tinggi. Ia segera menghangatkan tubuh putranya dan sekarang, Liviu sudah ber-'da' ria kepada si kembar dengan mata berbinar.

Wanita anggun yang masih menjemur pakaian itu melirik Mihai sekilas dan berkata dengan cuek, "Aku tidak punya nama untuk seorang bodoh."

Wajah Mihai segera tertekuk ke bawah. Jika wanita itu tidak membantunya, ia sudah akan memberikan protesan panjang lebar.

Berkebalikan dengannya, Liviu yang berada di tangan Mihai segera mengerutkan alisnya dalam. "Dadada! Da! Da!" Ia bergerak-gerak dengan agresif hingga hampir jatuh dari tangan Mihai jika pria itu tidak dengan sigap memperbaiki posisi sosok kecil itu.

"Liviu, tenang! Nanti kau jatuh!" tegurnya yang langsung mendiamkan Liviu.

Ekor hitam pendeknya terkulai lemas memperlihatkan penyesalannya.

Mihai langsung luluh. Tangannya mengelus lembut kepala putra kecilnya membuat Liviu kembali ceria dan tertawa-tawa kecil.

"Terima kasih," ujar Mihai lagi seraya membungkuk kepada wanita dan anak kembar itu sebelum berjalan pergi.

Setelah sosok Mihai tidak lagi terlihat, El menarik Ela dan berbisik dengan mata berbinar. "Walaupun dia bodoh, refleks tubuhnya sangat bagus!"

Ela manggut-manggut menyetujui. "Iya. Aku juga melihatnya, El! Tidak ada yang pernah bisa selamat dari jitakan Tuan Luca. Mereka semua pasti akan jatuh ke sungai dan terbawa arus deras hingga beberapa kilometer."

El mengangguk semakin kuat. Kedua tangannya terkepal dengan penuh semangat. "Aku ingin belajar caranya!"

"Aku juga ingin!"

Kedua tangan mereka saling tergenggam dan keduanya langsung meloncat-loncat dengan tidak sabar.

Melihat mereka, wanita anggun itu hanya tersenyum kecil dan terus melanjutkan pekerjaannya hingga helai pakaian yang terakhir.

*****

"Da!" Liviu menggembungkan pipinya yang sedikit memerah. Ia berusaha memanjat kaki Mihai yang langsung dicegah.

"Jangan! Aku masih basah! Kau nanti kedinginan lagi." Badan Mihai masih basah kuyup. Saking fokusnya mengeringkan tubuh Liviu, ia lupa untuk memeras air dari pakaiannya.

Sekarang, ia meletakkan Liviu di atas rumput lalu meremas pakaiannya dari air kolam.

"Da!" Liviu kembali memprotes. Ia benar-benar ingin naik ke punggung papanya.

Mihai dengan geram menghalangi putranya sambil terus meremas pakaiannya.

"Livi—hm?"

Tangannya tiba-tiba meraba sesuatu yang mengembul pada saku celananya. Bentuknya kotak dan tipis. Rasanya familiar membuat Mihai merasa ia telah melupakan sesuatu.

"PONSELKU!"

Ia buru-buru mengeluarkan alat komunikasinya itu.

Kemarin, karena takut terlacak oleh keluarganya, ponsel itu ia nonaktifkan. Ia bermaksud membukanya kembali setelah selesai menerima pertanggungjawaban. Namun, karena kekesalannya kemarin, ia benar-benar melupakan keberadaan benda itu.

"Aku mohon jangan rusak!" mohonnya sambil memencet-mencet tombol power on-nya beberapa kali.

Ponsel itu adalah hasil kerja kerasnya selama tiga tahun dan jika sampai rusak, ia pasti akan mengutuk Luca sampai tujuh turunan - tidak terpikirkan olehnya bahwa keturunan yang akan terkutuk adalah miliknya sendiri.

Cahaya tiba-tiba terpancar dari layar ponsel itu membuat Mihai bersorak, "Yeayy! Terima kasih kau tidak rusak!" Ia segera mencium layar ponselnya beberapa kali.

Melihat itu, Liviu semakin cemberut. "Da!" serunya berusaha menggapai wajah papanya, ingin mendapat ciuman itu juga.

Trit! Trit!

Panggilan segera masuk ke dalam ponsel yang baru hidup itu dan melihat nama Ioan di layarnya membuat tubuh Mihai menegang. 'Gawat!'

Dilemma antara ingin mengambil telepon itu atau tidak, ia menjadi lengah. Tanpa ia sadari, Liviu sudah memanjat lengannya dan memencet tombol terima.

Suara menggelegar langsung memekakkan telinga keduanya. "MIHAI! DI MANA KAU SEKARANG?! MENGAPA BARU SEKARANG ANGKAT TELEPONNYA?! CEPAT PULANG!"

Liviu dengan kecepatan tinggi merangkak menyusuri lengan Mihai menuju punggung, menjauhi ponsel. "Da…," gumamnya sedikit ketakutan seperti telah mendengar suara iblis.

"Papa, berisik!" gerutu Mihai yang gendang telinganya hampir pecah.

"HAH?! KAU MASIH BERANI MENGELUH SETELAH MEMBUAT KAMI SEMUA CEMAS?!" Ioan benar-benar menggunakan seluruh energinya untuk berbicara.

"Iya, maaf. Tolong pelankan suaramu, Pa. Aku dan Liviu baik-baik saja." Mihai berusaha menenangkannya.

Mendengar kata 'Papa', Liviu yang sedang berlindung, menjulurkan kepalanya dengan penasaran. Ia mengenali kata itu sebagai panggilan Mihai terhadap Ioan dan matanya langsung berbinar terang. "Dadada!"

"Hm? Livi? Kau di sana? Hah … kalian benar-benar membuatku hampir jantungan. Vio dan Cezar sampai tidak bekerja dan mencarimu seharian. Kami sudah hampir melapor ke polisi." Ioan akhirnya bisa memelankan suaranya dan sedikit lebih tenang.

Di belakang, Mihai bisa mendengarkan suara Cezar dan Viorel yang juga ikut menggerutu sambil berjalan mendekati telepon.

"Di mana kau sekarang, Mihai?" tanya Cezar dengan suara lembut yang penuh kecemasan.

"Aku? Aku sedang di rumah Luca."

Hening….

"HAH?!" Ketiga anggota keluarganya berteriak hampir bersamaan.

"Sudah kubilang jangan pergi ke tempat Luca Mocanu!"

"Apa yang kau pikirkan?! Aku tahu kau bodoh tapi tidak sebodoh ini!"

"Cepat pulang sekarang! Kau benar-benar cari mati!"

"Mihai, kau masih utuh, kan? Apa ada yang terluka?"

Ketiganya terus berbicara secara bersamaan membuat Mihai pusing. Ia hanya bisa menangkap sepotong-sepotong dan menyimpulkan bahwa mereka hanya khawatir.

"Diam dulu! Diam dulu!" pintanya dengan suara sekeras mungkin.

"Dada! Dada!" ujar Liviu, meniru nada bicara papanya.

"Bagaimana bisa diam?! Ka—" Ioan ingin memprotes tapi Mihai langsung menyelanya.

"Aku tahu, aku tahu. Dengarkan aku dulu! Aku tidak apa-apa. Aku sudah bertemu dengan Luca Mocanu dan tidak seperti rumornya, dia hanya menendangku keluar tanpa menyentuhku satu jari pun."

'Hmm … jitakan tadi tidak termasuk menyentuh, kan?' Pikirnya sejenak sebelum memutuskan untuk tidak menyinggung hal itu dan melanjutkan. "Aku tidak akan pulang sampai dia memberi pertanggungjawabannya," serunya dengan mantap.

"Bodoh!"

"Cepat pulang!"

"Tidak perlu pertanggungjawaban dari dia! Kita bisa merawat Livi dengan kemampuan kita sendiri!"

"Luca Mocanu itu berbahaya!"

"Dia itu bagaikan iblis! Dia pasti hanya berpura-pura!"

Ketiganya kembali ribut, berusaha membujuk Mihai tapi Mihai sudah memantapkan keputusannya sejak kemarin dan tidak akan mengubahnya demi gengsinya dan juga untuk memberikan kehidupan yang tenang untuk keluarga.

Jika Liviu lahir sebagai half-beast, memang akan lebih mudah merawatnya sendiri. Namun, Liviu adalah incubus. Bohong jika keluarganya mengatakan mereka bisa merawat Liviu dengan kemampuan sendiri. Mihai tidak sebodoh itu untuk tidak mengetahui peraturan tak tertulis dari para petua half-beast di mana anak dari hubungan antara half-beast dan incubus akan dibakar hidup-hidup sementara ia sendiri akan terpotong-potong setelah ditarik oleh hewan ternak dari segala arah. Keluarganya juga akan mendapat hukuman walaupun lebih ringan.

Jika kedua jalan keluar yang ada sama-sama berbahaya, Mihai lebih memilih untuk mempertaruhkan nyawanya dan bertemu dengan incubus itu. Jika ia bisa mendapatkan dukungan dari Luca, keselamatan Liviu, dirinya, dan juga keluarganya akan lebih tinggi dibandingkan mengurus Liviu dengan hanya kekuatan keluarganya.

Tidak ingin mendengar omelan lebih dari ini, Mihai segera berteriak keras. "POKOKNYA AKU TIDAK AKAN PULANG!"

"Eh! Mi—"

Tidak membiarkan keluarganya berbicara lagi, Mihai memutuskan sambungan telepon dan kembali menonaktifkan ponselnya. Liviu sedikit kecewa karena tidak bisa mendengar suara ketiganya yang ia rindukan tapi ia tidak memprotes.

Mihai menghela napas panjang. 'Maaf Kak Cezar, Kak Vio, dan Papa. Tapi, yakinlah, aku akan membuat si muka suram itu bertanggung jawab!' Tangannya terkepal tinggi dengan penuh semangat.

Dengan keyakinan itu, ia melangkah besar-besar, hendak menyusup ke ruangan Luca lagi.

Kruyukkk~

Perutnya langsung memprotes.

'Ah … aku belum makan sampai kenyang….' Ia kembali diingatkan dengan pria chainsaw yang gila itu. ia bahkan belum makan banyak dan sudah harus mengeluarkan sisa tenaganya untuk berlari.

Seperti tersugesti, perut Liviu juga ikut keroncongan. "Da…," gumam bayi kecil itu dengan lemas. Matanya menatap payudara papanya yang masih belum terisi makanan untuknya dengan mulut ternganga dan air ludah yang mulai menetes.

Pada akhirnya, Mihai memutuskan untuk mencari makanan terlebih dahulu. Lagi pula, ada pepatah bahwa kita tidak bisa berperang saat perut kosong. Namun, masalahnya….

'Aku harus makan di mana?'

Ia bersumpah tidak akan ke kebun itu lagi. Akan tetapi, selain tempat itu, ia tidak tahu sumber makanan yang lain.

Berjalan mengitari halaman kediaman yang luasnya minta ampun itu, tiba-tiba, sebuah aroma yang bisa membuat air ludahnya menetes tertangkap hidung. Dengan sekali cium, ia bisa menebak kelezatan hidangan itu.

"Ini pasti makanan enak, Livi!"

"Da!" Liviu mengangguk mantap.

Mihai segera berjalan menuju sumber aroma itu sambil berusaha menahan air ludahnya sementara Liviu sudah mengotori bahu Mihai dengan air ludahnya yang masih terus menetes dengan deras.

Nächstes Kapitel