Sudah sebulan berlalu semenjak bertemu Rian— mantan kekasihnya Gendis dihantui rasa dilema yang luar biasa. Ketika penyesalan datang menghantui tapi omongan Erik terngiang dikepala tentang selera seorang pria. Mengapa di dunia ini wajah menjadi patokan memadu asmara, mengapa tak melihat hatinya saja agar siapapun bisa memiliki hak untuk jatuh cinta, mencintai orang yang tepat menurut kita.
Astaga Gendis kehilangan fokus, jangankan di rumah sakit, di rumah juga sama. Ibu memanggil Gendis beberapa kali tak ada sahutan ternyata Gendis melamun di pinggir ranjang. Jujur, Gendis bangga dengan dirinya karena pernah menemani pria yang dulu hanya sebatas pria biasa lalu kini menjadi seorang dokter. Sayang sekali kisahnya harus kandas, apalagi cinta pertama wajar jika sulit melupakan.
Gendis menghabiskan makan siangnya, sudah beberapa hari ini kamar Erik ramai karena beberapa teman Erik datang menjenguk dan Erik menyuruh Gendis keluar agar teman-teman Erik tak menggoda Gendis. Gendis lebih baik fokus dengan Erik saja, keadaan semakin membaik sudah bisa turun dari ranjang meski harus dibantu dan sesuai keinginan Erik boleh keluar ruangan asal tidak lama.
"Hai Ndis,"
Gendis mendongak, sendok masih menempel pada bibirnya. Mata Gendis melihat sosok yang baru saja ia ceritakan dalam hati, Gendis segera mencabut sendok lalu tersenyum kaku di depannya.
"Boleh duduk?"
Gendis ingin menjawab tidak tapi dilema. "Boleh mas,"
Rian sudah duduk manis di depannya membawa tepak makanan, air minum sepertinya dokter satu ini sedang istirahat.
"Ndis, sudah lama ingin sekali mengajakmu bicara. Kamu selalu menghindar."
Gendis tersenyum kaku, disaat seperti ini dadanya masih berdetak kencang padahal kenyataan sudah menjelaskan Rian hanya cerita masa lalu. Dasar jantung sialan, tak mau bersahabat saat ini. "Soalnya aku sibuk kuliah mas," Gendis mengerjapkan mata sadar ia salah memberi jawaban. "Maaf mas, maksudku bukan itu. Aku menghindar karena sedang terburu-buru." Jawab Gendis
Rian mengangguk-angguk tanpa Gendis jelaskan ia sudah paham maksud perkataan Gendis, Rian berniat ingin berteman dengan Gendis meski kisah mereka tak ada lagi. "Kuliah lancar?"
"Lancar mas,"
"Kenapa harus mengambil pekerjaan ini?"
"Gendis butuh uang untuk kuliah, ada dua adik juga. Kasihan kalau minta sama orang tua, sebenarnya pekerjaanku di restoran tapi bos meminta aku menjaga adiknya." Gendis menjelaskan
"Kamu bisa melamar kerja di supermarket kecil, Ndis."
"Bekerja dimana saja sama kok, mas, yang penting halal." jawab Gendis
"Iya, boleh minta nomor telepon? Please ..."
Tatapan memohon Rian membuat Gendis tak enak hati untuk menolak, apalagi Rian menyodorkan kertas dan pulpen dari saku jas kedokteran.
"Terima kasih Ndis, aku ingin mengirim undangan pernikahan padamu. Datang ya,"
Gendis seketika diam, air teh yang baru saja masuk ke dalam mulut tertahan di tengah kerongkongan sulit untuk menelan. Harapan Gendis terlalu tinggi, meminta nomor telepon bukan berarti akan berkomunikasi lagi.
"Datang ya, Ndis,"
Gendis menelan airnya sebelum menjawab ucapan Rian. "Iya mas, nanti datang." jawab Gendis rasanya ia ingin segera pergi dari hadapan Rian.
"Janji?"
"Ya, jika tidak ada halangan." Gendis mengakhiri obrolan, tak ada selera makan untuk menghabiskan lauk yang sebentar lagi habis. Lebih baik masuk ke dalam ruangan Erik, di sana ia lebih tenang. "Aku pamit dulu mas, permisi ..." Gendis bangkit membawa piring bekas makannya.
"Ndis,"
"Ya?" Gendis menoleh. Tatapan keduanya bertemu.
"Hati-hati, salam buat ibu dan bapak."
Gendis mengangguk, tersenyum. Senyuman inilah terakhir ia berikan pada Rian biarkan semua menjadi kenangan semu, Gendis berjalan cepat meninggalkan area kantin rumah sakit.
***
Keberuntungan memihak pada Gendis, berniat masuk ke dalam kamar Erik dikabulkan. Teman-teman Erik sudah pulang, Gendis masuk dan menyapa Erik seperti biasanya.
"Ditelepon nggak diangkat, kamu kemana, Ndis?"
"Makan siang mas," jawab Gendis
Erik melihat wajah murung Gendis, gadis bertubuh tinggi terus menunduk seolah keadaan sedang tidak baik-baik saja.
"Kamu kenapa?"
"Nggak, habis makan malah ngantuk."
"Nggak sehat habis makan terus tidur, Ndis salah satu teman saya ada yang kenal sama Rian. Bertanya ruangan Rian, saya tidak menjawab. Saya tidak tahu wajah dokter Rian."
Gendis mengangguk-angguk tak ada selera untuk membalas perkataan Erik. Ucapan Rian begitu terngiang bahkan Gendis ingin sekali berdiam diri di dalam kamar.
"Ndis!"
Gendis terperanjat, Erik mendorong tubuhnya dan hampir saja terjatuh. "Mas bisa nggak panggil nama aja, nggak usah dorong? Kayak lagi berantem." dengus Gendis
"Kamu harus cek ke dokter THT biar nggak budeg."
Gendis memberengut. Nama Rian berhasil memporak-porandakan kehidupan Gendis, Gendis berjanji setelah ini ia fokus dengan hidup dan karirnya. Perjalanan masih panjang.
"Sembarangan saja kalau bicara, minta dijait mulutnya." balas Gendis. Gendis tipikal perempuan terang-terangan, jika ia tak suka maka Gendis berbicara di depannya hanya dengan Rian sifat itu tidak muncul.
"Ndis kalau kamu masih mikirin Rian lebih baik berhenti bekerja sama saya, gara-gara Rian, kamu lupa ngurusin saya."
"Maaf ya mas, aku masih butuh uang. Jangan dipecat ya," tatapan Gendis memohon.
"Fokus. Cerita sama saya, kamu kenapa?" Erik menyuruh Gendis duduk di kursi agar percakapan mereka lebih nyaman, Erik bukan tipikal pria kasar seperti diawal pertemuan hanya saja penolakan selalu ada apalagi Gendis hanyalah orang asing. Ia memiliki adik perempuan dan prinsip hidup Erik tak ingin menyakiti perempuan, agar adiknya tak disakiti pria.
Waktu demi waktu berlalu, kebersamaan terus mereka lewati perlahan Erik sedikit tahu bagaimana sikap Gendis. Gendis berbeda, gadis itu pekerja keras, sama seperti Fredella— adiknya. Tak pernah Erik mendengar Gendis mengeluh tentang bekerja, hanya mengeluh tentang tugas kuliahnya.
"Jadi tadi ke kantin makam siang, terus aku duduk di dekat penjual nasi, menikmati makan siangku dengan tenang lalu ti—"
"Ndis langsung ke inti dong, lama sekali." sela Erik
"Kalau langsung inti nggak nyambung mas,"
"Saya memiliki kecerdasan di atas rata-rata, langsung inti!"
"Ketemu Rian, meminta nomor telepon buat kirim undangan pernikahan mereka." jawab Gendis
Tawa Erik memenuhi seisi ruangan, Gendis menatap tajam Erik. Bisa-bisanya tertawa saat Gendis menderita, Gendis menyesal bercerita dengan Erik.
"Mas, ih, kok tertawa?"
Erik mengabaikan pertanyaan Gendis, masih tertawa dan membuat Gendis kesal akhirnya Gendis melayangkan pukulan ringan tepat pada kaki Erik yang dibalut perban membuat Erik mengerang kesakitan.
Gendis panik akibat ulahnya.
"Mas, mas, maaf ..." Gendis mengusap kaki Erik, berharap rasa sakit itu hilang.
"Ndis, habis ini kaki saya diamputasi, pukulanmu kuat sekali ..." Erik memejamkan mata, menahan nyeri pada kaki.
"Mas, aku panggil dokter ya, aku minta maaf ..."
Erik menggeleng. "Pijat aja Ndis,"
Gendis tak melawan, langsung memijat kaki Erik pelan-pelan. Gendis merasa bersalah.