Hari ini tidak ada yang lebih menyenangkan, merasa lega ketika mendengar dokter memberi penjelasan tentang sakitnya. Menjelaskan hal-hal positif membuat ia yakin sebenarnya ia bisa sembuh apalagi hari ini dokter memperbolehkan pulang, menjalani perawatan di rumah karena kondisi Erik cukup membaik.
"Terapi tetap jalan ya, Rik, saya akan membuat jadwalnya," jelas dokter Teddy— dokter yang merawat Erik selama ini.
Erik hanya mengangguk sebagai jawaban, tak hanya itu saja dokter Teddy sempat berbicara dengan Gendis untuk memperhatikan Erik lebih serius. Menjelaskan tentang obat-obatan yang ternyata dokter sendiri membantu mengambilnya.
"Saya harus minum obat sampai kapan? Bosan sekali rasanya," Erik mengeluh. Bukan hari ini saja, sudah sebulan yang lalu Erik ingin berhenti meminum obat.
"Kali ini tidak banyak, ada obat yang harus dimakan ketika nyeri saja. Kalau tidak nyeri tidak perlu, kalau nyeri bilang dan jangan bohong. Risiko kamu sendiri yang menanggung," jelas dokter Teddy
Erik hanya mengangguk, mengucapkan terima kasih pada dokter Teddy. Tidak terbayangkan dibenak Erik jika tidak ada dokter mungkin ia sudah kehilangan kaki untuk selama-lamanya, masih teringat jelas kaki saat yang tertindih motor besarnya. Sakit, nyeri dan rasanya Erik ingin mati saat itu juga.
"Mas masih sakit kakinya?"
Suara Gendis menyadarkan Erik dari lamunan, hampir saja lupa tentang kaki yang semalam Gendis pukul. Tidak sakit, ia hanya berbohong di depan Gendis. "Masih, kayaknya mau amputasi," jawab Erik asal
"He, Mas! Ngomong sembarangan, mau nggak punya kaki?"
"Ya, biar kamu gendong saya terus,"
"Nggak mau, dikira Mas ringan?" tangan Gendis perlahan membereskan barang-barang yang akan ikut pulang. "Mas, baju rumah sakit mau bawa nggak?" tanya Gendis
"Nggak. Ngapain dibawa-bawa,"
"Ya kali aja buat kenang-kenangan, dikasih bingkai gitu Mas terus tulisannya gini, memori kecelakaan lalu lintas adalah kenangan terpahit hidupku," jawab Gendis sambil terkekeh, sedikit mendramatisir.
"Nggak sepahit ditinggal nikah pas belum move on, Ndis,"
Gendis memberengut mulai lagi menyindir Gendis, ingin melawan tapi ucapan Erik benar adanya. Bicara tentang Rian— pria itu dua hari lagi akan menyandang status baru, ternyata calon istri bekerja sebagai dokter. Benar kata pepatah tinggi jabatan, pekerjaan yang baik bisa menghasilkan calon yang setara. Mendadak Gendis ingin segera lulus lalu memiliki bisnis sendiri menjadi bos besar agar mendapatkan suami dari kalangan yang sama.
"Kira-kira kalau aku jadi pembisnis cocok nggak?" tanya Gendis pada Erik
Pertanyaan acak saja ingin mendengar jawaban pria yang kini sibuk dengan ponselnya.
"Mau bisnis apa?"
"Kopi misalnya,"
Erik nampak berpikir sejenak sebelum menjawab pertanyaan Gendis. "Kopi sudah banyak, cari bisnis lain,"
"Ini baru misalkan Mas, lagian kalau bisnis kopi bagus dong, sekarang lagi viral banget Mas, kopi apa aja ada. Sampai kopi merek janda, duda aja ada," Gendis menggeleng tak percaya dengan pembisnis di luar sana yang menggunakan nama tak biasa. "Tapi Mas, kalau pun mau buat konsepnya berbeda biar pembeli tertarik." sahut Gendis
"Jangan membuat bisnis yang sedang viral, tak bisa bertahan lama contohnya sudah banyak. Cari bisnis sesuai keinginan, awalnya tidak bisa berjalan mulus tapi terus berusaha nanti hasilnya bisa kamu nikmati sendiri. Tahu bakso Mas Ayip dekat apartemen? Sudah berdiri sejak seribu sembilan ratus sembilan puluh sembilan, konsepnya masih sama, meski banyak model bakso tapi Mas Ayip masih ramai, tak ada perubahan. Kamu bisa ambil pelajaran dari Mas Ayip dan konsistennya, kenapa masih ramai? Selain memiliki cita rasa yang khas, biasanya mereka sudah terbiasa makan di sana. Kita buka usaha hanya karena barang tertentu sedang viral, pelangganmu tidak akan tetap karena mereka hanya mencoba karena penasaran rasanya," jelas Erik
Ucapan Erik benar, Gendis baru sadar sekarang. Belajar dari ibunya meski tidak memiliki pendidikan dunia bisnis tapi bisnis kuliner mereka tetap ramai meski di luar sana, jenis makanan unik sudah banyak. "Mas kok pintar ya?"
"Dari dulu, cepat beresi kita harus pulang. Saya nggak betah di sini,"
Gendis mengangguk. Setelah barang-barang selesai dikemas, Gendis membantu Erik duduk di kursi roda.
Gendis merasa lega karena Erik perlahan bisa berdiri, menggerakan kaki yang tak terbalut perban hanya pindah tempat. Setelah ini perjalanan mengurus Erik belum berakhir, keluarga Erik meminta Gendis terus menjaga meski sudah pulang. Baik Anggara dan Fre mengatakan hal sama, meski ada di apartemen mereka yakin Erik tidak akan bertindak kurang ajar pada Gendis.
"Mas sudah siap?"
"Iya, kwitansi pembayaran sini Ndis,"
Gendis memberikan kwitansi yang Erik minta, tidak percaya pembayaran rumah sakit dikeluarkan dari ATM pribadi Erik. Nominalnya cukup membuat Gendis terkejut setengah mati, ternyata sehat itu mahal. Erik seorang pembalap, tapi memiliki uang cukup banyak. "Mas harus sehat, lihat tuh biaya rumah sakit cukup buat beli rumah,"
Erik hanya berdehem sebagai jawaban. Kali ini mereka dijemput oleh Fre dan kekasihnya.
"Kebiasaan seolah-olah saudara tidak bisa membantumu, aku baru saja ke kasir tapi pembayaran sudah beres,"
Itu suara kembarang Erik, Erik hanya tersenyum simpul. "Aku tidak ingin merepotkanmu, Fre,"
"Oke, aku tidak ingin berdebat." Tungkas Fre. Saudara kembarnya tak mau kalah, lebih baik mengalah.
Gendis mendorong Erik dengan kecepatan lumayan tinggi membuat Erik berteriak tidak jelas. "Takut Mas?"
"Iyalah, nanti kita jatuh bareng Ndis," jawab Erik
Menghirup udara bebas, sudah lama tidak keluar melihat bagaimana dunia luar. Erik memejamkan mata menikmati angin yang mengenai wajahnya. "Bubur buatan Ibumu enak, Ndis,"
"Masa Mas?"
"Iya, apa nama buburnya?"
"Bubur sumsum Mas, Ibu selalu tanya Mas suka makanan apa tapi aku lupa tanya. Kebetulan hari Senin Ibu buat bubur sumsum lalu menyuruhku memberi pada Mas," jelas Gendis. Mendapatkan balasan bahwa bubur buatan ibunya enak, Gendis merasa senang setidaknya bisa menghargai makanan. "Mas sukanya apa? Biar nanti Ibu buatkan, gratis kok."
"Suka kamu," celetuk Erik tiba-tiba
Gendis berdecak kesal, padahal ia sedang berbicara serius tapi Erik malah bercanda. "Mas serius lah,"
"Nggak baper?"
"Nggak, sudah kebal dulu Rian sering ngomong gitu. Muak," sahut Gendis
"Yakin muak?"
"Iya Mas,"
"Terus kenapa mata bengkak terus beberapa hari ini, sedih mau ditinggal nikah?"
Gendis tak menjawab, malu jika ia berkata jujur di depan Erik. Selain malu pasti Erik akan menggodanya habis-habisan, sebenarnya mata Gendis bengkak setiap menjalankan ibadah tiba-tiba menangis.
***
Malamnya Gendis harus pulang, pukul delapan malam ia keluar dari apartemen Erik sekaligus apartemen kembarannya. Gendis tak bisa menginap karena ia belum izin dengan orang tuanya, mereka sangat berharap Gendis menginap ketika libur kuliah. Gendis akan membicarakan ini dengan orang tuanya.
"Mas, aku pamit pulang dulu. Jangan kangen."
"Nggak." sahut Erik
Gendis tertawa sembari menaikkan selimut Erik sampai dadanya. "Dasar anak bayi!" ucap Gendis segera menghindar dari Erik untuk pulang.
Ia berjalan menuju rumahnya, berhenti dipinggir jalan untuk membeli makanan. Adik-adiknya sangat suka mengemil malam. Langkah Gendis berhenti, berkali-kali mengerjapkan mata— ia merasa tak percaya tapi jelas di depan mata.
"Bu, Pak," tak peduli dengan kantong plastiknya— menaruh sembarangan lalu Gendis lari mendekati kerumuman orang.
"Ndis yang sabar ..."
"Akhirnya kamu pulang ..."
Gendis tak mengerti maksud mereka, memaksa masuk. Terkejut, dadanya terasa sesak mencoba tak percaya tapi ia melihat dengan jelas. "Bu, Pak, Adek ..."
"Ndis, kuat Ndis,"
Gendis menggeleng, tubuhnya mendadak lemah. Mendekati, membuka kain penutup melihat satu-persatu keluarganya. Detik kemudian Gendis tak bisa menahan diri, Gendis menangis seolah tak percaya. Ibu, bapak dan kedua adiknya terbujur kaku dengan mata terpejam, wajah memucat.
Mereka berempat meninggalkan Gendis selamanya, tanpa pamit dengan Gendis. Dunia baru saja meruntuhkan Gendis dalam waktu sekejap.