webnovel

Percayalah Padaku

Setelah berhasil menembus pintu, mereka jatuh bergulingan di lantai.

"Kasar sekali mainnya. Menyebalkan!" gerutu Theodor sambil mengelus-elus punggungnya. Rasa ngilu dan dingin berbaur menjadi satu.

"Kau bisa gunakan tenaga ekstramu untuk mengangkut lukisan-lukisan itu daripada terus menggerutu" sahut Amarru bergegas mendekat ke arah lukisan.

Ujung jemari Amarru telah menyentuh salah satu lukisan dan dia tiba-tiba memekik kesakitan.

Auch!!

"Apa?" Theo menoleh ke arah Amarru yang sibuk mengibas-ngibaskan tangan kanannya.

"Tanganku serasa terbakar" keluh Amarru sambil memerhatikan lukisan yang tadi hampir saja membuat tangannya melepuh.

"Apa itu?" Theo memerhatikan sesuatu di sudut lukisan bagian atas yang tak jauh dari Amarru.

Amarru ikut meneliti apa yang telah dilihat Theodor. Matanya memicing lalu mencoba mencondongkan kepalanya ke arah lukisan.

"Hey, jauhi lukisannya" cegah Theo sebelum Amarru benar-banar mencondongkan kepala. Theodor mengarahkan lampu penerang di ponselnya lalu diarahkan ke lukisan.

"Bukankah itu noda akibat terbakar?" Theo melirik ke arah Amarru.

"Jadi, ada seseorang yang ingin melenyapkan lukisan ini" gumam Theo. dia merasa harus segera meninggalkan ruang rahasia dan membawa seluruh lukisan Eve. Sebelum si pelaku berbuat lebih jauh lagi.

"Bawa pergi sekarang" komando Theo sambil berjalan akan meraih dua lukisan yang berjarak empat jengkal darinya.

Blarrrrrr!!

Kratak Kratak!!

Suara api yang muncul secara tiba-tiba, melahap habis seluruh lukisan tanpa sisa. Mereka berdiri mematung tanpa sempat berpikir harus bagaimana sekarang. Amarru dan Theo terlihat syok melihat kejadian tak terduga ini.

"Kita masuk hanya untuk keluar dengan tangan kosong? sial. Benar-banar sial" geram Theo setelah dapat menguasai diri.

Drrrrt

Drrrrt

Sebuah pesan WA dari Eve mengalihkan perhatian Theo. dia segera membaca pesan itu.

Maaf. Aku gagal menahan Dadmu. Dia sedang menuju lantai dua. Cepat pergi dari sana!!

"Ayo pergi sebelum Dad sampai ke lantai ini" Theo berlari ke arah pintu bersiap untuk menyemprot daun pintu sekali lagi.

"Kemarilah Amarru, bawa aku bersamamu" suara Theo terdengar lagi dari arah belakang Theodor dan Amarru. Keduanya terperanjat kaget mendengar suara tak asing itu begitu mendesak mereka.

Keduanya menoleh kebelakang tetapi tak ada satu pun orang di sana selain mereka. Amarru dan Theo saling berpandangan penuh tanda tanya.

"Cepat kemari. Percayalah padaku, kalian akan aman" suara itu kembali memperingatkan Amarru dan Theo agar segera membuat pilihan. Sekarang pilihan keluar lewat pintu sudah tidak mungkin dilakukan. Karena suara langkah kaki dari arah tangga terdengar jelas menuju ke ruang rahasia.

Tidak ada pilihan lain!! mereka berlari ke arah suara. di mana sesuatu yang besar telah ditutup oleh kain putih. Karena merasa terdesak akhirnya Theo membuka kain dan mendapati diri mereka berdiri di depan cermin.

"Sentuh cerminnya bersamaan. Cepatlah!!" suara itu semakin bergema di telinga mereka berdua, disela itu, pendengaran mereka juga menangkap seseorang telah mencoba membuka pintu, dengan menekan kode password.

Amarru dan Theo segera menyentuh permukaan cermin secara bersamaan. Dan, tak lama kemudian, mereka justru berdiri di ruang pengawas!! monitor CCTV terpampang jelas di mata mereka.

"Kita berpindah tempat dari lantai dua ke lantai tiga? melalui cermin?" Amarru mencoba mencerna proses perpindahan mereka dari lantai dua ke lantai tiga ini.

"Kalau itu benar-benar ruang rahasia Dad, untuk apa dia memasang pintu lain ke lantai tiga ini?"

"Agar lebih mudah mengawasimu?"

"Ruang CCTV lebih sering digunakan Oliver. Dad hanya akan datang jika Oliver mengabarkan ada hal yang aneh terjadi padaku"

"Ruang ini lebih sering dikunjungi si Oliver?" mata Amarru membulat sementara Theodor mengangguk yakin.

"tetapi ruang rahasianya terhubung dengan ruangan ini. Apa Dadmu mengizinkan Oliver keluar masuk ke ruang rahasia?"

"Mereka berbagi rahasia tanpaku?" Theodor agak merasa terluka dengan kemungkinan ini. Mungkin... dimata Dadnya, Theo hanyalah anak angkat tetapi bukankah Oliver juga keponakan angkat? mengapa mereka dibeda-bedakan seperti ini?

Entah mengapa tangan Theo mengarah pada layar monitor CCTV. dia mencari rekaman belum lama ini. Pada detik di mana Amarru dan dirinya berpindah lokasi. Dalam rekaman CCTV tersebut, Ayah Theo memang naik ke lantai dua. tetapi dia berjalan menuju ruang olahraga.

"Tunggu. ke mana dia?"

"Itu ruang olahraga. Di sana Mom sengaja meletakkan kursi pijat untuk mereka berdua" Theo tersenyum kecil.

"Bukankah Oliver sudah pergi? lihat" Amarru menunjuk sudut lain tangga. Murid Hisashi ini tidak akan sefokus itu jika mengabaikan titik di mana Ayah Theodor, sempat berhenti sejenak saat menaiki anak tangga terakhir. Sebelum memutuskan pergi ke ruang olahraga.

Theodor menatap sosok yang bersembunyi di balik pohon kaktus besar yang di letakkan di sudut ruangan. dia memperbesar ukuran gambar dan melihat jelas yang bersembunyi di sana memang benar Oliver. Sudut cahaya yang temaram diseluruh sisi pohon, telah menyamarkan kehadiran sosok Oliver.

"Apa yang dilakukannya di sana?" gumam Theo penasaran.

Matanya membulat melihat di menit berikutnya, Oliver tidak terlihat lagi di sekitar pohon. tetapi ada suara seseorang sedang menekan pasword!! lalu pintu tiba-tiba terbuka dan tertutup secepat kilat.

"Apa CCTVnya rusak?" gumam Theo mencoba mengulang rekaman setelah Ayahnya sampai ke anak tangga terakhir. dia memeriksa apakah ada rekaman di menit berikutnya yang hilang? atau CCTVnya memang rusak.

"Kalau dilihat dari durasi pemutaran rekaman CCTV, semuanya tidak ada yang salah. Tidak ada yang hilang" gumam Theo mengerutkan kening.

"Salah atau tidak tergantung sudut pandang kita. Dari sudut pandangku, Oliver bisa bergerak secepat kilat. Kalau ini yang terjadi, tidak heran dia bisa masuk ke dalam sana tanpa diketahui orang lain"

"Semacam kekuatan super?" tebak Theo.

"Salah. Kekuatan Iblis. Aku bisa merasakan kekuatannya sebelum keluar dari ruang rahasia"

"Keluar sekarang" tiba-tiba Theo menarik keluar Amarru dari ruang pengawas setelah menghapus jejak keberadaan mereka di depan pintu ruang rahasia. Segalanya berjalan seolah tidak ada yang datang ke sana.

Ketika mereka berada di ambang pintu pengawas, Theodor dan Amarru mendadak lenyap. Di saat bersamaan, dari cermin di ruang pengawas muncullah Oliver!

"Jelas aku merasakan kedatangan penyusup tadi" gumam Oliver sambil berjalan mendekat ke arah layar monitor. dia melihat rekaman CCTV dan yang dia dapati hanya rutinitas biasa para penghuni rumah mewah itu. dia hanya melihat Ayah Theo naik ke lantai dua dan berjalan memasuki ruang olahraga.

Theodor dan Amarru muncul kembali dalam toilet di lantai satu. Theo duduk di atas toilet, sementara Amarru berdiri di depan pintu toilet.

"Cerdas. Siapa yang memindahkan kita kemari? ini daerah yang tidak terlihat oleh CCTV" tanya Theo sambil bersiul lega.

"Hmm, kurasa kemampuannya semakin meningkat" gumam Amarru, membuka pintu toilet. Mereka bergegas menuju Hisashi dan Eve berada.

"Di mana barang yang kalian butuhkan?" komentar pertama keluar dari bibir Eve.

"Ada yang sengaja membakar semuanya di depan mataku. Apa kau sekarang bisa menggerakkan kakimu?" Theo berbisik takut ada yang akan mencuri dengar.

Eve tak banyak bicara tetapi dia menggoyangkan kaki perlahan, dan berdiri sambil menggunakan kedua tangan untuk menumpu beban tubuh. Kali ini dia menguji kemampuan kedua telapak kakinya untuk berpijak tanpa bantuan kedua tangan lagi.

"Kau mampu berjalan keluar? sekarang?" tanya Theo sekali lagi was-was.

"Kakiku bertenaga sekarang. Tidak masalah" sambut Eve tersenyum lega karena Akhirnya dia tak lagi jadi beban untuk Theo dan yang lainnya.

"Bagaimana denganmu Hisashi?"

"Aku baik-baik saja" Hisashi menunjuk dahinya yang kembali normal berkat bermeditasi.

"Pakai kacamata hitamku" Theo mengambil kacamata hitam di atas meja ruang tamu lalu menyerahkan benda tersebut kepada Amarru. Karena sibuk menolong Theo, murid Hisashi ini tidak sempat memulihkan diri.

Tok

Tok

"Kalian mau pergi ke mana?" Oliver mengetuk pintu ruang tamu dan bertanya pada Theo, agar terlihat seolah dia baru saja datang ke rumah Theo.

Amarru segera berbalik arah, agar matanya yang tak normal tidak disadari oleh Oliver. Amarru segera memakai kacamata hitam itu.

Nächstes Kapitel