webnovel

Back to The Old House

Perjalanan yang sedang ditempuhnya itu membuat perasaannya entah kenapa semakin tidak enak selama di dalam bus tersebut. Ia duduk tepat di sebelah pintu keluar bus, dua bangku di belakang sopir. Ia merasa ada yang memperhatikan di belakangnya. Namun, setiap ia menoleh ke belakang, ia tidak mendapat apapun kecuali beberapa orang dewasa yang sibuk dengan urusan masing-masing.

Tertidur, main ponsel, mendengar lagu dan merenung melihat jendela. Tidak ada yang aneh dari aktifitas itu, tapi ia merasa kalau salah satu diantara mereka--atau mungkin semuanya--memperhatikannya dengan tatapan yang tidak wajar. Mata putih tanpa iris yang melotot ke arahnya. Insting indra keenamnya berkata seperti itu.

Kembali, ia menoleh ke belakang bus karena merasa ada yang aneh. Kali ini ia mendapatkan kejanggalan itu. Terlihat seorang wanita yang tertunduk tepat di sudut kursi penumpang bus. Rambut hitamnya yang panjang dan kusut menutupi seluruh wajahnya. Perlahan, kepalanya bergerak, menoleh ke arah pemuda berkacamata yang menyadari kehadirannya itu.

Tiba-tiba saja bus itu berjalan oleng dan berhenti seketika.

Terdengar suara seseorang yang terbatuk hebat dan itu berasal dari kursi sopir bus.

Sontak, Chip pun segera menghampiri sopir tersebut untuk melihat keadaannya.

"Kau baik-baik saja?" tanya Chip pada pria tua itu.

Namun ia tidak menjawab, batuknya malah semakin parah dan kali ini mengeluarkan darah.

Chip semakin khawatir melihat keadaannya yang kian memburuk itu. Ia pun menengok ke arah penumpang untuk meminta pertolongan pada mereka, kali saja ada yang bisa memberinya pertolongan pertama. Tapi, entah mengapa dan bagaimana caranya, penumpang yang kira-kira berjumlah tak lebih dari 10 orang itu menghilang secara misterius. Tidak ada siapa-siapa di belakang, padahal ia berani bersumpah kalau masih ada penumpang sebelumnya dan pintu bus pun juga tak terdengar terbuka.

Kepala pria itu kini tersandar ke stir bus. Chip segera merogoh ponselnya untuk meminta bantuan, tidak ada waktu untuk memikirkan ke mana para penumpang itu pergi.

"Agh sial!" rutuk Chip. Bar sinyal di ponselnya sama sekali tidak terisi. Ia meninggi-ninggikan ponsel hitamnya itu untuk mendapatkan sinyal setidaknya satu bar saja. Tapi sia-sia. "Bertahanlah," katanya pada pria tua itu sebelum ia keluar dari bus untuk mencari sinyal.

Setelah ia menjauh beberapa langkah dari bus, akhirnya bar sinyal bisa terisi walau hanya 2 bar. Chip pun segera menekan nomor panggilan darurat.

"Ada seorang sopir bus yang sekarat di sini." Akhirnya ia bisa terhubung dengan operator panggilan darurat itu. "Iya, saya sekarang di..." Chip terdiam saat ia berbalik badan ke arah bus.

("Hallo? Sekarang anda di mana?")

Chip tidak menggubris panggilannya. Ia terlalu kaget karena tiba-tiba saja bus itu menghilang entah ke mana. Ia pun mendekat ke posisi yang seharusnya bus itu berada. Namun, ia benar-benar tidak menemukan apapun. Jalan kecil itu benar-benar kosong.

"Hallo, pak?" Saat Chip kembali meresponnya, panggilan itu terputus. "Sialan!" Bar sinyal ponselnya kembali hilang.

Rasanya ia ingin sekali meledak. Bus yang ternyata berhantu itu benar-benar membuatnya ingin gantung diri karena sudah menelantarkannya di suatu tempat entah di mana itu. Emosinya kian memuncak saat ia sadar kalau kopernya juga hilang karena tertinggal di dalam bus. Tapi setidaknya ia masih bisa menyelamatkan tas selempang besarnya itu.

"Sudah kubilang, jangan naik bus itu." Terdengar suara di sebelahnya.

"Kau tidak memperingatiku!" timpal Chip. "Kenapa kau baru muncul sekarang?" Membentak sosok yang bernama Alice itu adalah cara untuk meluapkan emosinya.

"Hey, chill out," kata Alice. "Aku duduk di sebelahmu dan kau tidak menyadarinya."

Chip hanya terdiam dan menatapnya tajam. Kedua alis yang semakin bertaut dalam membuat Alice sadar kalau ia benar-benar geram dengannya.

"Ok-ok baiklah, aku minta maaf sekali lagi." Tiba-tiba Alice melihat sesuatu. "Kau bisa tidur di sana," tunjuknya.

Ia pun menoleh ke kirinya, ke arah apa yang Alice tunjuk itu. Ada sebuah rumah besar yang tampak sangat angker dan berbahaya.

"Kau tahu, lebih baik aku tidur di pinggir jalan ini dan menunggu mobil lewat daripada tidur di dalam sana," kata Chip. Ia sangat tidak ingin tidur di dalam rumah tanpa cahaya dengan sulur yang menjalar di setiap dindingnya itu. Gerbang besar dan tinggi yang sudah berkarat tersebut seakan menekankan orang yang melewatinya untuk berpikir ratusan kali kalau ingin mengunjungi rumah itu.

Tiba-tiba terdengar suara serigala melolong dari tengah hutan yang kebetulan tak jauh dari tempatnya berdiri.

"Yakin masih ingin tidur di luar?" kata Alice.

Chip terdiam dan memikirkan sesuatu. Ia melihat ponselnya kembali dan sangat berharap kalau ia bisa mendapat sinyal. Tapi nyatanya tidak.

"Aku tidak bisa melindungimu dari serigala itu, tapi aku masih bisa menjauhkan beberapa hantu yang 'jahil' darimu," tawar Alice.

"Kau yakin?" Chip terlihat kurang mempercayainya.

"Yakin seratus persen," jawab Alice sambil mengacungkan ibu jarinya.

Tanpa berpikir panjang lagi, Chip langsung menghampiri rumah itu dengan Alice memimpin di depannya.

"Gerbangnya tidak terkunci," info Alice.

"Itu bagus," respon Chip sambil mencari-cari senter di dalam tasnya, yang dalam sesaat ia langsung menemukan senter itu dan langsung menggunakannya.

Saat Alice memasuki halaman depan rumah mewah itu, ia berhenti tiba-tiba. Ia terbelalak dan tidak percaya dengan apa yang dilihatnya, lebih tepatnya saat melihat bentuk rumah yang tampak familiar itu.

"Kau kenapa?" Hal itu membuat Chip penasaran dengannya.

Alice menggeleng cepat. "Tidak apa-apa. Oh ya, Chip, sepertinya ada 'sesuatu' yang harus aku urus di sana." Ia menunjuk asal bagian rumah itu.

"Baiklah, jangan lama-lama," kata Chip kemudian. Dan setelahnya, makhluk tak kasat mata itu pun menghilang menuju suatu tempat. Chip tidak terlalu mencampuri urusannya itu karena menurutnya mungkin saja ia sedang bertemu hantu lain saat ini.

Chip menaiki dua anak tangga yang mengantarnya pada pintu masuk. Suara kayu reyot terdengar saat ia mendorong pintu yang lapuk termakan usia itu.

Ia melangkah perlahan memasukinya. Semua perabotan rumah tertutup kain putih yang sudah kotor karena debu.

"Hallo?" Suaranya sedikit bergema di ruangan tanpa penghuni itu. Ia kembali memasukinya lebih dalam untuk mencari tempat yang pas untuk bermalam.

Jantungnya berdegup kencang dan tangannya yang menggenggam senter sedikit bergemetar. Semakin ia memasuki rumah itu, semakin berat udara di sekitar yang ia rasa.

Tiba-tiba saja terdengar suara pintu terbuka dari lantai dua lalu tertutup kembali secara perlahan.

Hal itu sontak membuat Chip semakin bergetar hebat dan membuatnya ketakutan. Ia ingin sekali berlari keluar dari sana, kalau saja serigala-serigala liar di hutan tidak sedang berburu di malam purnama ini. Mau tidak mau ia harus memeriksanya dan sangat berharap kalau tanda pintu terbuka dan tertutup itu bukanlah penghuni rumah yang marah karena kedatangan tamu tak diundang, atau yang lebih parah para penjahat yang menjadikan rumah ini sebagai tempat mereka.

Saat ia sudah mencapai lantai dua, ia berjalan menuju koridor di mana sumber suara tadi berasal.

Chip berjalan perlahan sambil terus memfokuskan senternya ke depan. Ia melawan rasa sakit yang menjalar di tangan kirinya saat ia menggenggam senter itu, sedangkan tangan kanannya ia letakkan di gagang pisau yang terdiam di sabuk tempat senjata tajam itu untuk jaga-jaga kalau ada hal buruk menimpanya.

Sebuah cahaya temaram api lilin yang berasal dari belokan koridor itu membuat Chip bersiaga. Ia semakin mendekat dan genggaman pada gagang pisau semakin kuat. Ia mengambil napas untuk membangun keberaniannya, lalu segera melihat siapa yang menyalakan lilin itu dengan tangan kanan terangkat menggenggam pisau.

"Kau?" Chip hampir saja menikam wanita yang terlihat familiar itu. Ia langsung meletakkan kembali pisaunya di sabuk.

Wanita yang melakukan hal yang sama seperti Chip itu--menggenggam tongkat baseball besi untuk jaga-jaga dan lilin untuk pencahayaan--sempat kesilauan karena senter yang Chip arahkan ke wajahnya itu sampai ia menjauhkan sorotan senternya ke tempat lain.

"Chip?" kata wanita itu saat mata birunya sudah bisa beradaptasi dengan cahaya lilin. Setelah ia yakin kalau pemuda di depannya itu adalah kawan lamanya, ia langsung meletakkan lilin dan tongkat itu di lantai dan segera memeluknya untuk melepas rindu yang ada.

"A-aw... sebentar sebentar." Chip sedikit mendorong wanita itu untuk menjauh darinya karena tidak tahan dengan pelukan yang sangat erat itu yang mungkin saja bisa memperparah keadaan tangan kirinya yang terimpit.

"Astaga, kau kenapa?" cemasnya saat ia melihat kondisi Chip yang cukup jauh dari kata baik itu.

"Kecelakaan. Tapi tak apa. Sudah mendingan" jawab Chip sambil tersenyum miris. Ia agak kagok bertemu dengan wanita yang sudah lama sekali tidak berjumpa dengannya itu. "Apa yang kau lakukan di sini, Cahtrine?" Tanya Chip balik.

"Aku ingin menginap sementara di sini," jawab Cathrine dengan tatapan sendu.

"Kenapa? Aku dengar kau sudah bersuami, kan? Dan kau...," Chip merendahkan sorotan senternya pada perut Cathrine, "juga sudah mengandung bayimu. Apa yang terjadi?"

"Kemarin hari perceraianku, dan aku tidak punya apa-apa lagi karena ia benar-benar menelantarkanku," jawab Cathrine. "Tapi tak apa. Setidaknya tempat ini cukup nyaman." Sambil tersenyum miris, air matanya keluar perlahan.

Merasa prihatin dengan keadaan kawannya itu, Chip hanya bisa memeluknya perlahan dan mengusap puncak kepalanya lembut. Ia mengucapkan bela sungkawa dan berharap bisa menenangkannya.

"Terima kasih, Chip," kata Cathrine sambil menyeka air matanya. "Tadi siang aku baru saja membersihkan kamar yang terlihat masih bisa digunakan." Cathrine mengambil lilin dan tongkat baseball itu sambil mengajaknya masuk ke sebuah kamar yang tak jauh dari tempatnya berdiri.

Chip pun mengikuti Cathrine. Wanita berambut pirang itu membuka sebuah pintu kamar, ia masuk terlebih dahulu dan disusul dengan Chip.

"Pintu itu sebenarnya sudah rusak. Tapi sudah aku perbaiki tadi siang. Cuman mengganti gagangnya saja," info Cathrine.

Tepat saat Chip menyentuh pintu kayu itu untuk menutupnya, tanpa sengaja, indra keenamnya menangkap sebuah visual masa lalu. Di mana ia melihat seorang gadis kecil berambut cokelat yang ketakutan saat melihat sosok bergaun serba hitam.

"Kimberly?" ucap Chip saat ia mengenali gadis kecil itu.

Mendengar Chip menyebut nama itu, membuat Cathrine merasa ada sesuatu yang mencubitnya. "Kau... masih menyukai Kimberly?" tanya Cathrine. Suaranya terdengar putus asa.

Chip terhentak dari pikirannya. "Tidak, maksudku iya...," ia menggeleng cepat, "maksudku tidak. Sudah lama aku menganggapnya sebagai teman saja," bohong Chip sambil tertawa miris. "Bukan itu yang aku maksud. Aku baru saja melihat masa lalu Kimberly!"

Cathrine tertawa sekilas melihat tingkah Chip itu, sekaligus sedikit bernapas lega mendengarnya. "Melihat masa lalu Kimberly?" herannya.

Chip mengangguk semangat sambil menyenteri seluruh kamar itu. Kamar dengan dua tempat tidur yang sudah nampak rapi. Seprai cokelat untuk tempat tidur di kirinya dan seprai jingga untuk tempat tidur di kanannya. Chip menghampiri tempat tidur di kirinya itu dan menyentuhnya.

Lagi-lagi ia mendapat semacam visual masa lalu. Kali ini ia melihat seorang anak laki-laki berambut hitam terbaring lemah di tempat tidur itu. Ada Kimberly juga yang duduk di sebelahnya. Ekspresinya tampak sangat cemas dan khawatir melihat kakaknya itu.

"Ini tempat tidur Thomas," kata Chip. Ia menoleh ke tempat tidur yang satu lagi. "Pasti itu tempat tidur Kimberly."

Cathrine sempat terdiam, ia nampak tak percaya kalau rumah yang ditemukannya itu adalah tempat tinggal Thomas dan Kimberly saat mereka kecil. "Berarti rumah ini, tempat Thomas terbunuh," gumam Cathrine pelan. "Seandainya aku bisa merasakan kehadiran Thomas di sini. Aku merindukannya saat ini." Cathrine mengulum senyumnya dan tidak ada rasa takut sedikitpun yang terpatri di wajah cantiknya.

Chip menaikkan sebelah alis mendengarnya. "Kau mirip seseorang yang aku kenal. Namun sayangnya, dia sudah tiada."

"Aku turut berduka cita atas kepergiannya," tutur Cathrine. "Chip, apa kau melihat kehadiran Thomas?"

"Kau pasti tidak akan mengerti dan tidak percaya dengan apa yang aku katakan tentangnya."

"Maksudmu?" Cathrine terlihat penasaran.

"Bukan apa-apa." Chip menggeleng sambil meletakkan tas selempangnya itu.

Cathrine menghampiri Chip dengan ekspresi serius dan sangat penasaran. "Apa maksudmu, Tobias? Kau sudah membuatku penasaran dan kau masih ingat, kan, kalau aku tidak bisa tidur kalau dalam keadaan penasaran seperti ini?" kata Cathrine. "Ini tentang Thomas. Tidak adil hanya kau saja yang tahu. Aku juga temannya Thomas dan aku berhak tahu."

"Kau ternyata belum berubah juga," tutur Chip, "sama seperti mereka."

"Mereka siapa?"

"Thomas dan Kimberly."

Beberapa saat Cathrine terdiam untuk mencerna apa yang Chip maksudkan. "Berarti kau sudah bertemu Thomas sebelumnya?!"

Chip tertawa sekilas melihat respon ibu muda itu. "Iya Cath," jawabnya. "Hanya saja, Thomas yang labil itu, sedang dimanfaatkan oleh ex-seseorang."

"Siapa?"

"Lizzie."

"Siapa itu? Maksudnya ex-seseorang?"

"Lihat, kau tidak mengerti," kata Chip sambil mengedikkan  bahu.

"Jelaskan intinya saja," timpal Cathrine. "Ayolah Chip, coba dengarkan bayi di perutku ini, dia juga penasaran. Sama seperti ibunya." Ia mengelus-elus perut buncitnya sambil tersenyum lembut ke arah kandungannya itu.

Chip mendesah melihat wanita yang tampangnya penuh kelembutan akan menjadi tak karuan kalau ia penasaran itu. "Baiklah, Cath. Aku jelaskan intinya saja."

Cathrine mengangguk semangat sebagai jawaban.

"Thomas hidup kembali."

Nächstes Kapitel