webnovel

The Truth

"Chip... Chip..., bangun!"

Ada yang mengguncang-guncangkan tubuhnya dan memanggilnya dengan suara berbisik. Pemuda itu terganggu dengan suara gadis yang membangunkannya itu. Ia pun meraba nakas di sebelahnya untuk mengambil kacamatanya dan melihat siapa yang sudah menghancurkan mimpi indahnya.

"Ada apa, Alice?" kata Chip dengan keadaan yang masih terkatung-katung.

"Ikut aku." Alice langsung pergi meninggalkannya. Menembus keluar dari kamar itu. Sebenarnya Chip enggan untuk mengikutinya. Namun, mengingat sepertinya ada suatu hal penting yang ingin Alice tunjukkan, ia memaksa otaknya untuk menyuruh tubuhnya bergerak. Ia bangun ke duduk sambil menguap dan melihat jam di ponselnya yang ternyata sudah pukul 3 dini hari.

Setelah ia mengenakan sepatu, melilitkan syal di leher dan membawa senter, ia beranjak dari tempat tidur. Ia keluar dari kamar itu sesudah ia memastikan kalau wanita yang berbaring di tempat tidur seberangnya masih terlelap.

"Alice?" Chip mencari sosok gadis itu.

"Hey, sini!" sahut Alice yang berada di ujung koridor di kanannya.

Chip pun langsung menghampirinya. Ia mengambil belokan ke kiri dan mendapat sesuatu yang aneh di sana. Sorotan senternya memantul di sebuah cermin yang sudah setengah hancur itu. Di dalamnya terdapat ruangan dan ia memasukinya dengan perasaan cemas untuk mengikuti Alice. Butiran-butiran halus debu menyeruak ke dalam hidungnya dan membuatnya terbatuk saat ia baru selangkah memasuki ruangan itu. Ia juga merasa tidak betah berlama-lama di dalam itu karena udara yang pengap menyesakkan dada.

"Sebenarnya kau mau ke mana?" tanya Chip.

"Awas ada lubang!" peringat Alice.

Reflek, Chip segera berhenti dan menyoroti jalan yang ia lalui itu. Ternyata ada sebuah lubang yang cukup besar tak jauh dari tempatnya berpijak. Ia menyoroti lubang hitam yang tak berujung itu dan menatapnya ngeri. Ia terus mengikuti Alice dengan langkah yang lebih hati-hati.

"Ambil kapak di sana dan hancurkan dinding ini," pinta Alice sambil menunjuk ke arah kapak yang bersandar di sudut ruangan.

Chip mencoba lebih bersabar untuk bertanya apa-yang-terjadi pada Alice dan mengikuti perintahnya. Ia mengambilnya tanpa merasa aneh dengan kapak berkarat itu setelah meletakkan senter di tempat yang pas untuk menyoroti dinding sasarannya itu.

Traak!

Nampak sebuah koridor memanjang di depannya, setelah ia melubangi dinding itu seukuran tubuhnya. Kali ini Chip berpikir kalau ternyata ruangan itu hanyalah sebuah sambungan koridor yang terpotong.

Alice melayang ke arah koridor itu dan berhenti di sebuah pintu di sampingnya. Ia menembus masuk melewati pintu itu.

Chip menghampir pintu itu sesudah ia menaruh asal kapak dan mengambil senternya kembali. Ada huruf L, I, dan E yang terlukis di pintu kayu itu. Hanya tiga huruf itu yang masih bertahan walau sedikit pudar, sisanya hilang sama sekali. Engsel pintu itu sudah berkarat dan dengan sekali dobrak saja, ia sudah bisa membukanya lebar.

Debu-debu berterbangan mengharuskan Chip menutup hidungnya rapat-rapat supaya butiran halus itu tidak memenuhi paru-parunya. Setelah debu-debu itu mereda dan ia bisa melihat apa yang di dalam ruangan itu, kedua mata hijau Chip terbelalak dengan apa yang dilihatnya.

Ada banyak sekali deretan lukisan dengan berbagai macam ukuran. Bertumpuk-tumpuk di atas lantai dan terpajang hampir menutupi seluruh dinding. Tapi bukan betapa banyaknya lukisan itu yang membuatnya terkejut. Namun, gambar lukisan itu.

Gambar dirinya yang terbunuh sadis. Mulai dari kepalanya yang terpenggal, seluruh isi tubuhnya yang berceceran, sampai dirinya yang tercabik-cabik oleh dua ekor singa kelaparan. Semuanya adalah gambar dirinya dan warna cat semerah darah di sekelilingnya.

"Hallo... Chip."

Chip langsung menoleh ke sumber suara yang terdengar diayunkan itu. Ke arah sudut ruangan di mana seorang gadis bergaun serba hitam sedang duduk menghadap ke kanvas kosong di depannya. Chip mengenali gadis berambut panjang hitam itu. Sangat mengenali, bisa dibilang.

"Alice?" Merasa dirinya terancam, Chip memanggil arwah yang katanya akan menjamin keselamatannya. Tapi yang dipanggil berkali-kali itu tidak muncul sama sekali. Ia mundur menuju pintu di belakangnya, tapi tiba-tiba saja pintu itu tertutup seketika dan tidak bisa dibuka sama sekali setelah Chip mencoba membukanya.

"Mencari saudariku?" kata gadis itu sebelum ia tertawa mengerikan. "Kau tidak akan bisa menemukannya karena...," kepala gadis itu berputar 180 derajat dan berhenti tepat mengarah pada Chip yang ketakutan melihatnya itu, "dia itu aku dan dia sama jahatnya denganku." Ia tersenyum, menunjukkan gigi-giginya yang keropos. Benang-benang jahitan yang menghiasi pipinya saling tertarik satu sama lain saking lebarnya senyuman itu. Ya, dia Lizzie.

Tiba-tiba saja tubuh Chip terpental ke samping, menghantam dinding. Kanvas-kanvas yang tergantung, berjatuhan menimpanya. Chip mencoba untuk bangkit dan menyingkirkan kanvas-kanvas itu. Melawan adalah satu-satunya cara walau ia tidak yakin bisa melawan sosok itu dalam keadaannya yang belum pulih.

Saat ia sudah bangkit. Belum sempat ia melihat Lizzie, tubuhnya terpental kembali ke sudut ruangan dan kali ini ia merasa ada yang menarik syalnya, padahal tidak ada siapa-siapa yang menyentuhnya.

"Kau menggangguku...," Lizzie beranjak dari kursinya setelah kepalanya kembali seperti semula, "menggagalkan semua rencanaku!" teriaknya sambil melangkah mendekat pada Chip yang berusaha untuk melepas syalnya itu agar tidak menyekiknya.

Tangan kanan Lizzie yang mengering dengan jari-jari tajamnya itu terjulur dan menyentuh syal hijau Chip. "Sudah lama sekali aku tidak menyentuh sesuatu selembut ini," gumam Lizzie. Tiba-tiba saja tangan kanannya itu mencengkram kuat dan melayangkan tubuh Chip beberapa senti dengan kekuatan yang tak terduga. "Hei, aku ada satu kanvas kosong lagi dan aku kehabisan cat merah. Apa kau mau memberikan beberapa liter cat merahmu itu untukku?" tanyanya dengan senyum mengerikan yang merekah.

Dalam keadaan terdesak, ia mengambil pisau di sabuknya dan langsung menusuk tangan itu supaya ia bisa terbebas.

Namun, bukannya terbebas, Lizzie malah tertawa keras sambil mengeratkan cengkramannya. "Walau kau terlihat banyak tahu tentangku, tapi nyatanya kau masih sedikit tahu. Sedikit sekali!"

Chip menusuknya berkali-kali dengan sisa tenaga. Tapi tidak bisa. Pisau itu pun terjatuh. Ia tidak bisa apa-apa lagi dengan napasnya yang mulai di ujung itu.

"PERGI KAU DARI SINI!!"

Seorang wanita berambut pirang pendek tepat di belakang Lizzie berteriak sambil mengayunkan kapaknya ke arah leher Lizzie.

Seketika, kepalanya pun terputus.

Akhirnya setelah itu, Chip bisa terbebas dan kakinya kembali menyentuh lantai. Ia tidak bisa melihat apa yang terjadi selanjutnya karena tubuhnya benar-benar terasa lemas dan membuatnya berlutut. Tiba-tiba saja ada yang menahannya dari depan agar tidak terjatuh.

"Chip! Bangunlah, kumohon!"

Satu hal yang ia tahu sebelum kesadarannya menghilang seketika. Suara Alice.

•••

Cepat-cepat ia membuka matanya. Jantungnya berdegub cepat dan peluh keluar dari pori-pori wajahnya. Tidak wajar rasanya bisa berkeringat di tempat yang sejuk itu

"Akhirnya kau bangun juga," ucapan itu membuatnya melirik ke arah kirinya, ke arah sosok arwah gadis yang belakangan ini mengikutinya. "Apa tadi kau bermimpi buruk?" tanya Alice sambil menarik jari tangannya kembali dari permukaan kening pemuda bermata hijau itu.

"Kau...," suara Chip terdengar serak saat ia mengingat pecahan-pecahan mimpi yang terasa nyata itu, "jahat." Ia mengingat yang Lizzie katakan itu.

"Tidak. Aku tidak jahat," sanggah Alice sambil menggeleng cepat. "Aku melihat Lizzie di mimpimu dan aku tidak tahu apa yang ia bicarakan padamu. Tapi, kumohon dengan sangat, jangan percaya ucapan Lizzie."

Chip memandang langit-langit dengan tatapan kosong. Ia bersyukur sekaligus tidak menyangka kalau yang ia rasakan tadi itu hanyalah mimpi.

Tiba-tiba pintu kamar itu terbuka dan masuklah seorang wanita dengan nampan berisi dua mangkuk sereal dan air mineral.

"Ternyata kau sudah bangun," kata wanita berbadan dua itu.

"Itu apa, Cath? Kau dapat dari mana?" tanya Chip sambil berusaha bangkit ke duduk.

Cathrine menghampirinya dan meletakkan nampan itu di atas nakas. "Sereal. Aku bawa beberapa makanan di bagasi mobilku."

"Kau bawa mobil ke sini? Kenapa kau tidak bilang dari kemarin?!"

Wanita bermata biru itu tersentak mendengar sahutannya. "A-aku hanya lupa memberitahumu. Lagipula, aku juga tidak tahu harus tinggal di mana," kata Cathrine berkelit.

"Kau bisa tinggal di rumahku," jawab Chip cepat sambil mebyendok sereal itu dan melahapnya.

"Terima kasih, tapi--"

"Panti asuhan sudah tidak ada lagi dan kau akan tinggal di mana? Tentu saja rumahku," sela Chip dengan mulut terisi. "Kalau kau tinggal dengan Kimberly, aku takut kau jadi penyebab gagalnya pernikahan Kim," tambah Chip sambil tertawa sekilas.

Cathrine memandangnya jijik sambil ikut tertawa sekilas. "Kunyah, telan, bicara," katanya.

Chip hanya tersenyum sambil mengacungkan ibu jari kanannya sebelum ia kembali menyendok.

Tepat saat matahari berada di atas kepala, Chip dan Cathrine sudah keluar dari kamar itu setelah berkemas-kemas.

"Chip! Ke sini sebentar. Aku baru saja menemukan sesuatu!" sahut Alice dari arah belakangnya.

Chip pun berhenti dan ia menoleh ke arah Alice yang sudah berada di ujung koridor. Saat itu pula ia teringat akan mimpinya semalam. Tentang Alice yang membawanya ke suatu tempat mengerikan. Walau ia masih mempercayai Alice itu baik, tapi ia tidak ingin kejadian di mimpinya menjadi nyata. Bertemu Lizzie yang tidak disangka-sangka dan kehilangan nyawa.

Chip berpura-pura tidak mendengar juga melihat arwah itu dan kembali mengikuti Cathrine yang mulai menuruni tangga.

Ketika Chip menyentuh pegangan tangga, lagi-lagi ia mendapat sebuah visual masa lalu. Visual mengerikan tentang betapa nekatnya seorang wanita berambut pirang acak-acakan melompat ke arah Thomas dan membuat mereka jatuh bersama. Sampai Kimberly berhasil mencegah Thomas jatuh sampai ke lantai dasar.

"Chip?"

Panggilan Cathrine menyentakkannya dan membuat ia melepas genggaman pada gagang tangga itu.

"Kau... pucat," Cathrine nampak cemas, "ada apa?"

"A-Aku baru menemukan pecahan masa lalu Thomas," kata Chip. Ia menoleh ke belakang, ke arah Alice yang akan menyusulnya. "Alice, apa yang ingin kau tunjukkan?" tanya Chip sambil menghampirnya.

"Kau harus melihat isi kamar Lizzie. Aku baru saja menemukannya dan aku jamin tidak ada sesuatu yang membahayakan," ujar Alice seraya berbalik badan dan kembali melewati kamar yang Chip dan Cathrine tempati.

Cathrine hanya mengekor Chip di belakang. Ia tidak mengerti apa yang terjadi pada Chip dan pada siapa ia bicara tadi. Ia tidak bertanya pada Chip karena ia menunggu waktu yang tepat.

Alice membawa Chip ke arah yang persis dengan apa yang ia lewati di mimpinya itu. Cermin retak yang di dalamnya ada ruangan dan ruangan itu yang ternyata adalah sambungan dari sebuah koridor. Hanya saja yang berbeda, saat Chip menggenggam kapak untuk menghancurkan dinding itu, mendadak ia mendapat visual masa lalu lagi. Kali ini menampilkan seorang wanita berambut pirang dengan tatapan gilanya mengayunkan kapak itu ke tubuh seseorang dan membuatnya menjadi dua. Hal itu sontak membuatnya melepas kembali kapak itu karena terlalu kaget melihat visual semacam itu. Gara-gara indra perabanya yang cukup sensitif dengan hal yang mengerikan, mengharuskannya meminjam sapu tangan Cathrine untuk menggenggam benda tajam berkarat itu kembali.

Mereka sampai di depan pintu kayu yang terlukis huruf L, I, dan E, yang ternyata jika huruf-huruf yang memudar itu masih ada, akan membentuk LIZZIE. Cahaya matahari menembus koridor melalui jendela yang berhadapan dengan pintu. Setidaknya itu lebih baik daripada saat malam hari di mana semuanya gelap gulita.

Jantung Chip berdegup cepat membayangkan apa yang ada di dalam ruangan itu. Ia sangat takut kalau mimpinya menjadi nyata, kalau lukisan-lukisan itu bergambar kematian dirinya yang sadis.

"Apa kau baik-baik saja?" Cathrine terlihat semakin cemas saat peluh Chip keluar di wajahnya. "Apa makhluk halus yang kau lihat, berbicara sesuatu padamu?" cecarnya.

Chip menggeleng dan tersenyum menenangkan. "Jangan khawatir, aku baik-baik saja." Lalu, ia pun mendobrak pintu itu dan hanya sekali dobrak langsung terbuka lebar.

Debu-debu berterbangan mengharuskan Chip dan Cathrine menutup hidungnya rapat-rapat supaya butiran halus itu tidak memenuhi paru-paru mereka. Setelah debu-debu itu mereda dan ia bisa melihat apa yang di dalam ruangan itu, kedua mata hijau Chip terbelalak dengan apa yang dilihatnya. Tapi setidaknya kali ini disusul dengan helaan napas lega.

"A-apa ini?" Cathrine yang kali ini tidak menyangka kalau ada begitu banyak tumpukan-tumpukan lukisan dengan berbagai ukuran di ruangan sedang itu. "Thomas? Siapa yang melukis Thomas?"

Ya, lukisan-lukisan itu semuanya menampilkan Thomas dengan pakaian serba hitamnya. Berbagai ekspresi--sedih, tertawa, tersenyum, marah, dan bingung--dalam berbagai pose--berdiri, berjalan, duduk, berbaring dan bersandar meja--terpapar dalam lukisan indah yang hampir terlihat seperti aslinya itu.

"Aku tidak tahu." Kali ini Chip juga benar-benar terheran dan bingung dengan apa yang terjadi di sekitarnya. Keheningan pun tercipta. Chip dan Cathrine berpandangan tidak mengerti, sampai Alice mengangkat suara.

"Lizzie mempunyai kemampuan lebih untuk melihat masa depan. Ia tuangkan apa yang ia lihat itu ke dalam lukisan," jelas Alice.

"Dan dia melihat Thomas. Ada apa dengannya?" sambar Chip.

"Hmm... karena dia..." Alice menggantungkan kalimatnya sambil memilin rambut cokelatnya yang kepirangan, "lebih ingin memperhatikannya."

"Tapi kenapa? Apa karena Lizzie sudah tahu kalau Thomas itu bisa berreinkarnasi dan ia memanfaatkan kesempatan itu untuk bisa hidup kembali?" terka Chip dengan kedua mata menyipit, mencurigainya.

Cathrine yang tidak tahu apa-apa itu hanya terdiam sambil mengagumi lukisan-lukisan yang terpajang.

"Itu alasan kesekian," timpal Alice. " Ia menggunakan kelebihan langkanya itu hanya untuk memperhatikannya sampai-sampai ia tidak sempat melihat apa yang akan Nataline lakukan karena konflik orang dewasa yang tidak aku mengerti sama sekali."

"Alasan pertamanya apa?" Chip masih tidak mengerti dengan senyuman Alice itu.

"Alasan pertamanya karena ia menyukai Thomas."

"Kau pasti bercanda, kan?" timpal Chip dengan alis sebelah terangkat.

"Hei, Chip, coba lihat apa yang aku temukan," panggil Cathrine sambil mengambil kanvas berukuran 50 × 50 dari tumpukan lainnya. "Siapa gadis yang memeluk Thomas ini?"

Lukisan yang menampilkan sepasang insan yang berpelukan dan terlihat mesra itu membuat Chip menganga. "Itu Lizzie." Ia tidak menyangka kalau gadis itu memang menyukainya. "Apa ini salah satu apa yang dilihatnya di masa depan, Alice?" tanya Chip sambil menunjukkan satu-satunya lukisan yang ada Lizzie itu.

Alice menggeleng perlahan. "Aku tidak tahu. Dia tidak pernah bercerita padaku tentang itu," jawabnya.

"Siapa Lizzie dan Alice yang kau sebut itu, Chip?" Cathrine angkat suara karena ia tidak tahan sebagai satu-satunya yang tidak mengerti.

"Nanti aku jelaskan," jawab Chip cepat sambil mengambil lukisan itu dengan tangan kanan.

Tiba-tiba saja beberapa kertas terjatuh dari kanvas itu dan Cathrine pun langsung mengambilnya.

"Apa ini?" tanya Cathrine. Setelah ia melihat isi kertas yang sudah termakan usia itu sekilas, ia memberikannya pada Chip.

Terlihat ada 6 kertas dengan tiap gambar berbeda.

"Ooh itu gambar Lizzie pertama saat ia berumur 5 tahun kalau tidak salah," kata Alice saat ia juga melihat goresan gambar yang mencirikan anak kecil itu.

Pada gambar pertama, ada dua gadis yang sama-sama berambut panjang cokelat. Satu berpakaian hitam dan satu lagi putih. Ada tulisan 'Me and My Sister' di atas gambar itu.

Lalu gambar kedua, ada seorang wanita berambut pirang yang lebih tinggi dari mereka berdua dan ada tulisan 'Me and My Aunty, Nataline,' di atasnya.

Kemudian gambar ketiga, gadis bergaun putih itu menghilang dan wajah wanita itu berubah marah. Tulisan 'When My Sister Sick' tertera di atas gambar.

Gambar keempat menampilkan wanita itu menjenggut rambut gadis berpakaian hitam itu dengan wajah jahatnya. 'I Hate Her' adalah judul gambar itu.

Lalu gambar kelima menampilkan seorang gadis bergaun putih tanpa kaki dengan tulisan, 'When My Sister Die'

Dan gambar terakhir yang berjudul 'My New Family' menampilkan sebuah keluarga dengan dua anak juga ada sosok mengerikan di sebelah gambar dengan nama Tom.

"Saat itu Lizzie mencari-carinya," kata Alice. "Tapi--"

"Ini kisah kalian?" sela Chip cepat. "Dan wanita rambut pirang itu adalah Nataline? Ibu angkat Thomas."

"Sepertinya," jawab Alice untuk pertanyaan pertama. "Iya. Dia ibu angkat Thomas. Tapi Lizzie hanya melihat dari sisi jahatnya dan tidak mengerti apa yang terjadi sebenarnya."

"Apa maksudmu?"

"Nataline itu baik. Walau memang benar ia yang membunuh keluargaku, tapi itu karena memang keluargaku jahat. Aku meninggal karena sakit, bukan karena Naraline," jelas Alice.

"Aku tidak mengerti," balas Chip.

"Ikut aku." Alice langsung keluar dari ruangan itu.

Saat Cathrine ingin bertanya lagi, Chip langsung menggenggam tangan Cathrine dan membawanya keluar dari tempat itu.

•••

Kali ini Alice membawa mereka ke halaman belakang, ke kolam renang yang sudah kering dan kotor karena daun-daun tua dan tanah.

Tanpa menyentuh benda di sekitar tempat itu, Chip sudah melihat visual masa lalu lagi. Ini berasal dari aura aneh di sekitarnya.

Nampak, seorang wanita dengan tampilannya yang sangat berantakan melempar Thomas ke dalam kolam renang itu. Wanita yang Chip ketahui sebagai Nataline itu tertawa lepas, namun tawa itu semakin menghilang dan berganti menjadi isakan hebat.

"PERGI!! PERGI KAU DARI SINI!!" Nataline berteriak histeris sambil berputar mencari sesosok yang sudah mencuci otaknya itu. Sampai ia berhenti menghadap ke belakangnya karena melihat penampakan Lizzie yang sudah berwajah hancur itu. "PERGI KAU!!"

Lizzie tergelak sambil berlari menghampiri Nataline. Ia menembus raganya dan langsung masuk ke dalam kolam renang. Napas Nataline memburu sambil melihat air kolam renang yang semakin memerah itu. Ia berlutut dan air matanya mengalir deras dari pelupuk mata. Nama Thomas terus terucap di mulutnya dan disusul dengan kata maaf setelahnya.

Tak lama kemudian, datanglah seorang laki-laki bersama Kimberly kecil. Laki-laki itu langsung memeluk Nataline untuk menenangkannya dan menarik Kimberly untuk tidak melihat ke dalam kolam renang itu. Lalu, beberapa orang laki-laki dan polisi datang.

Semua hilang dan gelap seketika.

"Chip?" Cathrine menggerak-gerakkan tangannya di depan mata Chip yang nampak kosong itu. "Sungguh aku tidak mengerti semua ini. Ayolah, aku bukan indigo!" pekik Cathrine yang benar-benar sudah tidak tahan.

"Jadi sebenarnya, Lizzie yang membunuh Thomas dengan perantara Nataline?" kata Chip sambil menoleh ke kirinya, ke arah Alice.

"Iya." Tatapannya tampak sendu dan terlihat ingin menangis. "Itu semua karena ia ingin hidup kembali dan membunuh Nataline sebagai pelampiasan balas dendam. Karena Lizzie melihat kematian kedua orangtua kami tepat di depannya. Nataline membunuhnya." jelas Alice. "Aku tidak mengerti kenapa Natline masih berkeliaran setelah membunuh mereka," tambahnya.

"Sial," gerutu Cathrine karena ia tidak digubris olehnya sama sekali. Ia menuju ke tepi kolam renang dan menunggu Chip berbincang dengan makhluk tak kasat mata itu.

"Bagaimana denganmu?" tanya Chip pada Alice. "Kenapa kau menjadi arwah penasaran padahal kau meninggal karena sakit saja? Bahkan tidak ada yang membunuhmu."

Beberapa saat Alice terdiam sesaat dengan tatapan yang tidak bisa diartikan."Itu tidak penting," jawabnya.

Chip memikirkan sesuatu sampai sesuatu terlintas di benaknya. "Apa... jasadmu belum dikuburkan di tempat yang layak?" terkanya. "Apa yang terjadi padamu? Pada keluargamu?"

Alice mengigit bibir bawahnya. "Sekarang yang kita pikirkan adalah Thomas dan Lizzie yang akan membunuh siapapun yang menghalanginya," timpal Alice. "Bukan aku dan Lizzie," tambahnya. Alice menunjuk Cathrine yang berdiri di tepi kolam renang dengan muka masam sambil melipat tangan dan berkata, "wanita yang menyukaimu sudah kesal. Sebaiknya kalian cepat-cepat ke tempat Thomas!"

"Wanita yang menyukaiku?" Alis Chip terangkat sebelah karena merasa aneh dengan pernyataan arwah itu.

"Aku tunggu kalian di mobil!" seru Alice sebelum ia pergi meninggalkan mereka.

Chip hanya berekspresi datar melihat kepergian Alice itu. Kemudian ia memanggil Cathrine untuk menuju ke mobilnya.

"Sudah ngobrol-ngobrolnya?" kata Cathrine ketus.

"Hey, jangan kesal begitu, Cath," balas Chip sambil tertawa pelan. "Nanti aku jelaskan padamu."

"Janji?"

"Iya, aku janji," Chip langsung menarik tangan Cathrine untuk segera berjalan keluar dari halaman belakang. "Tapi setelah kau menceritakan kenapa kau bisa bercerai dengan suamimu padahal kau sedang mengandung anaknya."

"Baiklah," kata Cathrine. "Kau juga harus janji menemuiku dengan Thomas. Oke?"

"Oke."

Ada banyak sekali teka-teki tentang Alice dan Lizzie dan rasanya Chip ingin sekali mengetahuinya dengan mengelilingi rumah tua itu. Namun, ada hal yang lebih penting daripada itu yakni, Thomas dan Lizzie yang bisa membahayakan orang di sekitarnya. Lizzie yang tidak segan-segan membunuh siapapun hanya untuk membalaskan dendamnya pada Nataline.

Alice pernah berkata kalau menemukan Thomas dengan adiknya, Kimberly adalah cara untuk menghentikan Lizzie. Namun, setelah melihat kamar Lizzie yang penuh dengan lukisan buatannya itu, Chip tidak sependapat dengan Alice. Chip yakin kalau pun Thomas sudah bertemu dengan Kimberly dan mereka saling melepas rindu, Lizzie dan Thomas tidak akan hilang semudah itu.

Jika Nataline terbunuh lah yang akan membuat Lizzie berhenti atau dengan satu cara lagi yang baru saja Chip simpulkan.

Thomas terbunuh, maka Lizzie juga terbunuh dan hilang.

•••

Seekor tikus besar melewati koridor tua yang baru saja ditemukan setelah sekian lama. Tikus itu terus berjalan dengan kaki-kaki kecilnya melalui kamar dengan pintu yang terbuka karena sekali dobrakan. Terus melangkah sampai ia tiba di ujung koridor yang gelap karena tidak terkena cahaya. Ia berhenti di depan pintu yang terlukis tulisan 'Alice' yang hampir memudar seluruhnya. Hidungnya mengendus-endus karena mencium sesuatu yang menarik perhatiannya, sampai ia tak sengaja mendorong sebuah tuas kecil tepat di sudut koridor itu.

Krieet...

Tikus itu langsung berlari tunggang-langgang saat merasa ada pergerakan di sekitarnya.

Dinding koridor yang terbuat dari kayu berukuran kisaran 1 meter itu terbuka ke depan. Tanah-tanah berhamburan ke mana-mana saat dinding itu terbuka dan sesuatu mencuat keluar diantara tanah itu.

Kerangka manusia dengan pakaian gaun putih yang compang-camping termakan usia dan bernoda.

Nächstes Kapitel