webnovel

The encounter

"Aku pulang," sapa Sohyun begitu menutup pintu rumah kayu berdesain modern-minimalis sang paman. Rumah yang telah ditinggalinya beberapa bulan terakhir.

Sohyun memutuskan tinggal di Gosan, di tempat sang paman setelah beberapa kali gagal mendapatkan perkerjaan tetap di Seoul. Juga atas bujukan sang paman, yang meminta Sohyun sedikit membantu perkejaannya mengurus peternakan.

"Pokoknya aku tidak mau pergi, Ayah! Aku sudah ada janji dengan temanku di Seoul. Suruh saja Bora Eonni!" Itu suara Kim Yoojung, putri kedua paman Kim. Teriaknya kencang padahal persis berada di depan sang ayah--tiduran di sofa sambil memainkan ponsel.

"Enak saja! Besok aku dan pacarku akan ke Jepang. Kami sudah pesan tiket liburan jauh-jauh hari." Kim Bora, putri sulung paman Kim menolak keras. Wanita berumur dua puluh tujuh tahun itu sedang mengeringkan cat kukunya sambil membaca majalah fashion.

"Kalau begitu Saeron saja." Gantian Bora yang memberi usul.

"Aku?" Gadis yang tengah berkutat dengan lembaran soal-soal itu mendongak. "Aku harus belajar untuk ujian masuk univertitas."

"Halah, belajar terus tapi tak pernah lulus ujian. Kau itu memang bodoh, Saeron-a. Jadi lebih baik menyerah dan urus hewan-hewan saja, sana!" Kata Bora.

"Setidaknya aku lebih baik, daripada kau yang hanya lulusan SMP. Katanya model, tapi kerjaannya hanya wira-wiri di studio pacarmu saja," balas Saeron tak terima.

Tak pelak membuat kedua kakak-beradik itu adu mulut dengan saling melempar camilan. Membuat ruang tamu jadi berantakan.

Selesai meletakkan heelsnya di rak sepatu, Sohyun berjalan melewati ruang tengah yang digabung dengan ruang tamu--latar tempat keributan keluarga itu terjadi. Bersikap acuh atas aktivitas yang hampir setiap hari terjadi antara sepupu-sepupunya itu. Kalau tidak berebut sesuatu, pasti ya berdebat akan suatu hal dari yang tak perlu hingga tak penting.

"Kenapa bukan wanita itu saja!"

Langkah Sohyun terhenti di pertengahan tangga. Semua orang menatap dirinya. Mau tidak mau, Sohyun berbalik--membalas tatapan mereka.

"Ah, benar! Kenapa bukan Sohyun saja yang pergi. Dia kan hanya karyawan magang dan tidak punya pacar maupun teman. Pasti tidak sibuk."

Kim Yoojung sialan! Sepupu yang seumuran dengannya itu kalau bicara memang tidak ada kontrol. Kalau tidak ada paman Kim, pasti ia sudah manjambak rambut wanita itu.

"Oke. Sudah diputuskan. Kim Sohyun, besok sabtu kau pergi ke acara amal di Gyusan." Bora berkata sepihak.

"Aku?" Tunjuk Sohyun pada dirinya sendiri. Lalu menatap pada sang paman dengan wajah memelas.

"Maafkan Paman, Hyun. Hanya kau yang bisa paman andalkan." Selalu seperti itu ucapan paman Kim ketika Sohyun melancarkan protes akan tugas-tugas yang tidak seharusnya dia lakukan.

Paman Kim duduk di sofa setelah membereskan kekacauan putri-putri mereka. Menanggapi protes Sohyun--tak mau pergi ke acara yang dimaksud. Sungguh, dia lelah dan ingin beristirahat dengan tenang di akhir pekan.

"Paman... Aku bahkan bukan pewaris paman. Sebenarnya aku tidak masalah, jika harus membantu paman sekali dua kali. Tapi, kalau begini terus, kapan putri-putri paman akan belajar meneruskan usaha paman? Kapan mereka belajar mandiri tanpa harus mengandalkan uang dari paman? Lagi pula paman semakin renta. Sejujurnya, aku tidak bisa janji akan di sisi paman terus. Aku juga harus menikah dan punya kehidupanku sendiri." Sohyun mengungkapkan isi hati yang sudah lama dipendamnya.

"Ah, lucu sekali. Mereka tak ingin paman mewariskan pertenakan itu kepadaku, tapi mereka juga tak mau mengurusnya."

Kim Bora, si putri sulung yang katanya berprofesi sebagai model itu enggan untuk meneruskan usaha sang ayah. Katanya, kenapa harus berkerja kalau calon suaminya--yang seorang pemilik agensi model juga studio--saja sudah cukup untuk membiayai hidup mereka nanti. Lalu Kim Yoojung si putri tengah, dia berdalih sibuk karena saat ini masih kuliah jurusan seni di salah satu universitas ternama di Seoul, yang sampai detik ini belum juga lulus padahal sudah lebih dari delapan semester. Sedangkan Kim Saeron, si putri bungsu, telah lulus SMA setahun yang lalu. Namun belum kuliah dan berdalih sibuk belajar untuk ujian universitas tahun ini. Padahal setahu Sohyun, gadis itu lebih sibuk nonton oppa-oppanya daripada belajar. Dia itu fangirl garis keras.

Terdengar helaan napas dari sang paman. Kulit dahinya yang memang sudah berkerut menjadi semakin berkerut. "Maaf, Hyun."

"Sampai kapan paman mau minta maaf terus?" Kesal Sohyun.

Sikap pamannya yang selalu kalah dan mengalah dari putri-putrinya itu yang membuat Sohyun frustasi.

Menurut sang paman; Bora, Yoojung, dan Saeron, mereka terlalu dimanjakan oleh istrinya. Mereka selalu diperlakukan layaknya princess hingga tak pernah melakukan pekerjaan rumah sedikitpun, minimal menyapu pun, tidak. Apalagi mencuci hingga masuk dapur. Yang ada bisa-bisa rumah ini terbakar. Dan sekarang, setelah bibi Kim meninggal, mereka terlanjur seperti itu... Tak mandiri, juga tak pernah mau mengalah satu sama lain.

"Ini terakhir kalinya, paman," ketus Sohyun. "Pokoknya saat aku menikah nanti, aku mau keluar dari rumah ini dan lepas dari putri-putrimu."

Paman Kim tersenyum lega. Matanya yang semula terlihat lelah menjadi kembali bersemangat. Dia meraih tangan Sohyun dan meremasnya pelan. "Terimakasih," katanya.

Sialan! Hanya dengan melihat ekspresi sang paman yang seperti itu, Sohyun ingin menangis. Bagaimana tidak? Paman Kim itu ayah yang baik dan juga lembut hatinya. Meski anak-anaknya selalu membantah dan menolak perintahnya, bahkan dimarah-marahi mereka, Paman Kim tetap menyayangi mereka. Bahkan tak pernah menaikkan suaranya se-oktaf pun. Membuat dirinya yang seorang yatim piatu menjadi sangat iri.

Such a toxic family! Hubungan ayah-anak yang menurut Sohyun tak sehat. Sohyun sendiri bukan orang yang percaya akan ungkapan, "Orang tua adalah seseorang yang tanpa syarat mencintai anak-anaknya." Karena yang namanya cinta itu give and take. Terlalu banyak memberi tanpa menerima, hubungan yang seperti itu lama-lama akan menjadi racun.

Ah, seandainya paman Kim itu adalah ayahnya, maka dia berjanji tak akan memperlakuannya seburuk yang sepupu-sepupunya lakukan. Tapi sayangnya bukan. Bahkan Paman Kim bahkan bukan paman kandungnya, melainkan hanya kerabat jauh.

Sabtu malam, aula hotel paradise yang berada di Gyusan, ibukota provinsi Gosan.

Setelah menempuh perjalanan dua jam dengan kereta bawah tanah, akhirnya Sohyun berada di salah satu hotel bintang lima yang terkenal dengan pemandangan lautnya itu. Ya, Paradise hotel terletak di pesisir pantai timur yang populer dengam festival sunrisenya.

Acara amal malam ini adalah acara amal tahunan yang digelar oleh KTH Group yang bergerak dalam bidang pangan dengan pasaran yang telah melebar hingga asia tenggara. Bisa dibilang, perusahaan ini sedang naik daun. Dan peternakan sang paman sudah lama bermitra dengan perusahaan ini, menjadi salah satu penyetok bahan dasar. Jadi, selain diundang sebagai mitra bisnis, Sohyun juga mendapat kesempatan untuk mempromosikan usaha sang paman.

Hampir tiga puluh menit dan jemari Sohyun belum berhenti menari di atas tuts piano. Mengeluarkan senyum terbaiknya meski tangannya sudah pegal. Bahkan jari-jarinya hampir kebas.

Oh, Tuhan! Kapan ini segera berakhir?

Sebenarnya salah dirinya juga sih, yang sok heroik ketika ternyata pianis yang mereka sewa untuk acara ini mengalami kecelakaan sehingga membatalkan kehadirannya. Sohyun tak tega ketika melihat seorang wanita muda-- yang sepertinya bertanggungjawab atas bintang tamu yang dihadirkan-- dimarahi habis-habisan. Bahkan menjadi tontonan beberapa tamu. Maka akhirnya Sohyun menawarkan diri untuk menggantikan si pianis tadi.

Awalnya mereka meragukan kemampuan Sohyun yang dari wajahnya tak ada aura-aura pianis sama sekali. Terlebih jari-jarinya kecil dan ramping. Namun, hanya dengan nada pertama, semua orang yang menyaksikan permainannya terpukau. Mereka menikmati permain cantik juga parasnya. Terutama para tamu pria. Banyak dari mereka yang diam-diam melirik padanya meski ada wanita lain di samping mereka. Bahkan ada yang terang-terangan menatap dirinya. Salah satunya, pria yang kini berada di bangku VIP. Pria berkulit pucat dengan rambut ungu yang sejak tadi juga menyedot perhatian Sohyun.

Sepasang mata mereka tak sengaja bertemu. Menyelam beberapa saat sebelum akhirnya diakhiri sepihak oleh Sohyun ketika seorang wanita muncul. Duduk di sebelah pria itu dan bergelayut manja di lengannya.

Dasar, si wanita rubah! Padahal aku belum puas memandangi wajah tampannyam

Kim Sohyun menatap pantulan dirinya di cermin setelah merapikan riasan juga sedikit melakukan touch up. Tidak buruk, ucapnya dalam hati. Rambut pendek yang sengaja ia warnai agak kecolatan. Gaun dengan bahu terbuka berwarna ivory sepanjang lutut. Lalu make up natural dengan warna bibir peach.

"Oh! Kau pianis yang tadi," ucap seorang wanita yang baru saja keluar dari bilik toilet. Sohyun yang melihat pantulan wanita itu dari cermin, lalu berbalik untuk memberi salam.

"Sepertinya aku tidak asing denganmu," lanjut wanita yang kini tengah mencuci tangannya di wastafel.

"Ah, ne. Saya bekerja di BH Delivery," jawab Sohyun sesopan mungkin walau dalam hati ingin segera pergi dari tempat itu.

"Ahh... Pantas saja. Di departemen mana?"

"Accounting department. Lebih tepatnya bagian operasional bisnis. Saya karyawan magang," lanjut Sohyun tak ingin membuat kesalahpahaman. Bagaimanapun, wanita ini adalah salah satu direktur di tempatnya bekerja.

"Lalu kenapa kau bisa ada di sini? Kau seorang pianis bayaran?" Dia bertanya dengan disertai nada sindiran.

"Ah, tidak. Saya hanya membantu tadi. Saya datang sebagai tamu, mewakili paman saya."

Mulut wanita itu hanya membentuk huruf O. "Ya sudah. Kerja bagus hari ini! Sepertinya kapan-kapan aku harus mengundangmu di pesta ulang tahunku. Permainanmu bagus."

Sohyun hanya bisa tersenyum atas komentar wanita tadi. Berpikir, apa itu tadi sebuah pujian dan undangan atau perintah dari atasan untuk bawahan?

Keluar dari toilet, Sohyun tak sengaja bertemu dengan sang presdir tempatnya bekerja, CEO Min. Lagi-lagi keduanya bertatapan. Membuat bulu kuduk Sohyun meremang tanpa alasan.

"Sialan! Kenapa tiba-tiba aku merasa bergairah begini hanya dengan memandangnya."

Nächstes Kapitel