Tak banyak pilihan, Kartika segera bersiap menjalankan tugasnya sebagai permaisuri. Ia beserta rombongan menghadiri undangan Raja Tawan Siane. Dalam perjalanan seluruh niat buruknya muncul. Ia bahkan meminta penasihat kerjaan merencanakan sebuah pembunuhan. Sayangnya, nyali penasihat itu tak sebesar nyalai seorang Kartika.
Di belakang rombongan Kartika ada pasukan Raja Edward dengan pasukannya. Ia berikir, bagaimana acara mendapatkan hati pujaan hatinya kali ini.
"Mawar? Cokelat? Puisi?" usul George yang merupakan seorang teman sekaligus missionaris. "Berlut dan katakan, maukah kau menikah denganku?"
"Kau ini, jika cokelat dan bunga bisa membuatnya luluh aku tak perlu jauh-jauh ke sini bukan?"
"Bagaiman jika kita mengancamnya? Kita bisa menawan semua teman-temannya. Ku dengar Ming dan Aninda adalah orang kepercayaan Yang Mulia Ratu" usul Joel.
"Cinta tak bisa dipaksa Joel tolong mengertilah"
Perjalanan dua hari berlalu begitu cepat bagi Edward dan rombongannya. Bagi Kartika, dua hari berjalan serasa menuju mati. Di dekat gerbang istana Tawang, rombongan para Raja yang berkuasa di daerah Tawang mulai masuk satu persatu. Mereka memeriksa semua orang dengan teliti.
"Raja Edward?" tanya penjaga.
"Ampuni kamu Yang Mulia, namun Baginda Ratu tak ingin ada seorang pun dari luar masuk ke istana kami. Kami tidak bisa mengizinkan anda masuk" kata prajurit yang berlutut tepat di depan Edward dan kudanya Sirion.
"Hei, aku adalah Raja Edward tunangannya. Apa aku masih tak bisa masuk. Begini saja. Joel, berikan pedang itu padanya."
Joel mangambil sebilah pedang yang berada di dalam kotak.
"Berikan pada Ratumu dan lihat bagaimana ia akan memintaku masuk. Satu lagi, hati-hati ini adalah pedang giok yang tidak bisa untuk membunuh tapi bernilai sangat mahal. Bahkan mungkin cukup untuk membeli sebuah istana di Artha Pura Kencana"
Prajurit itu segera mengambil pedang itu. Dengan sangat hati-hati ia menunjukannya pada Ratu yang ada di dlam istanya.
"Tidak mungkin" kata Siane. "Siapa yang, membawa pedang ini?"
"Ampun Yang Mulia, mereka mengaku tunangan anda. Mereka adalah…"
"Pangeran Edward?" tanya Siane.
Prajurit itu segera menyangkalnya.
"Bukan-bukan. Mereka adalah Raja Edward"
Siane segera meminta prajurit itu kembali dan menyiapakan tempat untuk Edward dan rombongannya. Ming yang melihat pedang itu hampir saja tersedak.
"Yang Mulia, bukankah ini?"
"Benar ini adalah pedang giok yang kuhadiahkan pada Edward saat ayah mengenalkannya padaku dulu. Aku memberinya ini, karena ia tidak bisa membunuh orang. Jadi pedang giok ini aku berikan sebagai hadiah. Bagaiman ia bisa sampai kemari?"
Anina yang melihat pedang itu sangat takjub.
"Ini sangat indah. Apakah pedang ini tajam?"
Siane menggeleng. "Ini adalah hiasan"
Di luar perajurit segera mebawa Edward masuk dan menyiapkan ruangan baginya.
"Apa? Ia tidak mengatakan apapapun?" tanya Edward pada prajurit itu. Ia menggeleng. Edward terlihat sedikit kecewa.
"Sudahlah, aku akan menemuinya setelah ini"
Dalam pertemuan yang berlangsung beberpa jam kemudian. Siane menegaskan idenya. Banyak yang setuju namun tak sedikit yang menolaknya sebagai Raja. Ini karena ia adalah seorang perempuan dan orang asing.
"Baiklah, jika begitu aku memberikan dua pilihan pada kalian" kata Siane. "Pertama, tetap berada dalam kekuasan Tawang dan menjadi Raja atau memisahkan diri tanpa jaminan keselamatan. Yang artinya, aku bisa saja menyerang kerjaan kalian dan melenyapkan kekuasaan apapun yang melekat pada kalian beserta para keluarga kerajaan"
Semua hening. Mereka tidak boleh mengambil keputusan. Salah bicara satu kata saja, nyawa mereka akan habis malam itu juga.
"Yang Mulia mengapa tidak memilih salah satu dari kami untuk mendampingi Yang Mulia Menjadi Raja Tawang. Tidak baik yang Mulia Permaisuri mengurus urusan kerjaan ini sendiri. Bukankah begitu para Raja sekalian?" usul seorang Raja yang terlihat sangat tua.
"Benar aku setuju" kata yang lain.
"Itu tidak salah" sahut raja lain yang lebih muda.
Siane yang mendengar hal ini segera tahu.
"Kalian berniat menjebakku dan mencuri tahta ini dariku? Sudah bosan hidup rupanya kalian"
Seketika itu juga para raja yang hadir segera diam dan berlutut memohon ampun. Kartika yang mewakili Artha Pura Kencana tidak tahan dan berdiri.
"Siane, ku kira kau adalah orang yang baik. Tak disangka, bahkan kau menawan Rendra orang yang menyelamatkamu dari Raja Tawang. Kau sudah tidak waras. Kau tidak pantas memimpin kami!"
"Apa yang kau tahu tentang pantas dan tidak pantas, permaisuri Kartika? Bukankah, aku tidak pernah meminta Raja tercintamu mengkudeta penobatanku? Dialah yang mencari gara-gara. Aku hanya menjalankan tugasku sebagai seorang permaisuri di sini. Jika kau keberatan, kau bisa menemani Rendara di bawah tanah"
"Kau! Jika Rendra tidak membunuh Raja Tawang, aku yakin kau tidak akan bisa mendapatkan semua ini!"
Air mata Kartika tak terbendung. Ia terlihat begitu rapuh dan tidak berdaya. Ditengah diskusi yang panas ini, pembawa pesan memebritahukan bahwa Raja Edward ingin bergabung.
~Orang itu, dia sengaja datang disaat seperti ini. Tidak bisakah ia menunggu aku menyelesaikan semuanya?~
"Katakan padanya, aku tidak ingin menemuinya saat ini. Jika ingin menunggu di luar silakan saja"
Pembawa pesan segera berjalan mundur dan meningalkan tempat.
"Edward? tunggu apakah dia raja yang akhir-akhir ini terkenal karena telah membantai habis keluarganya demi naik tahta?" bisik sorang raja kepada raja di sampingnya.
"Sepertinya begitu? Tapi jika benar begitu. Mengapa Yang Mulia Ratu kita berani mengusirnya?"
Siane yang mendengar para raja bergosip segera menyuruh mereka berhenti.
"Jadi apa keputusan kalian. Masih ingin bersama Tawang atau kalain memisahkan diri? Aku masih menunggu jawaban kalian."
~Memisahakan diri dari Tawang artinya cari mati. Aku tak ingin kerjaan kecilku dihancurkan begitu saja. batin seorang raja~
"Kerajaan Bokor akan tetap mengapdi pada Kerjaan Tawang Yang Mulia Ratu"
"Bagus, lainya?"
"Gandhi Baratha akan tetap mengabdi"
Satu persatu Raja menyerah dan tetap mendukung Raja Tawang yang baru bahkan Kartika pun tidak punya pilihan selain mengikuti Siane meski ia sangat membencinya. Selesai kesepakatan dibuat, masing masing dari raja membeberkan hadiah pusaka kepada Raja Tawang yang baru sebagi simbol penghormatan. Dan raja Tawang juga memberikan stempel kekuasan pada mereka. Setelah itu, mereka pergi meninggalkan ruangan satu persatu kecuali Kartika.
"Kumohon, biarkan aku bertemu dengan Raja kita" kata Kartika sambil berlutut. "Tolong bebaskan dia. Ia tidak bersalah atas pembantaian di istana Tawang. Rendra hanya ingin menyelamatkanmu" isaknya.
"Apa aku tidak salah lihat? Seorang permaisuri memohon agar Raja mereka dibebaskan? Raja macam apa yang butuh bantuan seperti ini?"
Semua menoleh.