webnovel

Mari Kita Bicara

"Apa aku begitu menyedihkan?" tanya Kartika pada Raja Edward yang mendekat pada Permaisuri Tawang.

"Sebenarnya memang itulah yang terlihat saat ini. Jika Rajamu tercinta tahu, mungkin ia akan membunuhmu. Mengapa? Karena kau berlulut demi nyawanya. Apa kau lupa? Ia bahka tidak melawan saat tunanganku tercinta ini menawannya? Artinya, ia sendiriah yang memutuskan untuk menjalani semua ini. Calon Ratuku memang sangat menggoda"

"Edward tutup mulutmu dan pergilah. Aku sedang tidak ingin bicara denganmu sekarang" jawab Siane ketus.

"Apa begitu cara menyambut orang yang datang menempuh hari-hari panjang demi bisa menemuimu? Ayolah, kita harus bicara. Aku sudah menemui sejauh ini jangan kecewakan aku. Ingat aku bukan dua raja bodoh yang mati karena cinta. Aku kesini dengan sebuah kesepakatan"

Siane mengamati Edward. Ia tampak sangat berbeda dari terakhir kali ia bertemu dengannya. Ia terlihat begitu berani tak kenal takut dan aura membunuhnya sangat kuat.

"Apa yang telah terjadi padamu?' tanya Siane.

Edward tertawa.

"Jika kau iangin tahu ayo bicara dan biarkan kelinci ini menemui kekasihnya. Bagimana?"

Siane menganguk setuju.

"Aninda bawa permaisuri Artha Kencana menemui Raja mereka."

Aninda segera menuruti perintah itu dan membawa Kartika pergi.

Di penjara bawah tanah. Kartika menemui Rendra. Ia tampak sangat menyedihkan. Sangat lusuh dan tidak berdaya. Kartika yang menemuinya segera berlutut dan menagis sejadi jadinya. Melihat hal itu, Rendra bahkan tidak bergeming sedikitpun. Hanya menatap wanita di depannya dengan kosong dan hening.

"Yang Mulia, ku mohon bicaralah! Jangan hanya diam. Nasib rakyat ada di tangan kita. Anda harus bangkit dan melakukan sesuatu. Penjara ini, tidak pantas untuk anda!" isak Kartika.

"Kau tak mengerti. Aku sudah kehilangan cintanya. Ia membenciku. Tidak ada lagi yang bisa aku lakukan. Pergilah. Biarlan aku menghabiskan waktuku sendiri."

Kartika membujuk dengan memohon sampai wajahnya ke tanah.

"Ada hamba Yang Mulia. Hamba akan selalu berada di sisi anda dan mencintai anda, jangan berikan cinta anda pada orang yang bahkan tidak mencintai anda sama sekali. Ku mohon, aku tidak bisa seperti ini."

Sekali lagi Rendra menyuruh wanita itu pergi. Apapun yang ia katakan, Rendra sudah tidak ingin mendengarnya sama sekali.

"Pergilah"

Kartika berdiri. Ia perlahan menghapus setiap air mata yang mengalir di pipinya.

"Hamba tidak akan menyerah" kata-kata Kartika bergema di seluruh penjara bahawa tanah itu. Itu membuat semua tahanan yang mendengar memberinya semangat.

"Hidup yang Mulia Ratu Artha Pura Kencana!" katanya bersahut sahutan.

Maka dengan kekuatan yang tersisa dihatinya, Kartika berjalan pergi selayaknya seorang prajurit. Kini, ia sudah memutuskan. Hidupnya akan ia dedikasikan untuk membunuh Siane Yang dan merebut Tawang.

~Kau bodoh, kau telah membiarkan aku berkuasa. Maka hanya tinggal menunggu waktu kematianmu~

Di penjara paling ujung dekat pintu keluar Arya berlutut di dalam selnya memeberi penghormatan.

"Baginda Permaisuri Kartika. Apapun yang baginda inginkan. Hamba akan mendukung anda sepenuhnya.

Kata-kata Arya membuat Kartika menoleh. Ia melihat pria itu, sangat berbda dengan Redra yang telah mati jiwanya. Ia bersemangat dan seperti se-ekor singa yang tertawan, pria itu tampak siap membunuh siapapun.

"Maka aku akan mengingatnya Arya"

Sementara itu, Siane membawa Edward pergi ke taman belakang. Ia meminta semua orang pergi. Hanya ada dua orang itu saja. Ming berjaga di pintu yang mengarah ke tempat itu. Siane memintanya mencegah siapa saja yang hendak masuk ke situ.

"Apa kau tahu?" tanya Edward mengawali semua ini."Aku telah bertemu ayahmu dan menahan seisi kerajaan. Aku tidak akan membiarkannya menindasmu lagi"

Siane tertawa melihat butanya Edward dan keanehan yang sudah ia lakukan.

"Apa yang membuat seorang pangeran yang bahkan memegang pedang saja takut menjadi seberani ini? Aku dengar pangeran yang ada di depanku ini juga telah membunuh semua saudaranya yang ada dalam lingkarang penerus kerajaan demi tahtanya. Apa yang telah merasuki anda Yang Mulia Raja Edward?"

Edward menangkat ke dua tangan dan bahunya.

"Entahlah, aku hanya bosan"

Siane mengambil cangkir teh di depannya dan mencium aroma teh itu.

"Bosan? Saat ayah mengenalkanmu padaku, bahkan kau sangat ketakutan melihatku. Kau lari dan berkata tak ingin menikah denganku. Kau bilang aku sangat menakutkan seperti seorang monster. Kau bahkan menganggapku seorang psikopat karena memberimu sebuah hadiah pedang. Kaalau aku tidak salah kau menghadiahkan sebuah hiasan kepala dari emas waktu itu"

"Benar, hiasan kepala dari emas yang terlihat sangat tidak cocok untuk wanita sepertimu. Apa kau masih menyimpannya?"

"Tidak!" jawab Siane tegas. "Kau pasti sudah tau ceritaku sampai di sini. Jadi, apa gunanya menanyakan hal itu"

Edward tertawa.

"Jadi katakan Raja Edward. Apa yang mengubah anda menjadi seperti sekarang ini?"

Edward mengambil cangkir teh dan membuang semua isinya ke kolam koi yang ada di dekatnya. Setelah cangkir itu kosong, ia meletakkan kembali.

"Aku terjerat dengan bujukan iblis"

Siane yang mendengar kata-kata itu terkejut, hanya saja ia menyembunyikan rasa terkejutnya itu dengan baik.

"Ceritakan" pinta Siane dengan suara sedatar mungkin.

Edward berdiri mendekati kolam Koi. Ia melihat semua ikan-ikan yang berenang. Siane memakai tangannya untuk menopang dagunya. Ia siap mendengarkan.

"Malam itu, kakak-kakakku meminta ayah menyerahkan tahtanya dan membagi kerajaan. Ayahku tentu saja menolaknya. Ia menganggap ini adalah sebuah penghinaan, terlebih ayah masih muda. Maka mereka berdebat sengit. Aku yang saat itu tidak ikut dalam perdebatan hanya menguping dari ruangan sebelah. Ayah bilang, ke-tiga kakakku tidak pantas memerintah karena kejatahannya. Ayah telah slah mengira mereka lebih baik dari padaku.

Ia bahkan bilang, aku lah yang akan mewarisi tahta kerajaan. Karena hal itulah, ketiga kakakku bersumpah akan membunuhku. Aku yang ketakutan segera kembali ke kamar. Di kamar aku menemukanPricillia, istri dari kakak pertamaku tidur di atas ranjangku. Melihat hal itu, aku segera tahu ia bersekongkol untuk menjebakku.

Benar saja, belum sempat aku menyuruh wanita itu pergi. Kakak membawa banyak pasukan dan memfitnahku, bahkan Pricilla berakting sangat bagus. Mereka menahan dan menyeretku ke dalam penjara bawah tanah. Ayah berusaha membebaskanku, tapi ia tidak berdaya dengan bukti yang ada.

Setiap pagi selama lima hari kakak-kakakku datang dan menyuruh prajurit mencambukku. Menyiksaku dan memintaku mengakui perbuatanku. Tentu saja aku tidak mengakuinya. Itu berlangsung sampi hari ke tujuh. Hari ke tujuh, aku benar-benar sekarat dan meinta agar Tuhan mengambil nyawaku.

Siapa sangka, di saat aku sekarang seseorang mendatagiku. Ia adalah Lauresia, pelayan yang bekerja pada ayahku. Ia menawarkan sedikit bantuan dan sebuah rencana."

Nächstes Kapitel