webnovel

BAB 24

Hinata sangat sensitif dengan suara. Pendengarannya jauh lebih tajam ketika penglihatannya terenggut. Engsel pintu yang berderit kecil saja mampu didengarnya, membuat kedua matanya kembali terbuka. Seseorang menutupnya kembali, sudah bisa ia duga, bahwa itu Naruto.

"Apakah pesta penyambutannya—" belum selesai, Hinata dikagetkan sikap Naruto yang duduk di pinggir kasurnya, lalu setengah tubuh laki-laki itu ambruk di atas tubuhnya. Dan gadis itu mampu mencium aroma menusuk yang dapat dikenali olehnya, bahwa itu adalah, "Bau alkohol. Kau mabuk?"

"Sebenarnya aku tidak mau mabuk, tapi kau tahu sendiri tradisi di Jepang, kalau kau menolak minuman yang dituangkan oleh mereka, itu tidak sopan." Tangannya menyelusup ke belakang punggung Hinata. Naruto memeluk kekasihnya rapat. Tubuhnya yang wangi oleh lavendel, membuat Naruto meringis senang. Ia teramat bahagia. "Kau tidak mungkin membagi ranjang kecilmu, 'kan?"

"Lalu, apa yang harus aku lakukan?"

Naruto mengambil duduk tiba-tiba. "Mau tidur di kamarku?" jantung Hinata hampir copot. Tawaran yang membuat Hinata merasakan sengatan kecil di dadanya. Dan akhirnya, pikirannya mengantarkannya ke mana-mana. Meski sebenarnya Hinata penganut sistem kuno, ia akan menyerahkannya di malam pertama setelah pernikahannya. Tapi apakah benar Naruto menginginkannya malam ini?

"Aku akan menggendongmu sampai di kamarku dengan aman," jari telunjuk laki-laki itu menempel di depan bibirnya sendiri. "Ssttt, jalannya pelan-pelan, nanti mereka dengar." Sayang sekali bahwa Hinata tidak bisa melihat wajah lucu Naruto yang sedang mabuk. Pipi dan ujung hidung yang memerah. Sikap seperti anak-anak—tidak salah jika Mito dan orangtua laki-laki itu menganggapnya demikian hingga laki-laki itu selalu diurus segala keperluannya.

"Jadi, kau ingin aku menggendongmu di bagian mana? Punggungku?"

"Kalau... aku menolaknya?" Hinata tergagap, beruntung bahwa kamar itu gelap, dan Naruto tidak akan bisa menemukan wajah Hinata memerah—karena gadis itu malu.

"Jadi, kau ingin aku mendekapmu di depan dada?"

"Bukan," susah payah Hinata mengambil duduk, dia tentu ingin memberitahu sesuatu. "Aku ingin tetap berada di kamarku." Pinta gadis itu.

Naruto membuang napas ke udara. "Kalau begitu, aku harus kembali ke kamarku, begitu?"

"Kalau kau ingin tidur di sini, kau bisa tidur di ranjang sebelah."

Dengan sikap manja Naruto kembali mengambil pelukan pada tubuh kecil Hinata. "Aku ingin tidur denganmu, untuk memastikan bahwa sekarang kau itu milikku." Bahkan pastinya, dia harus mengeluarkan rengek seperti anak kecil pada gadis pujaannya itu.

"Tidak butuh pembuktian khusus."

"Butuh!" tukas Naruto. "Aku butuh sesuatu, memastikan kalau kau ada di sisiku. Dan aku punya rencana."

"Rencana?"

Masih memeluk Hinata dan mengeratkan gadis itu ke dalam pelukannya, Naruto mengangguk-anggukan kepalanya. "Kudengar gadis bangsawan akan ditendang dari keluarganya, kalau dia tercemar."

"Aku tidak mengerti apa yang kaukatakan," ketika Naruto semakin mempererat pelukannya, Hinata melakukan hal yang sama di mana dia kini memeluk kepala laki-laki itu erat di depan dadanya. Dan barangkali Naruto bisa mendengar debaran hatinya. "Coba jelaskan supaya aku paham."

Naruto melepaskan diri. Ia mencermati wajah Hinata yang cantik. "Bagaimana kalau kita..." Naruto menggosok ujung hidungnya, memastikan bahwa Hinata tidak mengamuk. Tapi gadis sekalem itu apakah benar-benar bisa mengamuk? Naruto justru tertawa sendiri karena kondisi mabuk, atau memang rencana di dalam kepalanya yang membuatnya seperti laki-laki mesum. "Aku berpikir bisa membuatmu hamil, mungkin keluargamu benar-benar marah hingga mengusirmu, lalu kau hidup bersamaku."

Hinata memelotot, nyaris pingsan mendengar ide gila itu. "Aku tidak tahu tentang hal itu," di tengah tubuhnya menegang bahkan kata demi kata yang sulit keluar, ia membalasnya dengan tergagap. Namun secepat yang dirinya bisa, gadis itu mencoba mengingat pelajaran penting sebagai seorang gadis bangsawan yang dipelajarinya dari Mrs. Shiori. "Ya, sekarang... mm... aku sedikit mengingatnya." Hinata menunduk malu. "Tapi aku tidak yakin, aku berpikir kau tidak berniat melakukannya, 'kan?"

"Aku sedikit berpikir kotor untuk membuat bayi." Wajah Hinata memerah dengan cepat, kedua tangannya mencengkeram selimut yang masih menutupi kedua kakinya kuat-kuat. "Maksudnya, kita melakukan seks, tentu saja harus menghasilkan seorang bayi—memberitahu mereka kalau kau hamil anakku."

Rencana itu mungkin bisa digunakan. Tapi... Hinata menganggap bahwa dia pasti akan mati karena debaran jantungnya sendiri kalau mereka melakukannya, bukan mati di tengah amukan kakaknya ataupun kedua orangtuanya.

Ketika melihat Hinata diam dengan wajah pucat bercampur memerah, Naruto mengehela napas samar, dan berpikir mungkin Hinata tidak menyukai ide itu. "Aku akan kembali ke kamarku, itu benar-benar ide gila." Naruto mendorong tubuh Hinata untuk kembali berbaring di atas kasur, dan sebelum pergi, Naruto memastikan bahwa Hinata merasa nyaman di dalam selimutnya. "Selamat tidur. "

Nächstes Kapitel