webnovel

BAB 22 CUKUP DIRIMU

Aku terbangun. Aku merasakan kasur yang empuk dibawah tubuhku. Kamarku masih gelap. Aku mencoba melihat sekitarku dengan baik. Ada seseorang bersamaku.

"Kau sudah sadar?" suara itu bertanya

Itu suara Aryo. Aku segera bangun. Dan duduk.

"Aryo!" panggilku. Mataku mencoba menyesuaikan dengan kondisi gelap di sekitarku. "Aryo... "

Sepasang tangan menyentuhku menggenggam jemariku. Aku sangat senang.

"Kenapa kau pingsan? Apa kau begitu sakit?" tanyanya.

Aku menariknya. Aku membawanya dalam pelukanku. Aku dekatkan wajahku dengan wajahnya. Aku mencari-cari bibirnya. Bibir indah yang kurindukan.

Kami berciuman sangat dalam. Penuh kerinduan. Hampir saja kami tidak mampu menguasai reaksi tubuh kami.

Dia melepaskan bibirku dengan nafas tersengal.

"Ya Tuhan, Margaret, aku merindukanmu."

Aku tahu, batinku. Karena aku juga setengah mati merindukanmu.

"Aku..." aku mulai terisak.

"Ssshhh..." dipeluknya tubuhnya dan diusap punggungku dengan lembut. "Jangan menangis. Aku mohon jaga dirimu, aku akan mencari cara untuk membawamu pergi."

"Bagaimana kau bisa ada disini?" tanyaku

Aku selalu penasaran dengan caranya menemuiku.

"Aku mengikutimu. Aku selalu berusaha mengikutimu. Aku tidak mampu tidak melihatmu. Aku terlalu merindukanmu."

Aku tertunduk dan terisak. Kata-ka

tanya membuaiku. Rayuannya benar-benar melelehkan hatiku. Ingin sekali kusumpal mulutnya dengan lidahku dan kunikmati hingga akhirku. Aryo benar-benar bukan pria biasa. Entah dosa apa yang membuatku akhirnya bertemu dia dan menjalin kisah yang begini tragis. Aryo mungkin tidak pernah membaca kisah Romeo-Juliet, tapi sumpah kisah ini tidak lebih baik dari mereka. Ingin rasanya aku menangis. Aku menggigit bibirku menahan tangisku.

"Aryo... " panggilku dengan suara tercekat. Aku tarik telapak tangannya untuk menyentuh perutku bagian bawah. "Disini, ada anakmu." bisikku kepadanya

Aku tidak bisa melihat jelas raut mukanya. Tapi aku yakin dia sangat terkejut.

"Alhamdulillah.... "serunya tertahan.

"Apa kau senang?" tanyaku

"Tentu saja aku sangat senang. Wanita yang kucintai mengandung anakku. Apa lagi yang bisa lebih membuatku bahagia saat ini?"

Dia menunduk. Diciumnya perutku. Dia berjongkong memeluk pinggangku. Menempelkan pipinya ke perutku. Harusnya ini adalah momen bahagia untuk pasangan. Tapi aku justru diliputi kekhawatiran.

"Seperti apakah dia nanti?" tanyanya sambil terus mengelus perutku. "Ibu pasti akan sangat senang mendengar berita ini. Dia pernah berpikir bahwa aku tidak mampu mendekati wanita." Dia terkekeh "Aku yakin ibu akan senang sekali."

Aku hanya diam melihatnya begitu senang. Aku tidak ingin merusak keindahan itu dengan kekhawatiranku. Aku mungkin tidak bisa mengingat bagaimana kisah Margaret van Jurrien yang kubaca dari diarinya, tapi yang jelas kisahnya sangat tragis. Aku bahkan menangis saat membacanya.

Aku tidak ingin melakoni kisah itu. Jika ini kisahku, maka aku akan merubahnya. Aku tidak akan menjalani kisah menyedihkan dan tragis seperti Margaret van Jurrien.

Sosok yang didalam perutku harus tumbuh dalam kebahagiaan.

Aku melepaskan tangannya, aku menuju pintu dan menguncinya. Dan menaruh pemberat dibalik pintu. Aryo menatapku dengan bingung.

Aku tersenyum memandangnya.

"Apa aku masih istrimu?" tanyaku.

"Sampai kapanpun. Selamanya." jawabnya.

Suaranya hilang. Yang ada adalah kami yang saling berpandangan. Diliputi segala kerinduan. Sinar yang masuk melalui jendela membentuk siluet wajahnya. Dia begitu tampan. Aku jatuh cinta kepadanya, lagi dan lagi.

"Aku ingin bersamamu malam ini."

Aku mendekatinya dan memanggut bibirnya. Kami berciuman dengan penuh emosi. Dia menarik wajahnya dengan tiba-tiba. "Tidak, Margaret. Ini bukan waktu yang tepat. Aku mohon."

Aku tidak bisa meloloskan permohonannya. Aku mengerling nakal kepadanya. Aku membuka sedikit mulutku dengan gaya sensual. Aku menggodanya sekali lagi. Dengan wajah putus asa, tangannya menyusuri wajahku, turun hingga dadaku. Meremasnya. Aku terpekik. Aku merindukan sentuhannya. Dia tidak dapat menguasai dirinya. Aryo menarikku keatas ranjang. Dengan kecepatan yang tidak pernah dapat kusadari, kita sudah berpelukan tanpa pakaian. Aryo menekanku dengan lembut. Menciptakan sensasi nikmat yang luar biasa. Aku berkali-kali menggerang menikmati setiap rasa. Dia adalah lelakiku, milikku. Aroma cinta memenuhi kamar itu membuat kami larut didalamnya. Dalam kegelapan malam kami berpelukan dibalik selimut tebal. Dia tidak bersegera menggunakan kembali pakaiannya.

"Lalu bagaimana aku mandi?" tanyanya dengan nada merajuk.

Seakan apa yang terjadi adalah kesalahanku.

"Kenapa? Kenapa harus mandi sekarang?" tanyaku. "Kau bisa mandi nanti saat sampai rumahmu." ujarku enteng.

Dia menggerang kesal

"Kapan kau mau belajar."

"Belajar apa?" tanyaku.

"Belajar keyakinan dan budayaku." jawabnya sambil mengusap rambutku. "Aku tidak bisa berlama-lama dalam keadaan berhadas besar seperti ini. Aku harus segera mencari air dan mandi."

"Apakah harus seperti itu?" tanyaku tidak paham.

"Ya, tentu saja. Harus seperti itu. Bagaimana jika sewaktu-waktu Tuhan memanggil kita. Kita jangan sampai dalam keadaan tidak suci."

Aku tidak paham.

"Kita sudah menikah. Apanya yang membuat perilaku kita kotor? Kita sudah lakukan sesuai caramu kan? Dalam ikatan pernikahan yang suci."

Tak pernah terpikir seumur hidupku untuk membahas masalah hal suci dan hal-hal setelah mati. Aku tidak terlalu memusingkan hal itu. Cukup bagiku untuk berbuat baik dengan orang lain dan menjaga apa yang kita yakini baik agar kita bahagia. Itu saja. Sederhana sekali pemikiranku.

Aryo sangat rumit. Aturan yang melingkupinya sangat rumit.

Dia mengecup keningku dengan lembut, "Kau akan mengerti. Kita akan mendidik anak kita dengan baik."

Bagaimana jika kita tidak pernah bisa bersatu? batinku. Kisah cinta Margaret van Jurrien yang begitu tragis apakah mungkin dapat kurubah. Terlalu sakit untuk diucapkan.

Aku mengelus wajah tampannya. Semoga nantinya anakku akan seperti dia. Wajah yang setiap kali dilihat akan membuat kita jatuh cinta. Wajah yang tegas sekaligus penuh keteduhan. Tak mudah untuk dijangkau tapi juga hangat dan penuh cinta.

Andaikan ini adalah eraku, aku dan Aryo akan hidup bahagia bersama. Tidak seorangpun akan menghalangi kita. Semua lebih mudah dikompromikan di eraku.

"Sayang... " panggilku manja, "Andaikan kau berada di masaku, semuanya lebih mudah. Di masaku, kita dapat menentukan apa yang kita inginkan. Orang tua dimasaku cenderung tidak mencampuri urusan anak-anak mereka terlalu jauh." jelasku

"Sebebas itukah?"

Aku mengangguk. "Ya."

Kurebahkan kepalaku di lengannya.

"Dimasaku, di negaraku, aku bahkan sudah bertahun-tahun tinggal sendiri di apartemenku." aku berhenti sejenak. "Ah... kau tidak tahu apartemen, kan? Itu semacam rumah bersusun." aku menggunakan tanganku untuk membantu menjelaskan. "Kita tinggal di satu bangunan besar, bersama banyak orang yang lain."

"Apakah semua keluargamu?" tanyanya

"Tidak. Kita seringkali tidak mengenal satu sama lainnya."

"Bagaimana mungkin kau hidup seperti itu? Siapa yang melindungimu?"

Aku tersenyum geli melihatnya.

"Sekarang kaulah yang melindungiku. Aku hanya ingin tanganmu yang merengkuhku, membimbingku dalam cinta ini. Cukup dirimu, Aryo."

Matanya menatapku. Sesaat kemudian memelukku dengan erat.

"Semoga Allah memberikan jalan bagi kita untuk bisa bersatu dan berbahagia." ucapnya lirih. Nada suaranya penuh kegetiran, sehingga mendengarnya saja akan turut merasakan dukanya.

"Margaret!"

Gedoran di pintu seketika membuyarkan momen indah yang kita nikmati.

Nächstes Kapitel