"Buka pintunya!! Aku tahu kau didalam!"
Itu suara Daniel. Kelihatannya dia mabuk.
"Margaret! Aku akan dobrak pintu ini!"
Gedoran di pintu semakin kencang.
Aku beringsut dari lengan Aryo.
"Pakai pakaianmu." perintah Aryo. "Aku tidak ingin dia memandangi tubuhmu."
Aryo membantuku berpakaian. Dan dia sendiri dengan cepat menggenakan pakaiannya.
"Kau harus segera pergi." kataku
"Apa aku harus meninggalkan istriku bersama pria lain?"
"Aku bisa menjaga diriku." kataku meyakinkannya.
Aku mendorongnya kearah balkon.
"Aku tidak masuk dari sana." katanya memprotes.
Aku terus mendorongnya dan memintanya untuk segera pergi.
"Pergilah. Aku mohon. Daniel itu sudah gila."
"Lalu katakan padaku, bagaimana aku meninggalkan istriku bersama orang gila?" bantahnya
"Aryo, aku mohon... Aku akan mencari cara untuk pergi."
Gedoran di pintu semakin tidak sabar.
"Kamu hamil, Margaret. Kamu harus berhati-hati. Jangan sampai dia menyakitimu." katanya memperingatkan.
"Aku tahu. Kamu tidak perlu khawatir Daniel tidak akan menyakitiku."
Aku pun mencoba meyakinkan diriku bahwa Daniel tidak akan menyakitiku. Walaupun aku masih ingat bagaimana dia menamparku. Ingat bagaimana dia memaksaku saat aku menolaknya. Aku begidik ngeri membayangkannya.
"Margaret!" seru Aryo yang kukunci diluar balkon. "Aku tidak bisa membiarkanmu!"
Aku tahu, tapi aku tidak bisa membiarkan Aryo dalam bahaya. Terlalu banyak prajurit kumpeni disini. Aryo akan mati konyol jika terus bertentangan dengan Daniel. Dia berkuasa. Dia tahu bagaimana memanfaatkan pengaruhnya. Bahkan Papa dibuatnya tidak berkutik.
Aku memejamkan mataku. Ada dua pintu yang memaksa untuk kubuka. Akhirnya Aryo diam. Gedoran dari dalam semakin keras.
Aku membukanya.
Segera saja Daniel menubrukku. Menaruh tangannya dileherku.
"Kau mau mati, ya?!" bentaknya
Aku terhuyung kebelakang karena terus didorong oleh Daniel. Dia menarikku keatas ranjang. Aku berusaha menolaknya. Tenaganya terlalu kuat. Ada bau alkohol yang menyengat dari mulutnya.
"Kau mabuk!" ucapku tajam. "Menyingkirlah!"
"Kau harus melayaniku malam ini!" geramnya. "Aku selalu bersabar menghadapimu! Kali ini kau tidak bisa menolakku!"
Aku menelan ludah panik.
Apa yang harus kulakukan?
Seketika aku mual dan merasa pusing.
'Ini bukan waktu yang tepat untuk sakit kepala.' umpatku ke diriku sendiri.
Aku harus dapat memikirkan cara untuk lolos darinya.
"Aku tidak bisa!" tukasku
"Aku tidak peduli! Bahkan jika kau mengatakan sedang menstruasi, aku tetap tidak peduli!"
Tangannya dengan kasar menyusup kedalam pakaianku.
Aku berusaha menolaknya dan menghalau aktivitas tangannya didalam pakaianku. Ditariknya pakaian dalamku.
'Krak!'
Daniel merobek celanaku.
Kukatupkan pahaku rapat-rapat. Aku menangis tanpa suara. Jemarinya berusaha menyusup dengan paksa. Kedua tanganku ditekan dengan sebelah tangannya. Sebelah kakikupun ditindih dengan kakinya.
Sakit sekali rasanya.
Aku tidak dapat berteriak. Aryo akan mendengarku. Dia akan menerobos masuk jika aku berteriak.
Apa yang harus kulakukan?
Jari itu terus bergerak menuju pangkal pahaku mencoba membukanya. Dan menyusupkannya lebih dalam
"Apa ini!" serunya marah
Dia mengusap sisa aktivitasku dengan Aryo. Ya, mani itu belum benar-benar kubersihkan.
Dia mengetahuinya. Aku ketakutan.
Apa yang akan dilakukannya?
Dia menyusupkan jemarinya lagi dengan lebih keras. Aku mengaduh kesakitan.
Jemarinya basah.
"Lihat ini!"
Ditamparkan jemarinya yang basah kemukaku.
"Siapa yang melakukannya!?" tanyanya marah
Aku tidak menjawabnya.
"Kau jalang, sialan!" umpatnya seraya menarik rambutku
Aku benar-benar kesakitan. Aku menggigit bibirku untuk menahan agar tidak mengaduh kesakitan.
"Ini hari pernikahanku! Dan kau melakukannya dengan orang lain!"
Ditariknya rambutku dengan keras. Dan dihempaskan tubuhku ke lantai. Aku berusaha melindungi tubuhku. Aku ingat ada kehidupan didalam tubuhku yang harus kulindungi. Lenganku membentur lantai. Kakiku terkilir
Sakit sekali.
Daniel masih belum berhenti. Ditamparnya wajahku berkali-kali.
Aku masih menahan agar tidak mengeluarkan suara.
"Kenapa?!" serunya "Kau diam! Apa dia ada disini?"
Daniel mulai berkeliling di seluruh penjuru kamar dengan penuh kemarahan. Aku melihat kesempatan untuk lari. Dengan sisa tenaga, aku mencoba menggapai pintu dan berlari.
Aku harus mencari Papa. Dia akan melindungiku.
Saat aku akan membuka pintu, aku merasakan rambutku ditarik dengan kuat.
Aku berteriak secara reflek.
"Buka mulutmu lebar-lebar, biar dia mendengarnya. Siapa?" tanyanya "Siapa, hah!? " geramnya. "Inlanders brengsek itukah?"
Aku hampir saja terjerembab. Daniel sangat menakutkan.
Aku mendengar suara Papa dari balik pintu.
Aku segera berteriak memanggilnya. Dia akan menolongku. Ya, dia akan menolongku.
Papa membuka pintu yang sudah tidak terkunci.
Papa terperangah menatap pemandangan yang kusuguhkan.
"Margaret!" serunya.
Aku bersimpuh di kaki Daniel. Rambutku masih dalam renggutan tangannya. Bajuku koyak. Dan yang pasti banyak memar disekujur tubuhku. Aku merasakan bibirku terluka karena tamparannya.
"Ya Tuhan! Apa yang terjadi? Kenapa seperti ini?"
Papa menahan amarahnya.
Aku pernah mendengar tentang hutang budi Papa kepada Daniel.
Daniel adalah keponakan dari salah satu Heereen Seventien di Amsterdam. Jadi tentu saja di Hindia Timur dia memiliki kekuasaan yang cukup besar. Papa hanyalah salah satu dari sekian pejabat VOC yang terjerat masalah korupsi. Dengan bantuan Daniel, Papa dapat lolos dari inspeksi. Karenanya Papa merasa berhutang budi kepadanya.
Papa tampak sedih melihatku.
"Tuan de Bollan, tolong jangan perlakukan putriku seperti ini." ratapnya memohon.
"Lalu harus bagaimana saya harus memperlakukan jalang seperti dia?!" tanyanya marah.
Papa menatapku bingung sekaligus sedih.
"Apa yang terjadi?" tanya Papa lirih.
"Tanya saja pada putrimu!" serunya "Wanita jalang seperti dia.. " ucapnya sambil melepaskan rambutku dan menyentakkan tubuhku, "...benar-benar tidak bermoral!"
Sekarang dia bicara soal moral? Aku adalah wanita yang sudah menikah, tapi diambil secara paksa dari suamiku. Dan pria brengsek ini merasa aku adalah istrinya.
Daniel berjalan menuju pintu dengan penuh amarah dan meninggalkanku yang masih terduduk lemas di lantai. Tidak ada lagi air mata. Terlalu perih. Hatiku juga tubuhku. Sekujur tubuhku terasa sakit.
"Papa, bisakah kita pulang?" tanyaku lemah.
"Aku... aku... akan panggilkan dokter. Kau terluka." kata Papa gugup.
"Kita bisa mengibatinya di rumah." kataku lagi.
Aku tidak ingin tinggal lebih lama di mansion Daniel.
Aku teringat Aryo. Bagaimana nasibnya? Apa dia sudah keluar? Semoga dia sudah berhasil keluar.
Papa membantuku berdiri. Seorang pelayan memasangkan jaket panjang kepundakku. Kutarik erat-erat jaket itu menyelubungi tubuhku. Aku berjalan pelahan untuk keluar dari kamar itu. Keluar dari mansion itu.
Beberapa orang pelayan yang mengikuti kami saling berbisik.
"Iya. Pangeran itu ditangkap saat berada di balkon." bisik mereka. "Butuh empat orang prajurit untuk melumpuhkannya."
"Apa yang dilakukannya dikamar Tuan Meneer?"
"Apa benar dia seorang pangeran?"
Seketika jantungku berdegub. Ada rasa ngilu menyusuri dadaku.
Aryo ku. Suamiku. Apa yang terjadi dengannya? Bagaimana nasibnya?
Aku berbalik melihat para pelayan itu.
"Dimana dia sekarang?"
Pelayan itu berkedip-kedip terkejut dengan pertanyaanku.
"Dimana dia sekarang?" desakku. Aku mulai panik.
"Siapa yang noni maksud?" tanya salah seorang pelayan.
"Pangeran yang ditangkap. Dia dibawa kemana?" tanyaku semakin tidak sabar.
"Dia dibawa ke ruang tahanan di bawah, Noni."
"Dibawah? Bawah mana?" tanyaku "Antar aku kesana!" perintahku.
"Ampun, Noni. Kami tidak berani."
"Apa-apaan kamu, Margaret?" Papa mulai kesal mendengar pembicaraan kami. "Siapa yang ditangkap? Apakah pria inlander itu lagi?"
Aku tidak menjawab pertanyaan Papa. Aku menarik tangan pelayan yang tadi menyampaikan bahwa Aryo ada di ruang tahanan.
"Tidak Margaret. Kau jangan konyol!" seru Papa marah.
Dicengkeramnya lenganku yang sudah terluka karena ulah de Bollan sebelumnya. Aku mengaduh kesakitan. Papa segera melepaskan cengkerannya.
"Margaret, tidak ada yang bisa kaulakukan. Kau hanya akan menambah besar masalahnya. Aku tahu Aryo. Orang-orang semacam dia tidak akan mudah untuk dijatuhi hukuman mati." bujuk Papa.
Papa menyebut namanya. Akhirnya Papa mengakui dia.
"Maafkan Papa." ujarnya sambil menggosok punggung tanganku untuk menenangkanku.
"Tuan de Bollan bisa sangat kejam. Aku khawatir kamu akan terluka. Aku... aku tidak akan mampu menolongmu. Jangan mencari masalah dengannya." ujar Papa memperingatkan. "Aku sudah dua kali memintanya untuk mempertimbangkan perkawinan kalian. Tapi dia selalu bilang, wanita tercantik harus menjadi milikku." suara Papa menjadi semakin lirih, "Maafkan aku, Margie." Dia tampak begitu tertekan "Bukan salahmu untuk menjadi cantik. Aku semakin merasa bersalah kepada ibumu."
Aku tidak pernah merasa cantik di masaku. Aku bukan wanita yang suka berdandan dan berpakaian feminim. Walaupun banyak lelaki mengatakan bahwa aku memiliki wajah yang menarik, tapi tidak pernah ada yang mengatakan bahwa aku paling cantik.
"Aku harus melihatnya, Papa." rengekku. "Dia suamiku Papa. Dia adalah bapak dari anak yang ada di kandunganku, Papa."
Wajah Papa tampak frustasi.
"Margaret, aku mohon. Lupakan Aryo. Terimalah Tuan de Bollan. Aku mohon. Jangan buat dirimu sulit. Jangan juga menyulitkan Aryo. Hubungan dengan bangsa inlanders ini masih terus bergejolak. Jangan menambah masalah itu."
Aku menangis. Papa memintaku memutuskan hubunganku dengan Aryo. Bagaimana mungkin? Aku bahkan sedang hamil.
"Kehamilanmu masih belum cukup besar. Kau bisa menyelesaikannya atau... "
"Tidak Papa!" sentakku. "Jangan pernah berpikir akan menyakiti anak ini."
Dia adalah anak Aryo. Dia harus baik-baik saja. Aryo senang sekali dengan kehamilanku. Aku tidak ingin mengecewakannya.
Aku melepaskan tangan Papa dari tanganku. Aku mengajak pelayan itu untuk menuju tempat Aryo.
Ruangan itu dipenuhi orang-orang, dari Jawa maupun Belanda. Beberapa orang Jawa yang ada di ruangan itu, pernah aku lihat sebelumnya. Mereka orang-orang dari Surakarta.
Ada seorang yang berpakaian Jawa memegang tangan Aryo, berusaha menenangkan Aryo. Wajah Aryo dipenuhi kemarahan. Daniel sudah mengatakan sesuatu yang memancing kemarahannya.
Aku berjalan masuk. Pengawal tidak menghalangi langkahku. Mereka mengenalku sebagai Nyonya de Bollan.
Daniel melihatku. Dia menyeringai. Wajahnya tampak dingin dan kejam.
Wajah Aryo langsung berubah begitu melihatku. Dia pasti melihat memar di wajahku. Melihat rambutku yang kacau.
"Ayahmu sudah menipuku!" ucap Daniel kasar. "Jalang apa kunikahi malam ini?" sindirnya.
Dia tertawa melihat wajah Aryo yang tampak
"Tidak banyak wanita Eropa di Batavia. Dan yang secantik ini tentunya sangat terbatas." seraya mencengkeram wajahku dan menariknya lebih dekat kearah Aryo dan orang-orang Jawa itu. "Kau ingin menikahinya?" cibirnya "Bahkan kau tidak boleh mengimpikannya! Margaret milikku! Tidak peduli apa yang telah kau lakukan, dia adalah milikku!" ucapnya kasar sambil menyentakkan wajahku.
Rahangku terasa ngilu.