webnovel

(Hiatus) Perfectionist Girl's

Novel ini bercerita mengenai kisah 2 orang gadis yang berusaha melampaui batas kemampuan mereka... Gadis pertama adalah Ananda Karen yang merupakan gadis menawan, namum keras kepala dengan sejuta impian. Ia ingin mencapai semua impiannya sesegera mungkin. Akan tetapi ia sadar bahwa semua hal butuh proses. Ketika Ananda Karen dipertemukan dengan kenyataan dunia, membuat segala sesuatu terasa sesak untuk tetap berjuang menuju impiannya. Disisi lain, gadis kedua yaitu Tasya Lin, yang bertujuan untuk menjadi seorang dokter yang handal. Akan tetapi ia tidak pandai dan selalu mendapatkan nilai terendah di dalam kelas. Cerita ini dipoles dengan menceritakan kisah perjuangan anak muda yang bertumbuh dalam mencari jati diri. Dimana mereka diuji oleh cinta! Pertemanan mereka yang telah berlangsung lama diuji oleh cinta segitiga mereka dengan Mark Wijaya, murid baru yang masuk di tahun terakhir di masa SMA mereka. Pertemanan mereka pun berlanjut sampai ke jenjang perkuliahan... Akankah mereka dapat menggapai seluruh impian mereka dan bagaimana mereka menyelesaikan cinta segitiga yang muncul diantara mereka? Akankah mereka akan memilih untuk tetap bersahabat ataukah memilih untuk saling menjatuhkan? Semuanya akan tertuang dalam novel ini. Happy reading, Pom_Pong

Pom_Pong · Teenager
Zu wenig Bewertungen
8 Chs

Pernikahan?

Saat sekolah telah usai, seperti biasa Tasya Lin akan buru-buru untuk kembali. Ananda Karen yang terlebih dahulu pulang karena sesuatu yang mendesak terjadi di rumahnya, langsung berpamitan kepada Tasya Lin dan menghilang di balik pintu kelas sekolah.

"Ta, aku duluan yah." Sahut Ananda Karen buru-buru.

"Iya. Aku juga akan segera berkemas." Balasnya.

Tasya Lin kemudian berbenah juga. "Hei kerdil, ngapain kau buru-buru?" Panggil Wijaya kepada Tasya Lin yang sedang sibuk membereskan semua alat tulis miliknya dan hendak akan pergi begitu saja.

"Heh... Seekor jerapah payah rupanya...!" Sahut Tasya Lin membalasnya dengan nada yang mengejek.

Ia lalu hendak melangkah keluar kelas, tapi Wijaya buru-buru menahan tas ransel yang ada di punggung belakangnya. "Kau mau kemana?" Tanya Wijaya yang sok akrab.

Tasya Lin menoleh, "Lepaskan, ngak?" Ujarnya sedikit mengancam seolah-olah ia bisa melakukan sesuatu terhadap Wijaya, jika ia terus mengusiknya.

"Kalo aku ngak mau, emangnya kau mau apa?" Tanya Wijaya yang sedang asyik mempermainkan Tasya Lin.

Tasya Lin mulai meronta, ia memicingkan matanya dan hendak mau memukul tubuh dari Wijaya. Wijaya melepaskan genggamannya terhadap ransel Tasya Lin dan menghindar dengan santai...

"Eits, ngak kena!" Wijaya mencoba memprovokasi Tasya Lin yang tadinya sedang buru-buru ingin pergi.

Tasya Lin menjadi semakin emosi. Ia membara dengan mata yang berapi-api, bagaikan gunung berapi yang siap meletus menghancurkan Wijaya yang ada di depannya untuk siap menjadi abu.

"Tunggu... kau pilih deh! Kau mau dipanggil kerdil atau sapu ijuk?" Wijaya serasa memiliki sensasi sendiri ketika mengajak Tasya Lin bertengkar.

Tasya Lin membara. Dikepalkannya kedua tangan mungil yang ia miliki, lalu ditiupnya kepalan tangannya dengan hembusan nafasnya. Kemudian dilayangkan tinju terbaiknya ke arah wajah Wijaya!

Tapi bukannya tepat sasaran, kepalan tinjunya yang telah ia persiapkan tidak menggapai bagian tubuh Wijaya di bagian manapun. Itu karena Wijaya menahan Tasya mendekat dengan menyodorkan tangannya, menahan kepala Tasya Lin.

Itu seperti seekor tikus hendak melawan seekor kucing yang handal dalam mencari mangsa.

"Apa yang kau lakukan? Lepaskan aku..." Kepala Tasya Lin terjebak di antara jari jemari Wijaya yang lebar. Ia mulai membentangkan kedua tangannya hendak menjambak tubuh Wijaya yang berdiri santai, dengan salah satu tangan Wijaya yang lain masuk ke dalam saku celana miliknya.

Wijaya dengan senyuman melepaskan tangannya yang menahan kepala Tasya Lin. Kemudian ia sedikit bergeser kekanan dan melipat tangannya ke belakang.

Tasya Lin yang terlalu condong ke depan akhirnya jatuh tepat di samping Wijaya berdiri.

Brukkk....

Dentuman keras terdengar saat tubuh Tasya Lin menggapai lantai. Dengan wajah yang memerah bagaikan wajah yang terkena sinar matahari yang sangat panas, ia melirik Wijaya dengan mata yang tajam.

"Kau...." Tasya Lin tampak tak terima dengan perlakuan Wijaya kepadanya.

Tak sampai disitu, ia lalu bangkit dan mengeluarkan tehnik tendangan putarnya. Tapi lagi-lagi Wijaya dengan mudah menangkisnya!

Wijaya menangkap kaki Tasya Lin yang mengarah ke arahnya dan dengan iseng menariknya berjalan...

Tap... tap... Sungguh tak ada pria yang akan memperlakukan wanita seperti itu! Untung saja Tasya Lin selalu memakai seragam olahraga di balik roknya.

"Apa kau biasa menyiksa gadis lemah?" Teriak Tasya Lin.

Wijaya pun berhenti sejenak! "Gadis? Ck... Lihat dirimu! Apa kau masih terlihat seperti seorang gadis?" Tegas Wijaya mengangkat sebelah kaki Tasya di tengah-tengah lengan panjangnya.

"Akh... Baik... aku mengaku kalah. Apa yang kau inginkan?" Ujar Tasya Lin pasrah.

Wijaya terlihat puas saat Tasya Lin menjadi putus asa. Ia lalu menurunkan kaki Tasya dan mendekati wajahnya ke depan Tasya Lin. "Kau harus mengatakan padaku semua informasi mengenai Ananda Karen!" Ujarnya dengan mata yang mencurigakan.

Tasya Lin melihat Wijaya dan memeriksa dengan teliti. "Apa yang hendak akan kau lakukan? Aku tidak bisa begitu saja memberikan sebuah informasi kepada orang tak dikenal!" Tutur Tasya Lin membuang muka.

Mendengar perkataan Tasya Lin, Wijaya menyeringai... "Kau pasti akan memberitahukan informasi itu padaku!" Sahutnya dengan percaya diri.

"Apa maksud tawamu yang mencurigakan itu?" Tanya Tasya Lin yang terganggu dengan ekspresi wajah yang diperlihatkan oleh Wijaya.

Saat Wijaya melirik, ia melihat pak Agus di depan pintu kelas. Wijaya pun lalu menghentikan perdebatannya dengan Tasya Lin. "Sudahlah, kali ini kau akan ku lepaskan... Cidari yang imut" Ujarnya tertawa. Lalu pergi begitu saja.

"Hei... apa maksud mu? Siapa itu cidari, hah? Namaku Lin bukan cidari... Tasya Lin..." Teriaknya, namun sayangnya Wijaya tak memperdulikan teriakan itu dan menghilang di balik bayangan.

**

Ananda Karen yang pulang terburu-buru saat menerima telepon ibunya bergegas. Iya membawa mobilnya dengan kecepatan 100 km/jam, sehingga ia cepat untuk tiba di rumahnya.

Setelah ia memarkirkan mobilnya di garasi, ia berlari masuk ke rumahnya dengan terengah-engah. Didapatinya ibunya sedang duduk termenung sendirian di ruang tamu ketika ia membuka pintu rumahnya.

Ia berjalan perlahan dan duduk di samping ibunya.

"Ibu ada masalah apa? Kenapa ibu menelepon ku sambil menangis tadi?" Tanya Athanasia yang sedang mengkhawatirkan ibunya.

Margaretha melihat Ananda Karen dengan wajah sedih. Dibelainya rambut anaknya sembari berkata: "Ren, ibu tidak bisa menghentikan ayahmu. Maafkan ibu, tapi ayahmu ingin kau menikah dengan anak kolega ayahmu!" Ucap Margaretha dengan penuh rasa bersalah.

Mata Ananda Karen melebar, iya syok mendengar pernyataan ibunya barusan. Ia tahu mungkin ada masalah di perusahaan ayahnya. Tapi ia tak menyangka bahwa ayahnya akan memilih jalur pernikahan untuk menyelesaikan masalah perusahaan.

Ananda Karen menenangkan hatinya, ia tidak ingin menunjukkan kegelisahan yang tak berarti dihadapan ibunya. "Ibu aku baik-baik saja. Jika ayah akan mengambil keputusan seperti itu, aku tahu itu yang terbaik!" Ananda Karen berusaha tegar di hadapan ibunya dan enggan untuk protes.

Saham perhotelan George menurun anjlok. Karena banyak turis asing yang membatalkan perjalanan mereka akibat erupsi gunung agung. Ananda Karen sangat paham soal itu.

"Ren, kamu masih muda! Ibu tidak bisa membiarkan mu menikah di usia yang masih 17 tahun. Apa kau tidak ingin kuliah?" Protes ibunya.

Ananda Karen tersenyum. "Aku akan membicarakan ini nanti dengan ayah

Tenanglah ibu... Semuanya akan baik-baik saja." Ananda Karen bersikap bijaksana untuk menenangkan ibunya yang sedang patah hati.

Ia memeluk ibunya dengan hangat sambil menatap tajam ke arah dinding rumahnya.

Ia tahu bahwa menikah diusia muda tidaklah ada di daftar rencananya. Banyak keinginan yang ingin ia capai. Tapi jika ia menikah, semuanya akan sia-sia saja untuk berharap.

Utung saja, Ananda Karen tidak mudah menyerah pada keadaan karena ia ambisius. Ia memikirkan jalan keluar yang aman untuk masalah ini tentunya.

"Ibu bagaimana jika kita jalan-jalan ke pantai Kuta? Mari kita menghirup udara segar..." Ajak Ananda Karen sambil tersenyum hangat kepada ibunya.

"Ah tidak, kepala ibu pusing. Ibu akan istirahat saja! Jika ayahmu kembali, akan ku botakkan kepalanya." Kata Margaretha dengan menggemaskan.

"Hahahaha..." Ananda Karen tertawa dengan sikap ibunya yang tiba-tiba berubah menjadi nakal. "Ibu bisa saja!" Sambungnya.

Ibunya memegang lembut bahu Ananda Karen dengan pandangan berbelas kasih. "Cepat ganti pakaianmu dan turun makan." Katanya.

Ananda Karen menganggukkan kepalanya dan berdiri, kemudian beranjak pergi ke kamarnya.

'Aku sangat beruntung memiliki anak yang pengertian.' Ujar ibunya di dalam hati sambil mengelus lembut dadanya.

~To be continued