webnovel

4 - Kabar Gembira?

"Cepetan Dik!"

Aku mengikuti langkah Raka. Ia terlihat bijak sekali menyampaikan alasanku datang terlambat. Meski kuulang juga ceritanya. Lebih tepatnya, kucari-cari alasan tepat agar mereka—teman-temanku tak banyak menaruh curiga. Aku yakin, mereka pasti sebagian besar sudah tahu kabar itu. Ya, apalagi kalau bukan kabar ayahku? Seorang pejabat yang korupsi!

"Ayah, kenapa ayah nglakuin kegini? Apa salah Dika sama ayah? Kenapa harus melakukan korupsi?" Batinku tak bisa menyembunyikan pilu. Meski berkali-kali kutahan sendiri.

"Nah, saya rasa itu saja. Berhubung sudah cukup, kita maksimalkan saja buat acara PLS nanti. Tetap semangat. Dan ingat, anggap mereka teman. Jangan merasa paling tinggi apalagi sok menghakimi. Harus tetap jaga kendali. Ok?"

Akhirnya, rapat penutupan untuk acara PLS selesai. Aku pun ingin pulang ke rumah.

"Eh, Dik. Mau kemana?" Tanya Raka.

"Pulang, Rak. Kasian Ibu di rumah."

"Gue boleh ikut nggak? Bosen nih. Main PS aja di rumah lo, gimana?"

"Boleh..., asal bawa jajan sendiri, ya!"

"Haha tenang. Yuk!"

Di perjalanan menuju parkiran, aku dan Raka melewati suatu kelas. Papan pengumuman tampak ramai di sana. Entah, padahal pengumuman penerimaan sudah diumumkan sejak kemarin.

"Lo gak penasaran nama-nama yang diterima, Dik?"

"Oh ya. Sekarang jangan panggil Dika, ya. Wahyu aja."

"Eh, kenapa? Biar lebih beda aja."

"Ish, ada-ada aja. Oklah no problem."

"Bentar, Rak."

"Kenapa, Dik? Eh Wahyu. Ada apa? Lihat apa?"

"Dia... sekolah di sini?"

"Siapa sih?"

"Bukan siapa-siapa, Rak. Yuk, pulang!"

Entah, apakah Dika lupa siswi yang kemarin ditolongnya adalah sahabat kecilnya. Lupa? Atau... memang melupakan?

"Udah selesai urusannya, nih?"

Dika menghampiriku yang berjalan sendirian menuju arah Mushola.

"Iya. Pengin nenangin diri ke Muhsola. Biasa tadi di kelas."

"Maaf, ya. Aku tadi mesti nyelesain rapat. Gaenak sama lainnya."

"Gapapa, Dik. Aku seneng ko."

"Oh, ya. Aku bakal ikut! Makasih banyak infonya." Ucapku seperti tak ada masalah apapun yang telat menimpanya.

"Siapa dulu dong. Dika."

"Iya deh iya."

Aku tak menyangka Dika akan menyapaku di sini. Entah kenapa firasatku tetap tak enak. Setelah lama tak berkabar, dia kemana saja? Kukira dia akan mendiamkanku. Sejak saat tak sengaja, kulihat ia sebelum aku jadi siswi di sini. Ya, saat aku mau daftar ulang. Kenapa saat itu berbeda? Dia bahkan tak menyapaku. Tapi sekarang? Aku merasa tetap aneh.

"Dika, apa benar kamu baik-baik saja?"

***

"Eh, sudah pulang, Nak..."

"Iya, Bu. Sebentar aja tadi."

"Ada Nak Raka juga. Lama Ibu ndak liat. Makin ganteng aja."

"Hehe makasih, Bu."

"Jangan kebanyakan muji dia, Bu. Nanti terbangnya ketinggian."

"Emang ganteng ko. Ya kan, Bu?"

"Sudah... Ibu bikinin minum dulu, ya. Ayo, Nak Raka... duduk dulu." Ibuku memersilahkan Raka, seperti saudaraku sendiri.

"Stik PSnya mana, Dik?"

"Apa?"

"Stik PS, Dikaaa."

"Apa?"

"Ouh, Stik PS, Wahyu. Sorry, belum biasa."

"Lagian lo juga si. Pake ganti-ganti nama."

"Emang susah?"

"Nggak si. Cuma belum biasa aja."

"Yaudah, gamasalah 'kan?"

Aku mencari stik PS. Beberapa saat kemudian, Ibu sudah membawa jus jambu dan jus stroberi kesukaanku.

"Waah, Ibunya Dik, Eh Ibunya Wahyu emang paling top! Makasih ya, Bu. Boleh diminum?"

"Iya, silahkan ya... kalau mau cemilan atau minuman lain lagi, tinggal ambil kulkas aja ya, Nak. Ibu ke dapur dulu."

"Iya, Bu."

"Eeeh, udah duluan aja diminum." Sapaku.

"Lo sih lama. Ini jus stroberi. Minuman asam aja lo suka, sih. Aneh."

"Enak tau! Nih, stiknya!"

Raka asyik minum jus jambunya.

"Eh, Wahyu. Gue mau tanya nih. Tadi yang lo temui di persimpangan jalan yang mau ke Mushola siapa?"

"Uhuuk...," kaget aku mendengarnya.

"Apaan si, Dik? Tanya gitu aja pake batuk."

"Udah ah, Dika aja lebih enak."

"Minum, minum... ."

"Ouh... itu temen."

"Yakin temen?"

"Iya. Ibu juga kenal ko. Kalau gapercaya tanya aja."

"Emang siapa namanya?"

"Ehmm, kepo lu. Ya pokoknya temen."

"Tapi keliatannya kayak udah deket banget."

"Ya karena temen kecil. Makanya akrab. Emang lo gapunya temen selain gue?" Ledekku mengalihkan perhatian.

"Apaan. Gue tuh punya banyak temen. Cuman kasian aja sama lo. Kan lo serem. Dingin kek kulkas. Kali aja gaada orang yang mau deket sama lo. Apalagi yang doyan baca buku. Enggak banget tuh hobi." Raka kian meledekku.

"Awas, ya."

"Hahaha. Bercanda. Tapi cantik, si. Beneran."

"Dasar!"

"Oh ya, aku baru inget."

"Apalagi? Laper? Kurang minumnya?"

"Bukan..., itu temen lo yang cewe tadi. Kayak pernah liat. Oh, ya! Pas lo berangkat ke rapat sebelum PLS. Tapi ko lo nggak nyapa dia? Tadi malah keliatan akrab banget. Aneh!"

"Laper nggak?" Aku alihkan segala arah pembicaraannya yang mengarah ke Nadya. Aku tak ingin Raka mengetahui kenapa aku melakukannya.

"Dik, sebenernya kamu kenapa? Apa benar baik-baik saja?"

Pertanyaan itu terus menghantuiku. Kenapa saat itu dia tak menyapaku? Sedangkan kemarin? Dia sangat ramah seperti Dika biasanya. Bahkan lebih ramah.

Jauh lebih ceria dan bersemangat seperti Dika yang kukenal.

"Apa yang sebenernya kamu alamin? Kenapa juga menghilang beberapa waktu tanpa kabar barang satupun? Apa yang sebenernya terjadi?"

Cemas menghampiri Nadya

***

Craaak!!

Sebuah guci keramik jatuh. Tak sengaja Dika mengenainya.

"Dika benci ayah!! Kenapa Ayah harus ngelakuin ini?!"

Suara teriakkanku terdengar sampai kamar Ibu. Akhirnya, Ibupun mendekatiku.

"Naak, istighfar. Jangan begini."

"Dika gak marah, Bu... ," jedaku.

"Dika cuma..., ah!"

"Nak... yang sabar. Doain ayahmu baik-baik aja. Yah?"

"Kamu besok berangkat sekolah 'kan? Sudah selesai PLSnya 'kan?"

Aku hanya mengangguk.

"Nak, adakalanya memang Allah hadirkan musibah bukan karena tak sayang. Tapi justru karena Allah sayang sama Dika. Dika harus lebih sabar, yah. Yah, sayang? Jangan begini lagi."

Kembali, aku hanya mengangguk.

"Ibu ada kabar gembira buat Dika."

"Bu... panggil Wahyu aja."

"Astaghfirullooh, Iya Ibu lupa. Maaf ya, sayang. Ibu ada berita bagus buat kamu, Nak."

"Kenapa sih, Nak? Kamu tak suka dipanggil Dika?"

"Karena Ayah. Semuanya karena Ayah! Aku tak suka nama Dika disebut anak koruptor!"

"Nak... sudah... ini ibu ada kabar gembira."

Ibu memberikan dua lembar pamflet pengumuman sebuah lomba literasi. Datang dari sebuah komunitas yang bergerak di literasi.

Kafe Baca Keliling (KPK) mempersembahkan sebuah acara bertema.

"Mengelilingi Dunia, dengan Membaca."

Adapun acaranya adalah:

Pelatihan Menulis

Lomba Musikalisasi Puisi

Lomba Menulis Cerpen

"Kafe Baca Keliling? Lomba musikalisasi puisi?" Tanyaku tak meminta jawab.

"Ya. Bagus 'kan?" Tapi Ibu malah menjawabnya penuh tentram.

"Ibu rasa kamu bakal seneng. Masih suka baca puisi 'kan? Kamu ekspresikan perasaanmu di sana. Itu lebih baik daripada begini. Yah? Ibu pengin lihatkamu seneng, Nak." Tuturnya lembut.

"Bu, maafin Dika." Kupeluk ia. Penyesalan memakiku. Tak semestinya aku marah begini. Bagaimanapun, masih ada Ibu yang senantiasa mendampingiku.

"Ibu, Dika boleh tanya?"

"Boleh sayang...,"

"Ibu pengin apa dari Dika? Biar Dika bisa bahagiain Ibu."

"Ibu gapengin apa-apa, sayang. Ibu cuma pengin lihat kamu seperti dulu. Sebelum ada kasus Ayahmu. Meski kamu pendiam, tapi dengan orang yang kamu kenal, kamu bakal nunjukkin ceria dan semangatmu. Itu Dika Wahyu Himawan anak Ibu 'kan?"

"Ibu..., maafin Dika, Bu."

"Gapapa. Yang semangat, ya. Kamu masih ada Ibu. Ada Raka. Nadya? Kamu masih bersahabat sama Nadya 'kan?" Tiba-tiba entah Ibu bertanya tentang Laras. Aku jadi gugup. Teringat saat hari itu. Juga saat acara PLS berlangsung. Bukankah dia yang bersamanya? Anak yang terkunci di toilet itu? Kenapa aku tak menyapanya? Kenapa aku pura-pura tak mengenalinya?

"Kenapa, Nak? Ada apa? Laras baik-baik aja 'kan?"

"Ehmm, Iya, Bu. Nadya baik-baik aja, ko."

"Oh ya, sekarang dia lanjut dimana? Bukannya mau SMA?"

"Nadya... ehm Nadya satu sekolah sama Dika, Bu."

"MasyaAllah... kenapa gak cerita?"

"Iya lupa, Bu."

"Kamu jaga dia baik-baik, yah. Di sisimu masih banyak orang yang sayang sama Dika. Nadya itu temen kecilmu. Dia baik, santun, sama-sama penyuka buku dari kecil. Paling suka berantem rebutan buku. Ibu jadi ingat saat kamu kecil tuh." Ibu jadi bercerita sendiri. Seakan begitu merindukan sesuatu di dalamnya.

"Yasudah, kamu istirahat ya, Nak. Ibu kembali ke kamar."

"Iya, Bu."

"Nadya..., maafin aku." Desirku.

"Oh ya! Kamu juga harus tau info bagus ini. Kamu pasti ikut!" Ya, tiba-tiba energi semangat itu terasa memenuhiku. Sedikit lega, setidaknya... memang benar kata Ibu.

"Nadya, kamu baik-baik aja 'kan?"