webnovel

Bab 25.Terasa Lebih Sakit Dari Kenyataan

-Terjebak Menjadi Simpanan-

"Kirana!"

Rafael berteriak pelan, mencoba memanggil Kirana yang sudah bergegas pergi.

"Raf? Why? Kenapa memanggilnya." Aurora menyentuh pelan lengan Rafael. Menatap bingung di saat yang bersamaan.

Ia sudah merasa curiga semenjak wanita bernama Kirana itu muncul. Ekspresi Rafael sedikit aneh. Terlebih lagi ketika ibunya Rafael, tante Claudya bicara kasar pada wanita itu.

Rafael menoleh sekilas. Ia tidak mengatakan apapun. Helaan nafas panjang terdengar pelan.

"Aurora sayang. Ini bukan apa-apa kok, tante jamin-"

"Ma, please. Kita sudah membicarakan ini sebelumnya." Rafael bangkit. Laki-laki itu memotong pembicaraan ibunya dengan wanita yang akan berstatus menjadi tunangannya itu.

Rafael bergegas mengejar Kirana. Walau bagaimanapun ia harus menjelaskan hal ini.

"RAFAEL!! BERHENTI!"

Degh...

Nyonya Claudya ikut bangkit. Wanita itu bergegas menghampiri sang putra.

"Ma-"

"Jangan pernah mengejar wanita itu atau mama akan membuat keadaan lebih sulit untuknya." Nyonya Claudya menekan bahu sang putra. Suaranya nyaris tidak terdengar orang lain, namun tampak tegas.

Rafael terdiam. Laki-laki itu mengepalkan kedua tangannya tanpa bicara.

"Dengarkan Mama. Wanita itu tidak pantas untukmu. Lihatlah latar belakangnya, bahkan pekerjaannya saja sangat rendah."

"Bagaimana kata orang jika mama punya menantu seorang waiter. Mau ditaruh dimana muka Mama, pikir itu Raf."

Rafael tidak bisa bicara. Seharusnya ia lebih mengenal sikap ibunya sendiri. Wanita yang melahirkannya itu tidak lebih dari seorang wanita sosialita yang memiliki standar tinggi untuk hal-hal kecil.

"Mama akan dipermalukan sama tetangga dan kerabat lain. Apa itu yang kau inginkan! Putra satu-satunya mama ingin mamanya sendiri menanggung malu!"

"Ma! Please, Rafael tidak pernah berpikir begitu."

"Lalu kenapa masih mengkhawatirkan wanita tidak jelas itu." Nyonya Claudya mengeram pelan. Wanita itu mencoba menahan amarahnya yang sudah meluap-luap sedari tadi.

"Bahkan kakamu saja bisa mendapatkan suami yang kedudukannya paling tinggi. Ceo sekaligus calon pewaris seluruh kekayaan Danaswara Grup. Kau seharusnya mencontohnya."

"Ma, Rafael beda dengan kak Monica."

"Mama tau. Tidak ada keluarga lain yang bisa mengalahkan Danaswara Grup. Tapi setidaknya Mama berbesan dengan keluarga yang jelas bibit bebet bobotnya."

"Kamu itu lulusan luar negri Nak. Cumlaude. Aurora bahkan jauh lebih baik bersanding dengan keluarga kita dibandingkan dengan Kirana. Bukannya kalian saling mencintai? Mama ingat bahkan dulu kalian tidak mau berpisah walau satu hari."

Nyonya Claudya menghela nafas panjang. Menatap putranya dengan tatapan penuh penekanan.

"Tolong, jangan mempermalukan mama di hadapan keluarga Aurora. Kembali dan jelaskan pada mereka jika ini hanya kesalahpahaman."

Rafael terdiam lagi. Kepalanya terasa panas memikirkan semua yang ibunya katakan. Pertentangan batin terasa sangat jelas.

Kepalan tangannya semakin mengepal erat dalam beberapa saat. Sampai seseorang mendekati mereka.

Rafael dan mamanya menoleh secara bersamaan.

"Papa," seru Rafael.

Laki-laki paruh baya yang berstatus ayahnya itu mendekat. Raut wajahnya tenang namun tampak waspada.

"Ada apa ini? Kalian meninggalkan tamu."

Rafael menghela pelan. Ayahnya itu tidak ada ketika kirana datang tadi.

"Pa, anakmu ini perlu diberi nasihat. Jelaskan apa yang baik dan yang merugikan keluarga kita." Nyonya Claudya langsung bergegas meninggalkan anak dan ayah itu.

Rafael menghela pelan. Ayahnya mendekat.

"Apa yang terjadi? Kenapa Mamamu sangat marah?"

Rafael mengeling pelan. Ia menekan kepalanya beberapa saat. Beruntung ayahnya tidak memaksa seperti mamanya.

"Papa baru pulang?" Rafael mengalihkan pembicaraan.

"Ya. Papa datang bersama dengan Mahesa." Laki-laki itu menoleh ke belakang. "Mungkin kakak iparmu itu akan segera menyusul."

Rafael mengangguk paham. "Mama sedikit marah."

"Apa tentang wanita bernama Kirana? Papa melihatnya keluar dari pintu depan."

Rafael menangguk. Tidak ada yang bisa ia lakukan kali ini.

"Papa tidak tau apa masalahmu, tapi sebagai laki-laki kau harus menyelesaikannya. Katakan padanya. Tidak adil bagi wanita itu pergi begitu saja tanpa penjelasan. Papa akan menenangkan mamamu di dalam."

Rafael mendongak. Laki-laki itu terdiam beberapa saat.

"Ta-tapi."

"Tentukan pilihanmu Nak. Kau tidak bisa egois, ingat itu."

****

Sementara itu Kirana menghentikan langkahnya tepat di depan halaman luas nang megah. Ia mendongak, menatap langit yang meneteskan rintik-rintik hujan.

Kirana menggigit bibir bawahnya. Menahan amarah dan air matanya agar tidak lolos, meski kesedihan dan amarah tengah bercampur satu di dalam benaknya.

Orang berkata jika hidup itu tidak adil. Semua itu benar. Kirana bahkan tidak mengerti dimana letak kesalahannya.

'Apa salah untuk mencintai seseorang?'

"Kenapa jadi seperti ini," gumamnya rendah.

Kirana menekan dadanya. Rasa sakit itu bahkan tidak bisa ia jelaskan dengan kata-kata.

Kenyataan yang ia harapkan jauh dari yang tengah terjadi.

Tidak ada toleransi dalam hal perbedaan kasta. Secinta apapun itu akan berakhir dengan kehancuran.

Menyedihkan....

Kirana menghela nafas panjang. Wanita itu mengusap pipinya yang tampak sembab, walau ia tidak menangis.

Manik hitamnya menatap jauh ke depan. Melangkah pelan, membiarkan tetesan kecil air hujan membasahi wajahnya.

Kirana mendesis pelan. "Seharusnya aku tidak datang kesini."

Hanya sakit hati yang ia dapatkan.

Nyonya Claudya pasti sudah merencanakan untuk mempermalukannya. Seharusnya ia tidak sebodoh itu mengira orang yang awalnya sudah menunjukkan ketidaksukaan tiba-tiba bersikap ramah dengan mengundangnya makan malam.

Nyatanya nyonya rumah itu hanya ingin menunjukkan dimana posisinya yang sebenarnya.

'Bahkan ia menunjukkan wanita lain yang jauh lebih terpelajar dan berkedudukan tinggi.'

Kirana memejamkan matanya beberapa saat sampai ia mendengar langkah kaki mendekat. Wanita itu mendongak.

Manik hitamnya terkejut ketika menatap sosok tuan Mahesa yang berjalan bersama sekretarisnya.

Otaknya berpikir cepat, menyadari jika laki-laki itu adalah menantu Nyonya Claudya. Ia pasti ingin menghadiri pertemuan keluarganya.

Tidak ada yang terjadi. Laki-laki itu hanya berjalan lurus tanpa menoleh sedikitpun ke arahnya

Menyisakan Kirana yang sedikit berkedip menatap punggung kedua orang tersebut. Alisnya mengerut pelan dan menyadari jika ia melakukan hal yang bodoh.

"Apa yang kau pikirkan." Kirana bergumam sendiri.

Kirana bergegas pergi. Sementara disisi lain, tuan Mahesa menghentikan langkahnya dan diikuti oleh sekretarisnya.

"Tuan kenapa anda berhenti?"

Mahesa menoleh ke belakang. Dahinya mengerut pelan ketika menatap punggung kecil yang semakin lama menghilang ditelan kegelapan dan rintik hujan.

"Siapa yang lewat tadi?"

Roy mengikuti arah pandang majikannya. Laki-laki itu tampak berpikir. Seorang wanita kecil, itulah kesimpulan tercepat yang bisa ia pahami.

Namun, sebelum sempat ia menjawab pertanyaan sang majikan, sosok lain berlari melewati mereka dengan cepat.

Mahesa tersentak kaget. "Rafael?" bisiknya. "Kenapa dia berlari?"

Roy menatap tuan muda yang berstatus sebagai adik ipar majikannya itu beberapa saat. Laki-laki itu juga berlari ke arah yang sama dengan wanita kecil yang melewati mereka tadi.

"Apa mungkin ada hubungannya dengan tuan muda Rafael. Mungkin mereka saling mengenal tuan."

To be continued....