webnovel

ZEMA : Zombie's War

Keempat remaja itu harus menguatkan tekad mereka untuk menemukan misteri tentang menyebarnya virus Zombie yang membinasakan teman-teman serta keluarganya. *** Bangunan-bangunan yang sudah tak layak ditinggali, dengan gosong disana-sini, menjadi pemandangan sehari-hari bagi keempat siswi SMA itu. Mereka hanyalah remaja yang baru memasuki jenjang pendidikan tingkat akhir, yang secara kebetulan di tempatkan di satu kamar di sebuah asrama sekolah. Ah Tidak, ternyata bukan hanya kebetulan belaka yang melandasi kebersamaan mereka. Mereka ada disana karena diasingkan. Dan diasingkan karena terlalu mencolok diantara yang lain. Mereka yang saling bertolak belakang itu, sekarang harus menyesuaikan diri dan membangun kekuatan bersama untuk bertahan hidup. Tak ada lagi makanan pagi milik kantin yang selalu hambar. Kini mereka harus bersusah payah demi mendapat segenggam roti sisa, itupun jika sedang bernasib baik. Start : 8 Maret 2021 End : ....

KacaHitamBaja · War
Not enough ratings
16 Chs

sang Rembulan

"Hei, kenapa ini semua begitu dramatis? Itu hanya beberapa Zombie saja. Dan kau tahu betul, apa yang sudah ia lihat di malam itu. Kau tahu betul, Rambut Kuning." El menyeletuk. Wajahnya kebingungan tak mengerti situasi yang sedang terjadi.

"Zombie itu bukan sembarang Zombie. Kau memang tak tahu menahu tentang gosip di sekolah ini? Mereka adalah geng kesayangannya. Untuk selanjutnya, kau bisa pikirkan sendiri." Aeghys menjawab malas dengan matanya yang masih berfokus mengintip dari celah pintu.

Di satu sisi, Zen tengah bertempur dengan rasa kemanusiaannya. Berulang kali ia meyakinkan diri mengenai makhluk apa gerangan yang tengah ia hadapi kini. Namun, hati nurani nya tak lagi mampu dikalahkan semudah itu.

Gigi-geliginya bergemelutuk di dalam sana. Matanya menembus netra kawan lama yang telah berubah menjadi musuh bebuyutnya. Lantas memejamkannya.

Klang! Wajan itu dalam sekejap berubah fungsi ketika Zen menghantamkannya ke kepalanya sendiri. Zen ingin menangis, bibirnya bahkan sudah mengeluarkan darah akibat gigitannya sendiri.

Ia tak sanggup membunuh kawannya. Suka duka itu telah berhasil ia lewati berkat mereka. Dan sekarang, kedua tangan yang telah banyak menengadah, harus mengambil paksa nyawa.

Zen menggelengkan kepalanya, Zombie itu sudah dekat. Bahkan salah satu dari mereka telah berhasil mencengkram tangan Zen. Zen membuka mata. Ditatapnya lamat-lamat netra yang tak lagi berbinar terang, melainkan suram bagai malam tanpa rembulan.

Tak ada senyum hangat disana sembari mengatakan,'Tidak apa.'

Ya, makhluk di depannya bukanlah dia. Bukanlah mereka. Yang dihadapinya bukanlah seseorang yang telah membantu Zen melewati suka dukanya. Melainkan sekedar Zombie tanpa akal sehat yang hanya diiringi nafsu.

Zen sadar akan itu.

Dan yang paling Zen sadari, ialah bahwa seseorang di atas sana, amatlah tersakiti dengan melihat jasadnya yang tak diistirahatkan dengan layak.

Buagh! Zen membanting tubuh kosong itu sekuat tenaga. Membuatnya terjatuh menggelinding di bawah sana. Di genggamnya erat persenjataan yang ia miliki.

Tepat saat Zombie-zombie itu sudah berhadapan muka dengannya secara langsung. Zen tersenyum kecut. Diangkatnya tinggi-tinggi pisau ditangan kanan, "Akan ku akhiri penderitaanmu, Renxa!" Kemudian,

Crap! Pisau itu menancap dalam di dada kiri Zombie pertama. Zen meringis, sepertinya ia pun turut merasakan betapa 'ngilu' nya ketika sebuah pisau menyapa lapisan kulitmu dan bertamu dengan sang Jantung.

Zen terus menekan dalam tikamannya. Mengedipkan mata sejenak ketika darah menciprat ke wajahnya yang memang sudah cemong.

Crak! Zombie itu terkulai jatuh ke tanah seketika setelah pisau itu dicabut paksa oleh Zen. Zen tak lagi perduli, ia terus melakukan hal yang sama pada dua Zombie lainnya dengan tempo yang sedikit di percepat.

Hingga sudah dapat dipastikan, pemenangnya adalah si Waras yang beringas. Zen berdiri diantara ketiga mayat zombie yang merupakan 'mantan' temannya sendiri. Ia berdiri tegak, dengan kaki yang sama sekali tak goyah. Pisaunya, wajahnya, bajunya, tangannya, semuanya bersimbah darah.

Melihat pertempuran yang telah usai, ketiga anggota lainnya nekat keluar dari tempat persembunyiannya tanpa aba-aba. Berlarian menghampiri Zen yang terlihat amat terpukul di mata mereka.

"Kau tak apa?" Itu Aeghys. Rautnya yang datar dan sama sekali tak berubah, sebenarnya menyembunyikan kekhawatiran yang teramat dalam. Zen mengangguk sebagai jawaban. Anggukan kecil yang tersamarkan akibat posisi kepalanya yang juga menunduk dalam.

"Hei, El! Kau menginjak kepala mereka!" seru Myra heboh ketika mendapati kaki El yang bertumpu pada dua kepala sebagai pijakannya. Pantas saja El terlihat lebih tinggi.

"Ah maaf, aku sengaja."

"Bisakah kalian diam? Situasi ini tidak untuk bercanda, aku yakin kalian tahu hal itu." tegas Aeghys sebal. El dan Myra tak membantah, mereka diam seribu bahasa.

"A-aku.. membunuh.. me-mereka.." Zen mengangkat kedua tangannya, menatap telapak tangan yang telah terlapis darah. Bergetar bukan main bahunya, naik-turun dengan tempo yang amat cepat.

"A-aku-"

Gedebuk!

Seluruh atensi teralihkan tatkala suara tak sedap di dengar itu menyusup masuk ke gendang telinga. Mereka berempat menoleh kebelakang, tempat dimana sumber suara terdengar.

Dan disana, satu Zombie tengah tertatih-tatih berusaha bangkit dari jatuhnya. Matanya merah mengkilat penuh nafsu. Sedangkan mulutnya tak henti bergumam dan menggeram.

Semuanya kebingungan, dari mana asal Zombie- sial. Diatas sana! Beberapa Zombie terlihat tumpang tindih di depan pembatas kelas di lantai dua. Itu.. sebentar lagi akan ambruk dan jatuh, lantas membuat keempatnya kembali terkungkung bahaya.

"Lari.. LARI SEKARANG!" teriak Aeghys kesetanan. El, Zen, dan tentu saja Myra segera mengambil langkah seribu selepas teriakan Aeghys yang nyaring itu.

Mereka berempat pun lari terbirit-birit meninggalkan lokasi kelas 10. Di terangi oleh cahaya rembulan yang kembali menampakkan diri.

Akhirnya, mereka pun tiba di lorong kelas 12. Rembulan kembali meredup saat keempatnya tersengal-sengal sembari memegang lutut masing-masing. Jantung mereka berdegup kencang tak karuan, mereka masih memandang kebelakang, dimana hanya lorong kamar mandi perempuan super gelap yang terlihat.

Ctak! Ketiga orang itu memekik tertahan saat El dengan tak pikir panjang menghidupkan senter miliknya. El mengendikkan bahu.

"Hanya jaga-jaga, bagaimana kalau ternyata mereka mengikuti kita sampai kesini?" ucapnya datar.

"Dan ya, Mereka akan kesini. Sebab siapa? Sebab dia yang telah memberikan petunjuk berupa cahaya senter. Kau tolol, El! Kita bisa mati karenamu!" Myra menggebu. Wajahnya yang telah dipenuhi peluh keringat, menambah penampilan urakannya makin mirip gembel bawah jembatan.

"Ah, begitukah? Baiklah, maaf." Pats! Cahaya lampu sorot itu meredup, kemudian menghilang tanpa jejak. El kembali memasukkan nya kedalam kantung celana miliknya. Lantas dengan wajah tak berdosa, berjalan mendekati tembok kelas untuk kemudian merayap.

Yang lain mengikuti. Kemudian keempat remaja itu berjalan urut dan runtut dari satu kelas, ke kelas lainnya.

"Hei, El! Apa kau pikir, euh.. bau anyir busuk di lorong ini.. amatlah tinggi levelnya..? Bahkan sepuluh bangkai tikus mati pun, kelihatannya tak bisa mengalahkan bau ini(?)" bisik Myra.

El mengangguk setuju. Walau ia tahu bahwa Myra tak akan melihat anggukannya disebabkan sang Raja Gelap Gulita tengah berkuasa, ia tetap a bahkan hingga sepuluh kali.

"El! Kau mendengarku, tidak? Jawab aku! Kau belum mati kan?" Lagi, Myra kembali berbisik. El sebal bukan main. Ia sedang tidak dalam keadaan mood yang baik untuk meladeni kebodohan rekan nya yang satu ini.

"El! Astaga! Kau mati? Jika dalam hitungan ketiga kau tak menjawab ku, akan ku hidupkan senter ini!" ancam Myra masih dengan nada yang berbisik.

El sebenarnya hendak berbalik dan menepak kepala berambut merah itu, namun segera ia urungkan niatnya. Karena, beberapa detik yang lalu, sedikit terbesit rencana jahil di lubuk hatinya.

"El.. El? El!" Menyadari seruan nya yang lumayan keras tak juga digubris, Myra nekat mengambil senter dari dalam kantung celana miliknya. Mengarahkannya tepat ke depan dan kemudian..

Ctak! Pats! Seberkas cahaya menyorot lurus kedepan. Myra menggertakkan giginya, tepat ketika lampu senternya memperjelas wajah meringis menahan tawa milik El.

"Hei! El! Kau-"

"Myra! Apa yang kau lakukan?!" Kalimat Myra dipotong telak Aeghys, membuat sang Empu gelagapan sendiri.

"Ah Aeghys aku hanya-"

"Oh.. sial.. apa-apaan ini?!" pekik El panik.

Aeghys dan Myra ikut mengalihkan pandangan mereka, menatap kemana arah yang telah membuat El sedemikian rupa terkejutnya. Sial. Mereka bertiga menutup mulut dan hidung dengan telapak tangan.

Sret! "Aku pinjam lampumu sebentar." izin El kepada Myra saat benda yang dimaksud telah berpindah tangan.

El berjalan perlahan kedepan, dengan lampu sorot yang mempermudahnya dalam melangkah dan melihat. Tembok demi tembok di lihatnya. Lantas kemudian, kembali lagi pada titik pusat yang membuat mereka benar-benar mual.

"Sial. Apa ini?! Siapa yang melakukan ini?!" tutur El masih tak percaya dengan apa yang dilihatnya.

Seberkas cahaya itu diulang-ulang ke kanan dan ke kiri, mempertontonkan puluhan bahkan ratusan mayat manusia-yang diperkirakan telah menjadi Zombie saat dibunuh-yang berjejer dengan amat rapi sembari menopang kepala masing-masing di atas perut mereka.

Pantas saja bau anyir dan busuk amatlah tidak tertahankan. Semua bau itu berasal dari satu sumber, yaitu bangkai manusia yang memenuhi seluruh permukaan lapangan sepak bola dan basket.

Gagak yang mungkin telah berteman baik dengan para lalat itu, tak henti berseliweran mematuk, ataupun sekedar hinggap menikmati pemandangan pesta meriah mereka.

Grep! Myra mengambil kembali lampu sorot miliknya dari genggaman El, lantas kemudian berlari terbirit-birit.

"Myra! Kau mau kemana!" El bertanya dengan suara nya yang memiliki frekuensi diatas rata-rata. Namun, Aeghys segera memberi solusi.

"Dia tak akan mau repot-repot menjawab pertanyaanmu, bodoh. Kejar dia!" tegas Aeghys yang lalu diangguki mantap oleh El.

Mereka bertiga pun berlarian mengejar kemana perginya Myra. Sampai suara khas orang muntah terdengar menggema dari dalam kamar mandi. Itu tentu saja Myra.

Mengetahui apa yang tengah dilakukan rekannya, El pun melesehkan diri di depan kamar mandi dengan tembok sebagai sandarannya. Ketiga orang itu meringkuk, memeluk lutut masing-masing sembari menatap objek yang amat fantastis.

"AH! AAAHHHH!!" Brak! Kompak, ketiga orang itu langsung berdiri gelagapan. Mengetuk pintu berulang kali sembari menanyakan hal yang sam, 'Myra! Kau tak apa?!' atau, ' Myra! Apa yang terjadi?!'

Hingga El yang tak sabaran pun mencoba mendobrak pintu namun tak kunjung membuahkan hasil. El menatap Zen, meminta bantuan pada mata yang terus memancarkan tatapan kosongnya.

Zen tak juga merespon. Ia terus menatap ke bawah sana, entah melihat apa. Sampai pada puncaknya, El yang geram pun melakukan hal yang membuat Aeghys membulatkan matanya tak percaya.

Plak! "Zen! Myra butuh bantuanmu! Sadarlah!" Tangan El bergetar hebat, memerah sebab telah nekat menampar pipi kiri Zen. Namun, itu berhasil membuat Zen tersadar. Gadis itu mengerjapkan matanya kebingungan, hingga kemudian menangkap maksud El dan membantu mendobrak pintu walau pipinya terasa cenat-cenut.

Brak! Pintu terdobrak. Ketiganya segera menerobos masuk ke dalam dan mencari-cari keberadaan Myra dalam gelap.

Ctas! Lampu senter milik El dihidupkan, dan tampaklah kemudian seseorang yang tengah meringkuk di pojok ruangan dengan senter rusak yang tergeletak tak jauh dari posisinya. Ketiganya langsung menghampiri Myra, mengerubungi nya khas seperti anak SD saat sedang menginterogasi teman yang sedang menangis.

"Kau kenapa? Ada apa?" Dua kalimat tanya beruntun di luncurkan El sekaligus. Membuat Myra semakin memeluk erat lututnya sendiri.

"Myra! Katakan!" Mau bagaimanapun, El tetaplah El. Orang yang memang bertabiat kasar. Namun, berkat kekasarannya sekarang ini, Myra perlahan mengangkat dagunya. Menatap El takut-takut, sebelum kemudian mengacungkan jari telunjuk dan mengarahkan nya pada salah satu bilik kamar mandi.

"Ada apa disana?" Aeghys yang juga menyimak kemana arah pembicaraan pun menanyakannya. Myra menggeleng perlahan, lantas bergumam.

"Entahlah, aku sedang memuntahkan isi perutku di bilik sebelah, lalu suara sesenggukan terdengar dari sana. Aku berniat mengintipnya dari atas, penasaran. Dan yang kulihat, seonggok buntalan hitam besar di pojok bilik." jelas Myra panjang lebar. Aeghys memincingkan matanya.

"Lalu kenapa kau berteriak histeris? Kau bisa keluar dari kamar mandi dan menemui kami."

"A-aku panik Aeghys-! A-aku tak bisa berpikir sama sekali!"

"Bahkan ketika kami mencoba mendobrak pintu?"

"Y-ya! Bahkan ketika kalian mencoba mendobrak pintu!"

Aeghys menatap Myra lamat-lamat, namun kemudian ia menghela nafas. "Baiklah. El, tugasmu mengecek bilik itu." titahnya kemudian. El menatap Aeghys kebingungan, ia berkata lewat tatapan kenapa-harus-aku?

Dan dijawab Aeghys lewat tatapan pula, karena-memang-kau!

El menghela nafas berat, lalu tanpa bisa membantah tugas lagi, ia pun mencomot dua pisau milik Aeghys dan Zen sebelum berjalan mengendap-endap mendekati bilik yang dimaksud.

Lalu tanpa basa-basi lagi, di angkatnya tinggi-tinggi dua pisau di kanan-kiri tangannya. Berniat mengoyak pintu kayu tipis itu. Akan tetapi..

Cklak! Krieeett...

Suara khas itu terdengar. Makin dibuat waspadalah keempatnya, mewanti-wanti dengan tatapan yang tak diperbolehkan untuk berkedip sedikitpun mengintai pergerakan lawang yang perlahan melebar celahnya.

Gedubrak! Lalu, sebuah tubuh manusia yang di selimuti pakaian serba hitam, ambruk dihadapan keempat orang yang tengah menahan nafas.

***

"Kau yakin dia masih manusia?" Entah sudah keberapa kali Myra menanyakan hal yang serupa pada Aeghys. Aeghys lagi dan lagi mengangguk pasrah.

"Kau.. yakin..? Apa kita tak perlu membangunkan El dan Zen..?" Myra menatap kedua manusia yang tergeletak dengan posisi absurd dan mata tertutup di atas meja keramik.

"Myra, lihat aku." Aeghys mencengkram kedua bahu Myra, membuat sang Empu mengalihkan seluruh atensi nya dan ikut menatap Aeghys.

"Sekali lagi kau bertanya, kau akan bergabung dengan mereka yang tidur di lapangan sana, mengerti?" Myra bersusah payah menenggak ludahnya, ia mengangguk. Tanda sepenuhnya paham apa yang tengah Aeghys bicarakan.

Selepas percakapan singkat nan absurd itu terjadi, tak ada lagi kegiatan yang dapat dilakukan kedua manusia yang masih terjaga itu. Mereka berdua saling bungkam, melamun memikirkan entah apa.

Ya, mereka kini berada di Laboratorium yang semenjak berhari-hari lalu menjadi tujuan utama mereka. Salah satu laboratorium IPA, yaitu Laboratorium Fisika yang diapit oleh Laboratorium Kimia dan Laboratorium Biologi.

Berjam-jam mereka termenung diatas kursi masing-masing, kadang juga berganti posisi agar pantat mereka tidak panas, semua itu mereka lakukan demi menjaga satu orang asing yang terbaring di atas meja keramik. Orang asing yang ambruk di kamar mandi setelah berhasil menakuti Myra.

Cklak! Cklak! Dor!

Suara pistol yang menegangkan itu berhasil membangunkan keempat tubuh yang sempat terlelap. Mereka berempat kebingungan, hingga semuanya mengarah pada satu objek yang tengah berdiri di atas meja keramik dengan pistol ditangannya.

"Angkat tangan!"

-BERSAMBUNG - 13.10 - 2-04-2021-