webnovel

ZANUBA (Sebuah Perjalanan Hidup)

"Bodoh." Itulah alasan Zanuba memutuskan untuk pergi jauh dari rumah. Zanuba malu dan tidak mau mempermalukan orang tuanya. Berbagai upaya dilakukannya untuk mengenyam pendidikan, seolah tidak ada yang tuntas dengan baik. Perjalanannya terlalu rumit, sehingga menyulitkan dirinya untuk menyeimbangkan kemampuan dirinya dan teman-temannya. Namun, bukankah Tuhan tidak tidur? Bukankah Tuhan maha welas asih? Setelah belajar di sana-sini, apakah "Bodoh" masih melekat pada dirinya? ••• Ikuti terus kisah perjalanan hidup Zanuba disini. Semoga kalian bisa ambil pelajaran dari kisah Zanuba ya...

KarimaIfha · Teen
Not enough ratings
5 Chs

PRIMADONA

Ketika kamu bersungguh-sungguh dalam menggapai tujuanmu, kamu pasti bisa menggenggamnya meskipun butuh waktu.

••••••

Hari yang dinantikan pun tiba. Zanuba berangkat ke pesantren diantar oleh keluarganya, Ayah, Ibu, Kakek, Nenek dan Pamannya. Antara bahagia dan sedih dirasakan oleh Zanuba. Di satu sisi Ia bahagia karena bisa sedikit meringankan beban malu keluarga atas kebodohannya pikirnya, dan sedih karena harus tinggal berjauhan dari keluarganya.

Ponpes Ta'alumul Qur'an Al-Yasin Semarang.

Mereka telah sampai di tempat tujuan pukul 14.35. Para orang tua pun membahas banyak hal terkait prosedur pengajaran dan administrasi dengan pemilik pesantren yang ternyata adalah seorang Nyai, bukan Kyai. Dan ternyata di pesantren ini tidak ada biaya pendaftaran ataupun bulanan. Meski begitu, pihak keluarga Zanuba tetap memberikan infaq untuk pesantren.

"Semoga bisa cepat beradaptasi ya..." Tutur Bu Nyai Yasin pemilik pesantren

"Aamiin..." Jawab Zanuba dan keluarganya

"Kalau nanti bandel tegur aja Bu Nyai, marahin nggak apa²" Kata Kakeknya

"Iya ini anaknya emang agak dedel (bodoh) jadi ya di telateni aja ya Bu Nyai" Sambung Sang Nenek

Setelah berbincang banyak hal dan berkeliling melihat lokasi pesantren, mereka langsung meninggalkan Zanuba saat itu juga. Melihat kepergian keluarganya, Zanuba merasakan sebuah kepedihan di hati bagaikan ditinggalkan selamanya. Namun kesedihan itu tak berlangsung lama.

"Masuk yuk, baju-bajunya ditata, kenalan sama mbak shofi biar ada temennya" Seseorang membuyarkan lamunan Zanuba yang kosong memandangi jalan. Dia lah Bu Nyai sang pemilik pesantren.

"Iya Bu..." Zanuba pun berbalik dan berjalan menuju ke ruang tamu hendak mengambil barang-barangnya yang ternyata sudah tidak ada.

"Loh kok nggak ada tasnya?" Gumamnya sedikit panik

"Tasnya udah dibawain Mbak Shofi ke kamar" Tutur Bu Nyai. Akhirnya Zanuba pun berpamitan untuk ke kamar dan berlalu pergi.

Kamar seluar 3x3 meter yang hanya dihuni oleh Mbak Shofi seorang, kini tak lagi terasa sepi. Zanuba akan menempati kamar itu bersama Mbak Shofi. Ya, hanya mereka berdua saja di pesantren itu, tidak ada lagi santri lain yang bermalam disana. Beberapa santri datang sekedar untuk mengaji menghafal Al-Qur'an. Ini adalah pengalaman pertama Zanuba tinggal di pesantren, bahkan ia baru saja datang lalu ditinggalkan bersama tekad besarnya.

Setidaknya ada ada 3 anak Sekolah Dasar yang mengaji disana, mereka sudah menghafal Al-Qur'an hingga 3 juz, dan 2 orang lainnya sudah Sekolah Menengah Pertama. Mbak Shofi sendiri tidak sekolah usianya kira-kira 18 tahun dan hafalan Al-Qur'an nya sudah banyak. Lalu Zanuba, ia belajar dari nol. Mulai dari bacaan sholat dan doa-doa harian. Setelah hampir satu bulan, Zanuba baru memulai hafalan Juz Amma. Rasa minder pun ia rasakan manakala ia tau bahwa teman-teman nya yang lebih muda hafalannya sudah sangat banyak, sedangkan Ia baru mulai belajar. Bukan karena dirumah tak pernah belajar, namun banyak bacaannya yang keliru.

Di pesantren itu Zanuba di ajarkan betapa pentingnya sebuah kedisiplinan, terlambat sedikit saja para santri akan mendapat teguran. Karena aturan disiplin yang begitu ketat dan sifat Bu Nyai yang sangat tegas, banyak santri yang tidak betah nyantri di Pesantren itu. Namun, berkat tekad besar Zanuba, akhirnya Ia bisa berubah sampai bisa mendapatkan juara kelas di sekolah dekat pesantrennya.

Dihari penerimaan raport Ayah dan ibu Zanuba datang dengan penuh kebahagiaan dan rasa heran tak terbendung

"Alhamdulillah, bisa dapet juara 1 ya nak..." Ujar Ayahnya keheranan namun sangat bersyukur

"Iya..." Sahut Zanuba menyunggingkan senyuman

"Disini kita ajarin disiplin Pak Bu, waktunya belajar ya belajar, waktunya tidur ya tidur, ada PR apa enggak tetep harus belajar, baca lagi pelajaran yang sebelumnya. Terus, disini juga ada Mbak Shofi yang bantu ngawasin juga. Jadi ya doain aja ya Pak Bu biar anaknya bisa istiqomah belajarnya..." Tutur Bu Nyai

"Iya Bu Nyai Terima Kasih Banyak atas didikannya, Semoga Allah balas dengan pahala dan kebaikan-kebaikan di dunia maupun akhirat" Ucap Ayah Zanuba penuh haru

••••••

Di Pesantren itu Zanuba benar-benar menjadi sosok yang berbeda. Ia sangat disayangi oleh Bu Nyai tanpa mengurangi kerasnya didikan di tempat itu. Justru didikan keras itu yang membentuk pribadi baru Zanuba. Setiap libur sekolah, Zanuba bebas memilih menu resep koleksi Bu Nyai dan akan di ajari cara memasaknya, diajari berdagang dan bercocok tanam. Sebuah kebahagiaan baru dirasakan oleh Zanuba. Namun, tak lama setelah kenaikan kelas itu, masa penuh rasa kesepian mulai dirasakan Zanuba. Mbak Shofi keluar dari pesantren.

"Zanuba, disini jadi anak yang baik ya... Mbak Shofi keluar bukan karena ada masalah sama kalian, bukan karena masalah disini. Tapi, kan Mbak Shofi udah umur segini, udah waktunya bantu keluarga. Kamu yang betah ya disini sama Sibu ¹. Kalau Sibu marah itu sebenernya karena sayang sama kalian, bukan karena marah. Jaga diri kamu baik-baik, belajar yang bener ya kamu" Pesan Mbak Shofi sebelum pulang esok hari

"Iya mbak, Insyaa Allah..."

"Kalau lagi libur main ya kerumah Mbak Shofi!"

"Iya, Insyaa Allah nanti main sama hani, sama temen-temen yang lain juga deh biar sesekali jalan-jalan hehe..." Obrolan mereka tak berlangsung lama karena sudah lebih dari jam sembilan malam, mereka harus segera tidur. Esok hari setelah Zanuba pulang dari sekolah, dilihatnya lemari dan tas besar Mbak Shofi sudah tidak ada.

"Yah... Sendirian... Nggak ada temennya. Mana pondok segede ini 3 lantai dihuni sendirian lagi. Kamar sebelah kosong semua, Sibu di Ndalem ², Temen-temen pada pulang abis ngaji, Hahhh..." Gumam Zanuba lemas tak bersemangat.

Setelah kepergian Mbak Shofi, teman-teman dari kampung sering menginap di pesantren untuk menemani malam-malam Zanuba yang sering sendirian. Beberapa kali ada santri masuk ke pesantren bahkan saudara-saudara Zanuba pun ikut nyantri di Pesantren Al-Yasin tapi tak pernah berhasil. Maksimal hanya bertahan satu bulan, selebihnya hanya beberapa pekan saja kemudian pulang karena tidak betah.

Tinggallah Zanuba dan Hasna saudaranya yang bertahan dan Zanuba menjadi orang kepercayaan Bu Nyai. Di sekolah dan di kampung tempatnya nyantri pun Zanuba menjadi primadona. Hampir tak ada orang yang tak mengenal Zanuba karena selain dikenal sebagai Santri Al-Yasin, Ia juga dikenal sangat ramah dan selalu menyapa setiap orang yang dijumpainya.

Namun pada akhirnya Zanuba pun memutuskan keluar dari pesantren setelah mendengar keputusan Hasna untuk pulang dan keluar dari pesantren. Kejadian ini menyisakan luka dihati Bu Nyai karena sudah menyayangi Zanuba seperti anaknya sendiri. Begitu pula dengan Zanuba, merasa gundah dan gelisah memikirkan Bu Nyainya. Terbayangkan masa pertama kali ia belajar menghidangkan masakan untuk Sibu, canda tawa mereka, pijatan ketika Sibu lelah, di ajak jalan-jalan, momong cucunya, belanja untuk acara pengajian sampai kartu ATM Bu Nyai hanya Zanuba yang pernah menggunakannya untuk keperluan pesantren. Semua kenangan itu begitu indah dan berat untuk ditinggalkan, belum pula kenangan di sekolahnya yang bisa membuatnya aktif dan produktif di setiap perlombaan serta menjadi murid kesayangan guru-guru karena prestasinya.

Zanuba terdiam dikamarnya, melamunkan apa yang telah terjadi dan mulai menorehkan tinta di atas buku diary miliknya

....

"Baru kali ini Aku merasakan kegelisahan ketika meninggalkan suatu hal. Perasaan yang belum pernah kurasakan, bahkan dulu ketika aku berangkat ke pesantren pun tak merasa gusar seperti ini.

Aku merasa baru saja menemukan duniaku yang sesungguhnya, tapi seketika aku terjatuh.

Aku tak kuasa melihat tatapan sendu dari mata Sibu, karena jelas terbaca ada sebuah rasa kekecewaan dan kesedihan di hatinya. Tapi Aku sudah memilih, Aku harus lanjutkan perjuanganku meskipun tempatnya bukan lagi di Al-Yasin"

____________________________

¹. Panggilan santri kepada Bu Nyai

². Rumah yang ditempati Kyai/Nyai pemilik Pesantren