webnovel

Mimpi Dalam 24 Jam

Awal mula mereka terlihat seperti orang tengah mabuk. Mata mereka terus berputar dan poof! Mereka beringas. Mereka seperti hewan liar yang baru lepas dari jeruji. Aku sedang bersembunyi di bunker rumah temanku yang tidak selamat. Untunglah di sini masih ada sedikit sinyal sampai aku bisa mengabarkan pada kalian di luar sana, sepertinya Jakarta sudah harus di karantina. Aku bahkan tidak tahu apakah pemerintah menurunkan perintah karantina atau tidak, yang jelas aku belum menerima kabar bahwa presiden atau wakil pemerintahan ada yang selamat. Aku bahkan tidak tahu bagaima keadaan keluargaku yang lain.

Ratta Hilalintar mengabarkan dari Jakarta.

Sambungan siaran langsung dari youtuber itu akhirnya terputus. Clay mematikan smartphone-nya. Di tariknya nafas menjuru itu dalam-dalam. Dia kembali memandang langit sore yang penuh dengan warna jingga. Sungguh hari yang mengerikan mengingat pagi tadi bahkan semua masih baik-baik saja. Ini seperti mimpi buruk yang sering Clay alami setelah menonton film kesukaannya. Film zombie yang di penuhi adegan mengerikan di setiap detiknya.

Orang-orang gila itu berjalan dengan tatapan kosong nan siap menerkam mereka yang belum terjangkit. Dengan sekali lahap, monster-monster itu bisa menghabiskan beberapa bagian tubuh sekaligus. Pemandangan yang terlalu mengerikan bagi Clay, meski dia sudah pernah menontonnya dalam film. Berbeda dengan sekarang, dia harus mengalaminya, melihatnya secara langsung.

Lamunan Clay terjeda saat seorang perempuan berambut ikal dan kulit hitam menepuk bahunya. Dia menyapa Clay sambil memberikan segelas air putih dan sepotong kue lapis. Perempuan itu lantas tersenyum seolah memberikan Clay semangat dengan tepukan bahunya. Memberitahu Clay bahwa dia tak sendirian.

Clay meneguk air itu dengan rakus. Di lahapnya potongan kue lapis berwarna putih gading dan merah jambu dengan lahap karena lapar. Dia tak peduli lagi dengan apapun. Dia hanya mau bertahan hidup agar bisa melewati hari ini.

Tak ada satupun orang yang Clay kenal di pos itu. Pos pengungsian yang terletak di perbatasan Purbalingga-Pemalamg, tepatnya di hutan , bawah kaki gunung Slamet.

Clay masih menghabiskan kue lapis yang sangat mengenyangkan itu. Sampai pandangannya teralih oleh kedatangan sebuah truk berisi satu kompi TNI lengkap dengan senjatanya. Clay menatap tajam. Tanpa sadar, dia bangkit saat kompi itu turun dan mulai melepaskan perlengkapan mereka dengan wajah lesu. Terlihat rasa putus asa, sepertinya mereka pun telah melewatkan banyak hal yang membuat rasa trauma berat pada diri mereka. Clay tertunduk lesu. Kesedihan akhirnya ikut merangsak masuk ke dalam sanubarinya.

Beberapa TNI itu lantas menyuruh orang-orang termasuk Clay untuk menghadap mereka sejenak. Mereka akan mengumumkan sesuatu. Dengan antusias tinggi dan penuh harap Clay dan yang lain lantas mematuhi perintah mereka. Beberapa saat mereka mulai mengatakan lantang sebuah pengumuman penting.

"Kami baru menerima kabar. Jakarta, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan Papua, semua sudah masuk karantina. Kami, ikut menyesal, tapi yang terpenting sekarang adalah kita harus bertahan hidup. Kami juga menerima sinyal radio yang berasal dari kedalaman hutan. Masih belum tahu persis apakah mereka selamat atau tidak dan kami berharap keadaan membaik secepatnya. Saya mewakili jajaran yang terlibat mengucapkan tabahkan hati kita untuk saling menguatkan. Terimakasih telah mencoba untuk hidup semoga Tuhan memberikan kita jalan."

Suara itu lenyap kemudian. Terlihat dari badge-nya bahwa orang itu bernama Marpaung Hannah. Dia kemudian menghilang di balik kerumunan anak buahnya yang terlihat mengibarkan sedikit semangat di sorot mata lesu mereka. Sorot mata keputus asaan sejak perjuangan mereka yang begitu melelahkan belum menemukan hasil pasti dari pagi tadi.

"Aku melihat darah. Mereka memakan teman-teman kami. Mereka seperti kanibal. Mereka bukan manusia. Ini sungguh gila!"

Langkah Clay terhenti saat melihat seorang anggota TNI tengah menceritakan apa yang baru dia lihat dari medan perang. Tepatnya setelah dia kembali dari Kalimanah. Pria itu bahkan terlihat sangat trauma. Caranya menceritakan dengan bibir gemetar dan peluh yang menetes deras, cukup meyakinkan bahwa kondisi jiwa pria itu tidak baik-baik saja.

Clay tersentak. Dia mulai menyadari bahwa rasa kemanusiaannya tengah di uji. Mungkin dia tak bisa setabah yang lain atau bahkan dia tidak akan memiliki mental baja seperti tentara itu setelah melihat apa yang ada di luar sana, tapi setidaknya dia ingin memberikan pertolongan terakhir untuk manusia lain. Memberikan mereka harapan bertahan melewati semua masa sulit ini bersama. Clay lalu berbalik arah, mengejar kompi-kompi yang siap pergi ke tempat pertempuran untuk mencari orang-orang yang selamat.

"Berhenti! Berhenti!" Teriak Clay pada sebuah mobil pick up yang berisi anggota TNI itu.

"Hei nona. Ada apa?"

"Aku anggota UKS saat SMP, izinkan aku ikut!"

Tanpa pikir panjang, mereka langsung menaikan Clay ke atas mobil menuju Purbalingga.

Di dalam perjalanan, terlihat wajah-wajah siap mati para tentara itu. Sungguh pemandangan yang tak bisa di abaikan. Seorang tentara sibuk dengan al qur'an, ada yang sibuk dengan tasbih beberapa juga ada yang memegang alkitab. Mencoba menenangkan diri agar Tuhan memberikan mereka kemudahan nantinya.

"Apa kau baik-baik saja?" Tanya seorang tentara sebelum dia memperkenalkan diri.

"Slamet."

"Clay, Clayanti."

Slamet lalu tersenyum. Badge di seragamnya tertulis Zidanareja tapi dia memperkenalkan diri dengan nama Slamet. Ada sedikit rasa heran terlintas di benak Clay.

Slamet terlihat tertawa kecil menyadari jika Clay kebingungan sampai dia menjelaskan secara rinci semuanya.

"Aku sama sepertimu. Aku bukan tentara, seragam ini aku dapat darinya karena bajuku sobek. Ini milik bripda Zidan." Jelas Slamet sambil mengalihkan pandangannya pada tentara bernama Ratus Riyadi, terlihat dari badge di seragamnya.

"Aku bahkan masih jadi penjual siomay pagi tadi. Sekarang aku jadi seorang tentara." Tawa kecil kembali menghiasi wajah Slamet. Sampai tak berapa lama air matanya berkaca-kaca karena mengingat nasib keluarganya.

Seorang di samping Slamet lantas menepuk bahunya. Mencoba memberi Slamet ketabahan. Tentara itu lalu memperkenalkan diri pada Clay.

"Albert."

"Clay."

"Aku harap kau tidak muntah setibanya di sana."

Clay tertawa kecil sampai kemudian tanpa di rasa mereka sudah sampai di tempat tujuan. Mobil berhenti di depan sebuah toko baju dekat alun-alun, dan para penumpangnya turun dengan mengendap. Menghindari agar tak menimbulkan suara. Sehingga tak menarik perhatian 'mereka'.

Mereka kemudian berpencar menjadi dua kelompok dan berjanji akan berkumpul di sana satu jam kemudian.

Ratus menyuruh Clay dan yang lain tiarap. Rupanya beberapa meter dari tempat mereka terlihat beberapa orang yang sudah terkena virus atau biasa mereka sebut zombie tengah menyantap makanannya dengan lahap. Ratus lantas menyuruh Slamet dan yang lain untuk memutar arah agar menghindari kerumunan zombie itu. Mereka terus berjalan sampai kemudian langkah mereka terhenti saat melihat anak berusia kurang lebih sepuluh tahun tengah bersembunyi di bawah mobil dengan raut ketakutan. Ratus lantas menghampirinya dan mengulurkan tangan pada gadis itu. Namun, gadis itu tak mau keluar. Ratus terus membujuk gadis itu namun tetap tak beehasil sampai tiba-tiba mereka di kejutkan oleh kedatangan beberapa zombie ke arah mereka. Ratus lantas memberi komando agar semuanya bersembunyi.

Dengan menahan nafas, Clay mempertahankan posisinya agar zombi-zombie itu tak tahu keberadaannya. Jantungnya berdebar keras. Ingin rasanya dia berteriak takut melihat wajah-wajah mengerikan mereka. Penuh darah dan luka. Belum lagi, gigi hitam mereka yang penuh dengan saliva dan darah yang menetes. Membuat Clay rasanya ingin muntah. Dengan keringat bercucuran Clay menahan perutnya agar tak menuangkan isinya saat itu. Slamet tetap menyuruh Clay tenang setelah melihat Clay pucat pasi hampir pingsan.

Beberapa menit kemudian, zombie-zombie itu sudah pergi jauh dan tak terlihat lagi. Slamet dan yang lain lalu keluar dari persembunyian mereka. Sesaat, semua terlihat normal sampai mereka kehilangan Ratus.

"Dimana Ratus?" Tanya Albert.

Semua mata akhirnya tercekat saat mendapati Ratus tengah kejang di samping gadis yang mereka temukan tadi. Sementara gadis itu dengan beringas menatap mereka penuh ambisi ingin menerkam. Mulutnya penuh darah. Sepertinya, Ratus di gigit oleh gadis itu. Slamet dan yang lain langsung melayangkan tembakan pada gadis itu dan Ratus. Sebelum terlambat, mereka berhasil membunuh keduanya.

Namun sial bagi Slamet dan yang lain. Kecerobohannya tak memakai peredam membuat kebisingan yang mengundang datangnya zombie-zombie lain yang sudah pergi tadi. Mereka berlari cepat ke arah Slamet.

"Sial!" Umpat Tanjung yang kemudian lari terbirit-birit setelah menyadari beberapa ratus meter di depan mereka tengah ada seggerombol zombie yang siap menyantap mereka hidup-hidup.

Lagi, jantung Clay berpacu cepat di tengah pelariannya menghindari zombie-zombie yang mengejar mereka. Tak patah arang, Slamet dan yang lain juga menembakan peluru pada mereka. Meski tidak membunuh habis, setidaknya hal itu bisa memperlambat lari mereka yang lumayan lebih cepat.

Sungguh lain dari bayangan Clay. Nafasnya menderu hebat. Kakinya hampir tak mau bergelut dengan angin untuk melaju lebih cepat lagi. Rasa takut menguasainya. Benar apa yang mereka katakan bahwa ini sungguh mengerikan.

Mereka berlima lalu berlari ke dalam gedung. Segera mereka menaiki tangga karena tahu bahwa menggunakan lift hanya masalah beruntung atau tidak. Mereka mencari tempat yang aman dan memastikan zombie-zombie itu kehilangan jejak mereka.

Peluh membasahi wajah mereka. Tidak termasuk Clay yang hampir pingsan karena kelelahan. Mata tajam Albert mengawasi jalan saat mereka masuk namun sepertinya mereka aman. Zombie-zombie itu kehilangan jejak mereka di sana.

Meski siaga, Slamet dan yang lain akhirnya sedikit bisa bernafas lega. Mereka bisa istirahat sampai jam pertemuan tiba.

"Arjuna sektor delapan. Kami tinggal berlima, Ratus tewas. Ku ulangi, Ratus tewas."

Ucap Tanjung melalui ht miliknya. Mengabarkan pada rekan di sisi lain.

"Bima sektor tiga. Kami kehilangan Tohir dan Agus. Ganti."

Tanjung mematikan ht itu setelah mengetahui keadaan rekannya. Sejenak dia menarik nafas. Memenuhinya dengan harapan semua berjalan dengan baik meskipun pada kenyataannya tidak. Dengan segera dia lalu menyuruh Clay dan yang lain untuk bergegas pergi sebelum zombie-zombie lain datang.

Next chapter