"Maafkan, Papa." Zoy menghembuskan nafasnya kasar. "Tapi ini adalah sebuah aturan tidak tertulis yang sudah berlaku sejak puluhan tahun lalu – tak ada satu pun yang boleh menentangnya." Zoy menjelaskan dengan tenang, meski raut wajahnya tidak bisa berbohong.
Laki-laki yang masih terlihat tampan meski usianya sudah memasuki lima puluh dua tahun itu duduk dengan penuh wibawa sembari memperhatikan putrinya terisak dipangkuan sang istri.
Hari ini cuaca di luar cukup panas – 32°C cukup menambah kobaran api didalam lubuk hati wanita malang yang sedang terisak akibat tak terima atas keputusan sang Papa.
Sebagai orang tua tentu saja Zoy tak tega saat melihat putri sematawayangnya tersakiti akibat tradisi. Hatinya pedih. Namun, tak ada yang bisa diperbuat selain memberi pengertian pada putrinya.
Sisil–ibunya Zelin hanya mampu mengusap lembut kepala putrinya. Melihat bagaimana terguncangnya tubuh gadis dalam pangkuannya itu. Namun, sebagai seorang istri dia juga tak bisa berbuat apa-apa.
"Pa, kenapa harus begini? Bukankah apa yang Papa katakan sama saja dengan melanggar hak asasi manusia?" tanya Zelin ditengah isak tangisnya.
Wajah gadis cantik itu memerah. Air mata terus membasahi pipi mulusnya. Tak hanya tubuh yang terguncang karena menangis, tapi juga hatinya.
"Maafkan, Papa," ucap Zoy lirih. "Kita tidak bisa melanggar apa yang telah dibuat! Papa yakin Yhosan pasti akan mengerti dengan semua ini. Usia kalian juga baru dua puluh lima tahun. Tak masalah jika menunda pernikahan," lanjut Zoy.
Mendengar ucapan Zoy membuat tangis Zelin semakin menjadi-jadi. Sakit di hatinya bertambah parah kala sang Papa tidak mau mengerti.
"Berdoalah supaya Abangmu cepat mendapatkan jodoh. Kalau tahun ini dia bisa menikah, maka tahun depan giliranmu dan Yhosan."
Tak mampu melihat putrinya menangis membuat Zoy pergi. Meninggal Zelin yang masih terisak dalam pangkuan Sisil. Sebagai kepala keluarga membuatnya harus banyak berfikir dan mempertimbangkan apa yang terbaik untuk mereka.
"Sebaiknya aku bicarakan saja hal ini pada Bang Arya," gumam Zoy sambil berjalan.
Keputusan ini dibuat mengingat anak tertua laki-lakinya tak kunjung membawa calon menantu kedalam rumah. Hingga Zoy dengan sangat terpaksa harus mengambil langkah agar putranya segera menikah.
Mengorbankan perasaan putri tunggal demi putra satu-satunya. Sebuah keputusan sulit saat melihat kedua buah hatinya terluka. Orang tua mana pun dibelahan dunia ini pasti tidak menginginkan hal itu terjadi.
Padahal sejak dulu, Zoy selalu berusaha untuk menjadi Papa terbaik. Mendukung apa pun yang dilakukan oleh anak-anaknya. Dia bahkan dengan gagahnya menjadi tameng saat sang istri sedang memarahi buah hatinya.
Namun, kali ini ... demi kepentingan bersama agar bisa melihat anak-anaknya bahagia ditengah umur yang semakin bertambah maka, Zoy harus melakukan ini.
Membuat peraturan bahwa anak bungsu perempuan tidak boleh melangkahi saudara laki-laki tertua dalam hal pernikahan. Peraturan itu memang ada sejak dulu, hanya saja sudah lama ditinggalkan sebab Arya dan Zoy tidak memiliki saudara perempuan. Pun generasi Ayah mereka.
Melihat Papanya yang telah meninggalkan ruang keluarga membuat Zelin juga turut menarik dirinya. Melepaskan dekapan Sisil dengan kasar dari tubuhnya.
"Zelin, kamu mau kemana, Sayang?" tanya Sisil saat melihat putrinya itu bangkit dan lari menuju lantai atas.
Zelin tidak menghiraukan panggilan sang Mama. Meski dia tahu bahwa Sisil tidak bisa berbuat apapun, tapi apa yang barusan terjadi membuatnya kecewa pada seluruh isi rumah.
Gadis cantik dengan rambut di kuncir kuda itu akan pergi ke kamarnya. Mengurung diri dan merenungi nasib. Ingin menikah saja malah dipersulit seperti ini. Sempat berpikir untuk kabur dari rumah. Namun, terlahir menjadi putri tunggal kaya raya dengan fasilitas selangit membuatnya berpikir berulang kali.
Seandainya berbuat zinah bukan sebuah dosa besar atau menimbulkan kerugian hingga akhir hayat. Maka ingin sekali rasanya Zelin untuk melakukan itu dengan kekasihnya.
Memakai metode hamil duluan baru menikah. Sebuah jalan keluar saat ingin menikah tapi memiliki hambatan. Namun, untunglah kewarasannya serta iman masih bekerja dengan baik.
Di dalam kamar bernuansa putih dengan sedikit corak merah muda, terlihat elegan tapi juga terkesan feminim, Zelin menjatuhkan bobot tubuhnya di atas kasur king size dengan sprei polos tanpa motif berwarna baby pink.
Meski umur sudah tak lagi muda, tapi dia masih suka akan hal-hal yang berbau anak gadis kecil.
Dia menumpahkan segala isi hatinya melalui isak tangis. Dibangun dengan kedap suara memudahkan Zelin untuk berteriak dan bebas mengekspresikan keadaannya saat ini. Meski hal itu tidak cukup berpengaruh sebab pintu balkon terbuka lebar.
Teringat akan kejadian seminggu yang lalu saat Zelin dan kekasihnya–Yhosan berlayar. Enam malam tujuh hari berada dalam kapal pesiar ditengah laut. Menemani sang kekasih melakukan perjalanan bisnis untuk pertama kalinya.
Disalah satu hari itu ternyata adalah hari jadi mereka yang ketujuh tahun. Zelin, sama sekali tidak mengingatnya sebab dia terlalu sibuk menikmati liburannya. Bahagia begitu menyelimuti hati kala pergi berdua untuk kali pertama.
Jarang-jarang dia bisa menikmati keindahan lautan menggunakan kapal pesiar. Bersama sang pujaan hati pula. Sungguh sebuah kebahagiaan yang belum pernah dia khayalkan kecuali saat sudah menikah nanti. Sebab berbulan madu layaknya Titanic menjadi impian Zelin.
Kala itu, siang hari dibawa birunya cakrawala dengan teriknya matahari di atas permukaan laut. Terlihat sepasang kekasih sedang menikmati indahnya pemandangan. Duduk dan mengobrol disebuah ruangan terbuka sambil menikmati semilir angin kencang.
Suasana yang terjadi diantaranya terlihat tenang. Mereka sedang asik dengan pikiran dan imajinasi masing-masing. Hingga seseorang datang menggangu ketenangan mereka. Membawakan, sebuah nampan yang dikira Zelin berisi makanan.
"Kenapa pesan makanan lagi? Aku udah kenyang banget," kata Zelin menatap Yhosan bingung.
Tujuh tahun lamanya menjalin kasih tentu membuat Zelin paham jadwal makan Yhosan. Apalagi mereka berdua termasuk golongan orang-orang yang tidak terlalu suka jajan.
"Aku hanya makan sedikit tadi. Berada di luar dengan angin kencang seperti ini membuat cacing diperut ingin diberi nutrisi," jawab Yhosan santai.
"Emangnya kamu pesan apa? Tidak takut gendut? Kita sudah makan makanan nakal selama disini," ucap Zelin memperingati.
Keduanya sama-sama tidak suka makanan berminyak atau yang banyak mengandung penyedap rasa. Mereka lebih mementingkan kesehatan untuk masa depan daripada harus memanjakan lidah setiap saat. Boleh makan sembarangan hanya saja waktunya harus diperhitungkan.
Yhosan, membuka penutup nampan yang terbuat dari aluminium tersebut. Ternyata didalamnya ada sebuah kotak beludru berwarna navy. Membuat Zelin mengerutkan kening. Dia bingung dan menerka apa yang akan terjadi di detik selanjutnya?
Dari posisi duduknya, Yhosan beranjak untuk berdiri, kemudian laki-laki itu berjongkok dan hanya bertumpu pada satu kakinya saja.
Zelin melirik kiri dan kanan. Entah sejak kapan disekitar mereka sudah banyak orang yang berdiri. Menatap sepasang kekasih itu dengan raut wajah bahagia.
"Zelin Wiraguna, bersediakah engkau menjadi pendamping hidupku? Menemani aku menghabiskan sisa hidup bersamamu dan anak-anak kita nanti?"