webnovel

2. 1. Pembukaan

Sinar matahari sore pada hari itu masih sama, rumah kayu tradisional yang berada di ujung desa juga masih tetap rapi dan bersih. Tidak ada orang di sekeliling tempat itu, katanya jika kita berisik di dekat rumah tersebut kita akan hilang di lenyapkan Si Tuan Rumah pada hari itu juga. Tuan Rumah yang sering di kabarkan sakit tak pernah menunjukkan dirinya, entah kapan terakhir kali warga desa melihat wajahnya.

Tuan Muda Keluarga Bingwen, putra bungsu dari pasangan Lian Bingwen dan Chelsea, wanita asal Rusia. Anak itu sangat jarang keluar rumah semenjak hari pelantikan Kakak satu-satunya yang menjadi Pewaris dari Keluarga Bingwen. Tidak ada orang yang tinggal di rumah itu lagi semenjak pelantikan, mereka memilih untuk tinggal di rumah utama, kecuali Si Putra Bungsu yang tanpa alasan masih tetap tinggal di rumah lama itu.

"Cana!" panggil seseorang yang masuk melalui jendela.

Keadaan rumah yang sepi membuatnya tidak heran, dengan santai dia terus berjalan ke arah kamar dan membuka pintu tersebut tanpa perlu mengetuk terlebih dahulu.

"Upacara pembukaan Yutaf nanti malam, apa kau akan datang tanpa menikmati pestanya terlebih dahulu." Dia berhenti lalu memungut buku yang berserakan di lantai. "Cana, apa yang kau cari? Bukankah buku yang kau cari sudah ketemu semalam, sekarang kau kehilangan apa lagi?"

Pria yang di sebut Cana hanya diam dan tidak membalas, ia terlalu malas untuk merespon pertanyaan dari temannya itu. Tanpa memperdulikan apapun ia terus memutar balik seisi rumahnya, tapi pada akhirnya benda yang di cari tidak kunjung ketemu.

"Zidan," panggilnya. "Apa semalam saat kita pergi ada yang memasuki rumah ini?"

Zidan yang sedari tadi hanya di abaikan kini menguap sambil bersantai di atas sofa. "Tidak tahu, aku rasa tidak ada. Mereka semua takut dengan dongeng yang telah aku buat, tidak mungkin ada yang datang."

Cana tidak percaya, ia berjalan ke depan lalu melihat ke arah luar rumahnya. Mereka masih tetap sama tidak ada yang hancur, kecuali... ada beberapa bekas yang tertinggal di tanah, seperti jejak mobil melintasi tanah yang separuh kering karena hujan kemarin.

"Calix, aku yakin itu dia," gerutu Cana akhirnya kembali melangkah masuk ke kamar.

Dengan sigap dan cepat Cana langsung membereskan baju dan perlengkapannya untuk pergi, tak lupa dengan buku kesayangannya dan headphone yang terpasang rapi untuk menutupi telinganya yang berharga. Wajahnya yang jengkel menjadi jawaban tidak ada kata mundur pada keberangkatannya hari ini.

"Ayo, kita akan ke rumah utama sekarang!" Seru Cana yang sudah siap duduk di motornya Zidan.

"Wow, kali ini kau tidak melewatkan acaranya. Aku berterimakasih untuk kakakmu."

Cana mencibir kesal, ia terus memutar-mutar list musik kesukaannya, tidak ada yang terlalu enak untuk di dengar. Terkadang beberapa hal kecil membuatnya frustasi terlalu cepat, bahkan itu tentang musik yang terputar bukanlah seleranya.

"Apa mereka sudah yakin pintu itu akan terbuka tahun ini?" Cana bertanya.

"Tidak tahu pasti, yang jelas para Tertentu sudah begitu yakin bahwa pintu itu akan terbuka malam ini, mereka bahkan lebih yakin dari pada tahun kemarin. Aku dengar keluarga Buana yang jarang menunjukan sisi tamaknya kini mulai menunjukkan taringnya untuk memasuki Dunia Yutaf. Aku berharap kali ini tidak salah," jelas Zidan.

Angin yang sudah begitu akrab dengan kulit Cana kini mulai menyapu dengan kasar, sudut bibirnya yang tergigit mulai terbuka. "Kita akan memasuki Dunia Yutaf, kali ini aku juga memiliki firasat yang sama."

Zidan di depan terkekeh, terkadang dia juga memiliki firasat yang bagus tentang hari ini tapi hal seperti ini hanya akan menjadi bumerang di setiap tahunnya. Mereka berpesta untuk upacara pembukaan Yutaf, tapi hal sama terulang lagi, pintu tidak terbuka dan kunci selanjutnya harus gagal di cari. Semakin lama cita-cita untuk keluar desa dan berpergian ke pantai lalu ke gunung hanya menjadi angan-angan belaka.

"Kita akan sampai," ucap Zidan ketika mereka memasuki gerbang besar nan megah.

Tidak ada yang salah dari kemegahan rumah utama, mereka seperti kastil indah yang di buat di tengah-tengah desa. Rumah para Tetua, Ketua, dan Pewaris, keindahannya tidak pernah gagal untuk di puji. Terkadang menjadi hal konyol jika ada yang menolak untuk tinggal di sana, tapi hal konyol tersebut malah lahir dari adik seorang Pewaris Keluarga Bingwen.

Untuk menjadi seorang Pewaris Keluarga bukanlah dari keturunan seperti kelahiran pangeran di sebuah kerajaan. Mereka yang beranjak umur delapan tahun akan di bawa ke kuil dewa kehidupan, mereka sering menyebutnya 'Dewa Yutaf'. Bagi anak-anak yang datang itu akan di ambil darahnya setetes lalu di masukkan ke dalam mangkuk kaca berisi air mata dewa, darah yang jatuh itu akan berubah menjadi kaca atau emas, jika itu menjadi kaca berarti dia hanyalah orang biasa. Namun, jika darah yang jatuh tersebut berubah menjadi emas dia barulah di sebut sebagai 'Emas Yutaf' lalu di lantik menjadi Pewaris untuk menjadi Ketua dan Tetua selanjutnya.

Secara umum itu terjadi dari generasi ke generasi, bahkan itu juga di lakukan sebelum kutukan itu tiba. Malangnya karena hal tersebut membuat penduduk di desa Yutaf mulai berkurang dari pada sebelum kutukan, kekayaan yang berlimpah berkemungkinan akan menurun beberapa generasi kedapan, jika kutukan panjang ini tidak juga terselesaikan.

"Tiba-tiba aku menjadi sangat gugup," gumam Cana setelah beranjak turun dari motor.

"Lihatlah kulit putih pucatmu itu, itu adalah bukti nyata bahwa kau tidak pernah keluar dan bersosialisasi selama ini. Buruk sekali, kau bahkan gugup hanya untuk menemui keluarga sendiri." Zidan terus berceloteh sambil membantu beberapa pelayan untuk membereskan barang-barang mereka.

"Aku tidak pernah menyangka akan datang kemari lagi. Lihatlah itu tambah mewah dari pada beberapa tahun yang lalu." Cana ternganga.

Zidan yang melihat langsung terkekeh. "Beberapa tahun? Itu sudah sangat lama, aku ragu kau akan menemukan kakakmu di tempat ini."

"Meragukan?" Cana beseringai sambil menunjuk telinganya yang masih tertutup rapat oleh headphone.

Zidan melihat, dia hanya bisa menggeleng lalu mengangguk mengerti. Dia benar-benar paham akan kelebihan pendengaran temannya tersebut, hidup bersama selama ini tidak mungkin dia tidak tahu tentang satu kelebihan Cana; telinga ajaib yang begitu sensitif terhadap suara atau 'Telinga Emas' ,dia lebih suka menyebutnya begitu.