webnovel

Iri Hati Part 1

Namaku Sivia, aku adalah seorang gadis yang pendiam jika berada di kelasku. Aku tak suka banyak bicara, aku juga tak terlalu suka bertanya, dan aku juga tak suka berkumpul dengan teman-temanku. Aku lebih suka jika aku diam dan duduk manis di kelas sembari memainkan gadget ataupun mengerjakan tugas seorang diri. Aku juga lebih suka jika aku memiliki satu teman. Karena bagiku, sebanyak apapun aku memiliki teman, jika mereka busuk di belakangku, tak ada gunanya juga aku memiliki teman. Seharusnya seorang teman itu saling mendukung dan tak saling membicarakan di belakang, jika memang ada manusia seperti itu, dia tak pantas disebut teman. Sebut saja dia itu manusia tak berakal. Tuhan memang menciptakan manusia dengan akal dan hawa nafsu, tetapi sebagian manusia tak bisa menggunakan akalnya dengan baik. Itu menurutku.

Aku duduk di kelas sebelas sekolah menengah kejuruan di suatu kota besar. Dan aku memilih jurusan multimedia. Jurusan multimedia itu sangatlah menyenangkan. Aku jadi tahu bagaimana membuat berbagai macam hal dengan menggunakan program computer. Intinya, aku sangat suka dengan jurusan ini. Karena kesukaanku terhadap jurusan ini, membuat nilai mata pelajaranku yang lain mendapatkan nilai rendah. Aku terlalu fokus terhadap pelajaran produktif ini, sehingga aku sering kali mengabaikan mata pelajaran yang lainnya.

Kau pasti tahu, dibalik keberhasilan seseorang, pasti ada saja yang iri. Itu pun juga aku rasakan saat aku mendapatkan nilai cukup tinggi di pelajaran produktif, salah satu teman sekelasku yang bernama Tania, ia sangat iri kepadaku. Padahal nilai raport nya selalu tinggi dan ia juga selalu mendapatkan posisi juara 1 di kelas, apalagi ia adalah anak kesayangan dari beberapa guru. Tetapi entah mengapa, setiap pelajaran produktif dimulai, ia selalu mengatakan suatu hal yang seakan-akan ia tengah menyindirku. Aku tau, mungkin saja ia tak sengaja mengucapkan itu, tetapi aku juga tau perbedaan orang yang sedang menyindirku dan orang yang sedang menyindir orang lain.

Sering sekali aku memergoki ia mengatakan suatu hal yang mengarah kepadaku, aku merasa tersindir dengan beberapa ucapannya. Namun aku selalu mencoba berpikiran positif tentangnya, mungkin saja saat itu ia memang tengah menyindir orang lain dan bukan aku atau mungkin saja ia memang tak sengaja mengucapkannya. Sebenarnya aku tak ingin membahas hal ini terlalu jauh, namun aku juga kesal jika ia terus menerus melakukan hal seperti itu kepadaku. Tetapi aku harus tetap bersabar, bagaimana pun juga, aku tak ingin ada keributan antara aku dengan dia. Biarkan saja dia seperti itu, toh ujung-ujungnya aku juga yang akan kalah darinya. Dia kan gadis terpintar di kelasku, jika aku ingin bersaing di dalam hal belajar pun aku akan kalah. Dia selalu menjadi juara 1, sedangkan aku? Masuk 10 besar pun tidak. Ah lupakan saja lah.

Seperti biasa, aku hanya berdiam diri di kelas. Duduk tenang dan bermain games di smartphoneku, tak perduli dengan pandangan aneh dan heran dari teman-teman sekelasku yang lainnya. Oh iya, aku hanya memiliki satu teman terdekat di kelas ini. Teman dekatku ini sudah ku anggap sebagai sahabatku, panggil saja dia Ammy. Rumah Ammy dan rumahku sangatlah berdekatan, hal itu memudahkanku untuk pulang dan pergi ke sekolah bersamanya. Namun semenjak masuk sekolah menengah kejuruan ini ada yang aneh dari Ammy, aku merasa ada suatu hal yang ia rahasiakan dariku. Biasanya ia akan menceritakan apapun yang ia rasakan, bahkan masalah keluarganya pun selalu ia ceritakan kepadaku. Tetapi akhir-akhir ini ia lebih sering mengobrol dengan Tania. Asal kau tau, aku tidak terlalu senang melihat mereka berduaan. Jujur, aku tak suka jika Ammy berdekatan dengan gadis seperti Tania. Bukannya aku tak suka dengan Tania, hanya saja aku kurang suka dengan sikapnya kepadaku.

Sampai saat ini aku tak tahu jika Ammy menganggapku sebagai sahabatnya atau tidak, kadang ia selalu membela Tania daripada aku. Pernah sewaktu kelas sepuluh, aku dan Tania memiliki sedikit masalah dan aku menceritakan masalahku itu kepada Ammy.

"Ammy tau nggak? Aku kurang suka sama sikap Tania yang ngatain aku sombong gara-gara nilai pelajaran produktifku lebih tinggi darinya, padahal kan aku nggak bermaksud menyombongkan diriku. Lama-lama kesel juga yaa dibilang begitu," ucapku kesal.

"Dia ngatain kamu? Gimana ngatainnya?" tanya Ammy.

"Nggak sih, dia nggak ngatain secara langsung. Dia tuh kayak nyindir gitu ke aku, aku gak tau dia lagi nyindir siapa, tapi aku ngerasa sindirannya itu mengarahnya ke aku. Aku kan jadi ngerasa, My," jawabku dengan emosi yang mulai menaik.

"Kamu jangan berprasangka buruk dulu ke Tania, Vi. Siapa tau sindirannya itu bukan buat kamu. Tapi asal kamu tau Vi, sebenarnya Tania itu baik kok. Dia gak seperti yang kamu pikirin. Kamu ingat gak kemarin pas pembagian kelompok olahraga?" Aku hanya mengangguk mengiyakan ucapan Ammy.

"Sebenarnya dia itu pengen satu kelompok sama kamu, tapi karena kamunya jarang ngobrol sama orang, jadi dia juga ragu buat ngomongnya," lanjut Ammy. Aku hanya diam sembari terus menatapnya.

"Kalau emang dia mau satu kelompok sama aku ya dia tinggal bilang aja, apa susahnya sih? Ngapain ragu? Aku kan juga bisa ngomong, kalau ada orang ngajak ngobrol aku, yaa pastinya aku juga bakal bales omongannya kok. Walaupun aku pendiam, tapi aku gak bisu!" ujarku dengan sedikit menaikkan nada bicaraku. Aku berbicara seperti itu kepada Ammy karena aku kesal, ia seolah-olah membela Tania di depanku.

"Kok kamu malah marah sih?" tanya Ammy.

"Siapa yang marah sih? Aku kan cuma pengen mengutarakan isi hati aku. Emangnya salah?" balasku.

"Ya tapi kamu gak usah pakai nada tinggi bisa nggak? Kamu malah terkesan marah tau?" kata Ammy dan ia pun pergi meninggalkanku sendirian di kelas. Keesokan harinya, aku ingin membuktikan apakah ucapan Ammy benar atau tidak. Aku pun menghampiri Tania dan menanyakan apakah ia ingin masuk kelompok olahragaku atau tidak dan aku terkejut dengan jawaban yang Tania berikan.

"Gue satu kelompok sama lo? Idih gila aja! Liat tuh siapa aja yang sekarang ada di kelompok lo, cuma kumpulan orang-orang bego. Harusnya lo mikir dong, emang ada apa orang pinter yang mau gabung sama orang pendiam dan sok pinter kayak lo? Semua orang juga mikir-mikir dulu kali! Bahkan Ammy aja gak suka sama sikap lo, harusnya lo sadar diri jadi orang!"

Itulah yang Tania ucapkan padaku saat itu. Aku tak menyangka Tania akan berkata kasar seperti itu, apalagi ia membawa nama sahabatku, Ammy. Ucapannya itu juga yang membuatku meragukan kesetiaan Ammy. Bukannya aku ingin berprasangka buruk, hanya saja firasatku tentang Ammy sedikit berbeda. Aku merasakan ada kejanggalan di dirinya. Tetapi bagaimanapun sifat Ammy, dia tetaplah sahabatku.

***

Bersambung...

[ CERITA INI HANYA FIKSI BELAKA. JIKA ADA KESAMAAN TOKOH, TEMPAT, KEJADIAN ATAU CERITA, ITU ADALAH KEBETULAN SEMATA DAN TIDAK ADA UNSUR KESENGAJAAN ]

Please, jangan lupa vote & comment. Karena vote & comment anda semua berarti untuk saya.