webnovel

You are Mine .

Selama ini Kyra hidup bahagia sebagai istri dari Tristan Dierja Wijaya. Tapi hidupnya seketika berubah saat ia menyaksikan suaminya berselingkuh dengan sekretarisnya. Apa yang terjadi dengan Kyra setelah itu? Dapatkah ia mempertahankan hubungannya dengan Tristan? Atau Tristan lebih memilih sekretarisnya? Genre: Romance, Family, Angst, Hurt, Drama.

anakecilucu · Teen
Not enough ratings
5 Chs

Chapter 5

Tristan mengerang frustasi saat indra pendengarannya mendengar raungan suara handphonenya. "Cih!" Siapa yang berani menelponnya pada jam segini? Geramnya dalam hati.

Dengan berat hati, akhirnya Tristan mengangkat telepon itu tanpa melihat siapa peneleponnya. "Kenapa?" sahut Tristan ogah-ogahan. Mata hitamnya sekilas melirik Freya yang masih tertidur di sebelahnya. Salah satu sudut bibirnya tertarik ke atas saat melihat perut Freya bergerak-gerak. Rasa hangat menjalari hatinya begitu menyadari kalau sebentar lagi ia akan dikaruniai sepasang anak kembar laki-laki.

Sedangkan di ujung telepon ia dapat mendengar sang penelepon sedang berbicara gugup. "Hah? Ini siapa?" decak Tristan tak sabar. "Ada urusan apa, hah?"

Ia dapat mendengar telepon berpindah tangan dan sekarang terdengar suara lelaki yang lebih tenang dan tidak gugup seperti sebelumnya. Baru saja Tristan hendak membentak lagi, kalimat dari laki-laki di seberang telepon membuat Tristan membeku seketika. Yang dapat ia lakukan saat ini hanyalah mendengar sang penelepon kemudian diakhiri dengan gumaman ambigu Tristan. "Hn."

Mata Tristan menerawang ke depan. Sejenak ia merasa kehilangan nyawanya. "Tristan?" Suara Freya berhasil mengalihkan perhatiannya. "Ada apa?"

Tristan berusaha tersenyum kecil sambil membelai kepala Freya pelan. "Tidak ada. Hanya urusan pekerjaan," sahut Tristan berbohong. "Kau tidur saja lagi, Freya."

Freya tersenyum kecil dan perlahan bangun hingga selimut yang menutupi tubuhnya terjatuh. Wanita itu mengecup bibir Tristan sekilas. "Semuanya akan baik-baik saja."

"Ya, pasti," balas Tristan kemudian memeluk Freya lembut. "Sepertinya aku harus pergi sebentar. Kau tidak apa-apa jika sendiri, kan?"

Freya balas memeluk Tristan. "Ya, tentu saja, Sayang," sahut Freya. "Uh!" pekik Freya tiba-tiba. Tristan mengerutkan dahinya. Salah satu tangan Freya mengelus pelan perutnya. "Mereka menendang terlalu keras," ujarnya.

Tristan ikut mengelus perut Freya. "Kalian jangan nakal. Ayah harus pergi sebentar. Kalian jaga ibu."

"Iya, tenang saja," sahut Freya. "Sudah, cepat berangkat."

Tristan mengangguk dan segera bersiap-siap keluar rumah. Ya, ia telah berbohong pada Freya. Bukan urusan perusahaan yang ingin ia urus melainkan urusan terhadap keluarganya. Berita yang ia dengar dari humas rumah sakit tadi membuat dunianya seakan runtuh tapi ia tetap harus berpikir positif. Ya, keluarganya pasti baik-baik saja. Ucap Tristan di dalam hati bagai mantra.

.

.

.

Sepeninggal Tristan, Freya tidak bisa melanjutkan tidurnya. Entah mengapa ia merasa tidak enak dan ada yang mengganjal di hatinya. Ia merasa mual tanpa sebab yang jelas.

"Huhh..." Wanita itu menghembuskan napas perlahan dan mengenakan pakaiannya setelah sebelumnya mengambil dari lemari baju. "Ukh!" pekiknya tiba-tiba saat perutnya terasa nyeri.

Ia kemudian teringat pada pesan dokter kandungannya. Kalau bayi kembar bisa saja lahir lebih awal dari tanggal perkiraan. Perkiraan lahir bayi kembar Freya masih sekitar tiga minggu lagi, tapi ia sepertinya sedang mengalami kontraksi saat ini. "Mungkin kontraksi palsu," ucapnya dan duduk di pinggir tempat tidur.

Memang sejak kemarin, bayinya bergerak lebih aktif dari biasanya. Lebih baik ia kembali mengistirahatkan tubuhnya. Nanti setelah Tristan kembali, ia akan meminta suaminya itu mengantarnya ke rumah sakit. "Kalian yang sabar yaa..." Freya mengelus lembut perutnya dan nyeri itu kembali datang walau hanya beberapa detik saja.

"Huhh..." lagi Freya menghembuskan napas kemudian mengistirahatkan tubuhnya di atas tempat tidur.

Entah berapa lama Freya tertidur, ia terbangun saat matahari sudah tinggi dan kamarnya terasa sangat terang. Matanya melirik ke arah jam dinding, tepat pukul sembilan pagi. Itu berarti sudah empat jam yang lalu Tristan pergi karena urusan kantornya.

Sebaiknya ia membuat sarapan. Itulah yang ia pikirkan untuk sesaat. Tapi, baru saja ia bangun dari tidurnya, rasa sakit itu kembali menyerangnya bahkan terasa lebih kuat. "Ukhhh..." rintihnya panjang sambil meremas baju bagian depannya. "Sa-kit!"

Gigi Freya bergemelutuk saat menahan rasa sakit pada perut besarnya. Sepertinya ia benar-benar sedang mengalami kontraksi saat ini. Kontraksi itu bertahan selama tiga puluh detik kemudian menghilang. "Huhh..." akhirnya Freya bisa bernapas kembali. Tapi sayangnya rasa sakit itu berganti dengan rasa sakit akibat tendangan kedua bayinya. Mereka sepertinya sangat gelisah di dalam sana.

"Kalian, te-nanglah, uhh..." Freya kembali merasa sakit sambil terus memegang perutnya. Keringat dingin mulai mengalir di pelipisnya.

Tristan! Benar, ia harus menghubungi Tristan. Saat rasa sakit di perutnya tidak terlalu terasa, Freya meraih handphonenya dan segera menghubungi Tristan. Setelah nada tunggu terdengar, mata Freya membulat saat suara dering handphone Tristan masuk ke indra pendengarannya.

Suaminya itu meninggalkan telepon gengamnya di rumah. "Aduh!" pekik Freya kembali. "Sa-kit!"

Freya bernapas pendek-pendek. Kenapa rasanya sakit sekali? Padahal ia sudah pernah melahirkan dua kali sebelumnya tapi ini pertama kalinya ia merasa sesakit ini saat mengalami kontraksi. "Akhhh... Huhh..." pekik Freya lantang.

Sepertinya tidak ada pilihan lain lagi, ia harus pergi ke rumah sakit sendiri. Dengan berbekal dompet dan telepon genggam yang ia masukan ke dalam tas kecil, Freya perlahan berdiri dengan menumpu pada bagian sisi tempat tidurnya.

Langkahnya terlihat tertatih-tatih karena harus menahan rasa sakit di perutnya. Napas Freya pendek-pendek saat berjalan. Begitu sampai di ujung tangga, Freya berhenti sejenak sambil menarik napas panjang. Konstraksinya sudah menghilang.

Baru saja kakinya turun satu langkah, Freya dapat merasakan ada sesuatu yang merembes dari vaginanya. Air berwarna bening bercampur kemerahan. "Uhh to-long!" pekiknya saat tahu bahwa itu air ketubannnya. "Tristan... Uhh..."

Kontraksinya kembali lagi. Sekujur tubuhnya mendadak lemas. Kakinya bahkan menolak untuk berjalan. Kepalanya mulai pening dengan mata yang sudah hampir kehilangan fokus. Ia akhirnya berjongkok sambil berpegangan pada sisi tangga.

Kenapa di saat seperti ini Tristan malah tidak ada? Urusan apa yang harus ditanganinya sampai ia harus pergi pagi-pagi buta seperti tadi? Keluh Freya dalam hati.

"Sa-kit!" Kembali Freya merintih sambil memegang perutnya. Dengan susah payah ia kembali berdiri. Tapi, malangnya saat akan menuruni satu anak tangga, kakinya malah terpeleset karena genangan air ketubannya sendiri.

"AKHHH!" teriak Freya lantang saat tubuhnya menggelinding ke bawah. Walaupun kedua tangannya berusaha meraih pegangan tangga, tetap saja ia terjatuh karena pengaruh gravitasi. Bukan hanya punggungnya yang menghantam sisi tangga, tapi perutnya buncitnya juga. Bahkan saat mencapai tangga terbawah, perutnyalah yang menghantam lantai terlebih dulu.

Freya bahkan sudah tidak sanggup lagi untuk berteriak karena rasa sakit di sekujur tubuhnya. Bibirnya kelu dan tubuhnya mati rasa. Hanya rasa sakit di perutnya yang makin terasa.

"Ghh! AKH!" pekik Freya. "Huhh... To-long..." rintihnya sambil memegang perutnya. Kumohon siapapun selamatkan kami, pintanya dalam hati.

Rasa takutnya makin menjadi-jadi saat matanya melihat gumpalan darah di dekat kakinya. Sekelabat ingatan tiba-tiba saja melintas di kepalanya. Ingatan tentang mantan istri Tristan yang dulu pernah mengalami hal seperti ini. Tidak! Ini tidak boleh terjadi padanya! Tristan tidak akan meninggalkannya seperti Kyra!

Dengan menanamkan pikiran seperti itu, Freya berusaha bangkit. Ia berhasil mendudukkan dirinya, barulah saat itu ia sadar akan keadaannya saat ini. Mata Freya membulat lebar begitu pemandangan mengerikan itu terlihat di hadapannya.

"Huhh... Ti-tidak..." gumamnya. Darah terlihat makin merembes dari kemaluannya. Bahkan ia dapat merasakan ada sesuatu yang meminta keluar dari dalam sana. "Tu-tunggu... Akh!" pekiknya lagi karena perutnya semakin sakit.

Walau dalam keadaan yang sudah penuh bersimbah darah, Freya masih berusaha menyeret tubuhnya sampai depan pintu. Tapi pada akhirnya ia pingsan karena kelelahan dan kekurangan darah.

.

.

.

Ibu Kyra tidak ingat kapan tapi rasanya baru dua hari yang lalu ia melihat berita bahagia mengenai ulang tahun perusahaan keluarga Wijaya yang pernah menjadi besannya itu. Tapi sekarang berita di televisi membuatnya nyaris membeku.

"AIR MATA KELUARGA WIJAYA"

Sebuah judul berita yang terlalu banyak diberi bumbu itu sangat menarik perhatiannya. Tadi pagi rasanya ia juga sempat melihat judul yang mirip seperti itu, tapi berita tadi pagi menceritakan soal kecelakaan yang terjadi pada ayah dan ibu Tristan beserta kedua cucu mereka. Saat berita itu ditontonnya, ibu Kyra masih bisa berdoa agar mereka diberi keselamatan karena mereka dulu sempat menjadi keluarganya.

Tapi, sayangnya ia tidak akan bisa berdoa lagi saat melihat berita yang saat ini sedang tayang. Berita itu menyorot rumah keluarga Tristan Dierja Wijaya yang sudah diberi garis polisi. Terlihat mobil polisi, ambulan serta masyarakat yang berkumpul di sana.

"Saat ini polisi baru saja selesai melakukan pemeriksaan pada jenazah Freya Wijaya. Menurut petugas forensik, Beliau meninggal karena kekurangan darah akibat terjatuh dari tangga rumahnya," ucap sang pembawa berita.

Ibu Kyra sedikit memicingkan matanya saat melihat Tristan Dierja Wijaya yang menangis meraung-raung saat melihat jenazah istrinya dibawa ke mobil ambulan. Tak ada rasa belas kasihan yang diperlihatkannya pada mantan menantunya itu.

Berita kemudian dilanjutkan dengan berita perampokan di sebuah bank. Baru saja ibu Kyra hendak mematikan televisi, matanya tak sengaja menangkap berita berjalan di televisi.

Empat orang keluarga Wijaya dinyatakan meninggal setelah sempat koma selama 30 jam. Ayah, ibu, dan kedua anak dari Tristan Dierja Wijaya mengalami kecelakaan usai mengikuti acara ulang tahun perusahaan Wijaya dua hari yang lalu.

Klik!

Kali ini ibu Kyra benar-benar mematikan televisi dan melangkah ke arah dapur untuk mengambilkan obat Kyra. "Siapa bilang karma itu tidak ada? Tuhan itu tidak buta."

.

.

.

FIN