webnovel

Makhluk Jadi-jadian

Seiring jarum jam terus berputar, malam pun terus beringsut. Begitupula dengan gaung perburuan yang akan segera dimulai, kian bergema di kepalaku. Karenanya, gegas pulalah aku memacu langkah.

Tiba di rumah Pak Modin, tampak olehku sekira dua puluh orang atau lebih, telah lebih dulu berada di situ. Tanpa menunggu, aku pun cepat-cepat bergabung. 

Bersama beberapa orang yang juga baru tiba, kami sudah sedikit terlambat. Proses ritual pemanggilan Wurake yang dipimpin langsung oleh Bapak Modin sudah berlangsung setengah jalan. 

Duduk berbaris bersama warga yang sudah lebih dulu hadir.

Entah mantra apa yang dibaca oleh Pak Modin, orang tua yang paling dituakan kampung ini. Aku dan para laki-laki yang ada di sini, hanya bisa hening kala Bapak Modin melafazkan mantra-mantra. Betapa khusyuknya beliau. Beliau terus begitu hingga pada akhirnya sampai pulalah pada prosesi selanjutnya.

Prosesi wejangan.

Selain diberi percikan air doa yang kononnya sebagai pelindung diri, ke semua kami yang hadir juga diberi arahan. Beliau memperinci bagaimana seharusnya jika sebentar nanti, kami telah pun berhadapan langsung dengan makhluk yang akan menjadi buruan di malam ini. 

Terakhir, oleh Pak Modin, kami dipilah, lalu dibagi ke dalam empat kelompok kecil. Masing-masing kelompok terdiri tidak lebih dari sepuluh orang.

"Makhluk yang akan kalian hadapi ini bukanlah makhluk sembarangan. Jadi, saya harap kalian bisa bekerja sama, dan tidak melakukan hal apa pun diluar instruksi Bapak Modin barusan," ujar salah satu Tetua yang kebetulan hadir, yang juga turut memberikan sumbangsihnya pada kami, warga yang akan ikut ambil bagian dalam perburuan. 

Setelah semua orang dianggap paham, perlahan ke semua kami beranjak menuju titik lokasi perburuan. Tiba di lokasi, kami diarahkan untuk berpencar ke empat arah mata angin berdasarkan kelompok masing-masing. 

Bersamaan dengan itu, Pak Modin menyempurnakan ritual tersisa dari prosesi pemanggilan Wurake, yaitu pelemparan abu pedupaan ke udara. 

Wus!

Wangi pedupaan pun merebak ke empat penjuru mata angin. 

Setelahnya, Pak Modin beranjak meninggalkan kami yang telah pun menempati posisi kami masing-masing. 

Aku, sial! 

Entah kenapa, tiba-tiba saja pula jantungku berdetak hebat. Selain itu, aku juga merasakan seperti adanya kedutan di kening sebelah kiri, bagian bawah.

"Ya, Tuhan ... semoga ini bukan pertanda buruk." Aku coba menenangkan diri dengan berdoa dalam hati.

Aku sudah berusaha, tetapi tampaknya rasa cemas ini tidak mudah tersingkirkan. Itu bisa aku ketahui dari getaran yang ada pada kedua lututku. Persediaan ini bergetar hebat serupa dengan getaran di dada yang kian tak karuan.

"Sial! Apa-apaan ini?" 

"Ada apa, Bary?" Orang yang berada di sampingku tampaknya mendengar gerutuku.

"O, tidak, maaf, bukan apa-apa," sahutku cepat. Aku mulai tidak menyukai keadaan ini.

Beruntung, ini tidak berlangsung lama. Sebab, apa yang menjadi tumpuan tatapan mata kami, sepertinya mulai kedatangan mangsanya.

Umpan. Adalah beberapa benda yang ditata-bentuk oleh para Tetua. Ianya berupa potongan pelepah kelapa tanpa daun. Selain itu, ada pula batok, tempurung kelapa kering yang telah dibelah dua. Benda-benda tersebut ditata sedemikian rupa,

Pelepah kelapa ditegakkan, lalu batok kelapa diletakkan bagian atas. Bentuknya yang bundar apabila ditutupi dengan kain, ia menyerupai kepala manusia yang tengah duduk bersila sambil menutupi seluruh tubuh. 

Sedangkan kain penutup yang digunakan adalah kain penaung yang biasa dijadikan tenda kecil untuk menaungi makam orang yang baru saja usai dikebumikan. 

Kain putih yang digunakan saat ini adalah kain penaung makam anak lelaki yang mati dengan cara tidak wajar, siang tadi.

Usai ditata-bentuk, ianya diberi mantra, lalu diletakkan di tengah jalan raya, simpang empat, di tengah desa.

"Jika benar anak ini mati karena dimakan Wurake, maka wurakenya pasti akan datang kalau kita panggil. Sebab, di kain putih itu masih ada aura mayat. Jadi dia pasti akan didatangi."  

Demikian urai pak Modin saat meminta izin kepada keluarga almarhum untuk mengambil kain putih penaung makam tersebut.

Sedang menunggu, aku tidak sabar ingin segera melihat, serta mengetahui siapa sebenarnya dalang dibalik kematian anak tersebut. 

Dalam posisi bersembunyi, aku tiada henti berbisik, menyebut nama Mama Yohana, sebagai satu-satunya terduga kuat dalang dari semua masalah ini.

Beberapa menit kemudian.

"Itu sudah!" Kompak beberapa orang mengucapkan kalimat yang senada.

"Iya, itu sudah!" Nyaris bersamaan, yang lainnya menyambung sambil mengarahkan jari telunjuk ke arah datangnya sesuatu yang merupa cahaya api.

Di kejauhan sana, tampak cahaya terlihat tengah terbang rendah menuju ke arah kami yang tengah bersembunyi. Atau mungkin lebih tepatnya, terbang menuju kain putih yang tengah kami kepung dari empat penjuru mata angin. 

Semakin ke sini semakin jelas, jika yang terbang rendah hanya sekitar satu atau dua jengkal di atas permukaan tanah tersebut, menyerupai bola api seukuran buah kelapa. 

Semakin dekat semakin jelas, jika yang tebang itu adalah KEPALA MANUSIA. Cahaya tersebut ternyata bersumber dari cahaya yang terpancar dari kedua bola matanya. 

Tatkala ia sudah berada sekitar lima meter atau kurang dari kain putih yang dijadikan umpan, serta-merta, hampir bersamaan kami berteriak;

"Kepung!"

Sigap, serempak kami keluar dari empat penjuru mata angin. Lalu, secepat itu juga kami membuat lingkaran demi mengepung rapat makhluk ini. 

Makhluk jadi-jadian ini, jika benar apa yang diucapkan oleh pak Modin, setelah mendekati umpan, untuk beberapa saat lamanya, dia tidak akan bisa menghilang atau menjauhi umpan.

Meskipun ini tidak akan berlangsung lama, tetapi dia akan tetap terkena pengaruh mantra yang ada pada umpan.

Tadi, pak Modin meminta kami untuk memanfaatkan kesempatan ini untuk mengeksekusi makhluk ini.

"Kepung, kepung! Jangan sampai lolos! Jangan biarkan dia lolos!" 

Kami bersorak penuh semangat. Lalu, serentak kami merapatkan barisan, mempersempit ruang gerak kepala tanpa tubuh itu. 

Dalam jarak sekitar empat atau lima meter dalam kepungan, tampak ia seperti mulai panik. Ia tidak lagi terbang seperti tadi, tetapi hanya menggelinding laiknya bola api, berputar-putar dalam kepungan kami.

Dengan bersenjatakan aneka senjata di tangan, baik berupa senjata tajam maupun tumpul, kami semakin awas mengikuti pergerakannya. 

Kala jaraknya dari kami hanya tinggal sekitar satu meteran, salah satu dari kami yang didaulat sebagai pemimpin, berteriak lantang, memberi komando.

"Serang ... !"

Detik itu juga, serta-merta kami memulai serangan, dari jarak dekat, juga dari berbagai arah. Sabetan, pukulan, hingga lemparan, bertubi-tubi kami hunjamkan ke makhluk aneh ini.

Hanya dalam beberapa menit, setelah mendapatkan hunjaman membabi-buta dan bertubi-tubi, makhluk ini tampak mulai keteteran. Sesaat setelahnya, dia sudah benar-benar terdesak.

"Terus serang! Habisi makhluk jahanam ini!" 

Mendapatinya tidak berdaya, kami semakin bernapsu untuk menghabisinya.

"Habis kau! Mampus kau!"

Aku dan yang lainnya kian agresif menyerang. Inginnya aku melihat makhluk ini untuk segera mati. 

Rumor yang beredar, wajah asli, atau wajah orang di balik makhluk jadi-jadian ini hanya akan diketahui jika dia sudah mati. 

Kononnya, jika dia sudah mati, dia akan kembali ke wujud aslinya. Hal itulah yang sangat kami ingini.

Beberapa menit kemudian. 

Di saat berharap ia akan segera menemui ajalnya, makhluk aneh ini tiba-tiba membuat kami terperangah hebat.

Ajaib.

Dalam posisi terjepit, setelah mendapatkan serangan yang bertubi-tubi, ketika kami menyangka ia akan segera bertemu Malaikat Maut, ia justru memperlihatkan siapa dirinya yang sesungguhnya. 

Kesaktian yang dimiliki oleh makhluk ini bukanlah rumor kosong belaka.

Kedua matanya yang tadi sempat menutup, kini terbuka semula. Cahaya pun mulai terlihat dari kedua bola matanya. Bahkan, kini lebih terang dan lebih menyeramkan dari sebelumnya.

Tampaklah kepala tanpa tubuh ini seolah memiliki ribuan pasang mata menyala, yang balik menatap tajam ke arah kami. 

Tatapan mata menyeramkan ini seolah ingin berkata: 'Lawan saya jika kalian mampu!'

"Jangan terlalu lama liat matanya! Serang ... !"

Seiring dengan komando tersebut, seperti baru terjaga dari mimpi, setelah tadi sempat hanya mematung tanpa kata, kembali kami memulai serangan.

Bug bug bug!