Harrys/Blaze, seorang pemuda 19 tahun, telah hidup sebagai tentara bayaran sejak usia 13, mengikuti jejak ayah angkatnya, Gandalf, ketua pasukan bayaran kerajaan. Setelah pasukan bubar tanpa alasan jelas, Gandalf mendorong Harrys untuk menjalani hidupnya sendiri. Harrys pun memulai perjalanan ke kota Londinium, mencari kehidupan baru setelah bubar. Di sana, dia tertarik dengan Guild Holy Dragon, guild terkuat di kota itu, dan memutuskan untuk bergabung. Setelah melewati berbagai tes, Harrys diterima dan membentuk tim dengan anggota lainnya, termasuk Ethan, Hanus, Baron, dan Abhas. Harrys dipilih sebagai ketua tim. Namun, meskipun mereka berhasil menyelesaikan misi melawan Goblin dan Orc, mereka sering bertengkar dan menyebabkan kerusakan besar, hingga dijuluki "Wreckers" (Perusak) oleh penduduk dan anggota guild lainnya.
Langit malam kelam menyelimuti sebuah desa di pinggiran kota Bamburgh, wilayah kerajaan Northumbria. Api berkobar, melahap pemukiman yang porak-poranda. Di antara puing-puing, tubuh-tubuh terbujur kaku dibantai tanpa ampun. Sekelompok perompak menyerang, meninggalkan jejak kehancuran. Jeritan kesakitan menggema di antara reruntuhan, bercampur dengan suara kayu yang retak terbakar.
Di pinggiran desa, suara tangisan seorang anak kecil menggema, memanggil-manggil ayahnya di depan rumah mereka yang runtuh terbakar.
"Ayah!!!...."Ayah!!!..." Anak itu menangisi Ayah-nya yang tertimpa reruntuhan. Ibu dari kedua anak itu kemungkinan tewas di dalam reruntuhan rumah mereka yang terbakar. Lalu anak itu mencoba menarik tangan Ayah-nya dengan sekuat tenaga.
"Ayo kita pergi Ayah!!!..." Ucap anak itu sembari menarik tangan Ayahnya. Adik dari Anak itu yang berumur 5 tahun hanya bisa menangis di belakang Kakaknya, Aya dari kedua anak itu hanya bisa tersenyum dan menyuruh mereka segera melarikan diri.
"Pergilah nak jangan hiraukan Ayah, kalian pergi dan mintalah pertolongan ke kota... Tenang saja Ayah akan baik-baik saja."
"Aku tidak mau Ayah, aku sangat takut, ayo kita pergi bersama." Anak itu menangis tersedu-sedu di depan Ayah-nya
"Cepat pergilah, sebelum mereka datang... Aku tidak mau kalian dijadikan Budak oleh mereka."
Ayahnya membentak mereka dengan Air mata yang membasahi pipinya.
"Perjalanan Ayah mungkin berakhir disini nak, tapi perjalananmu belum berakhir. Aku ingin kalian hidup bahagia, dengan orang-orang yang menyayangi kalian." Lalu Ayah mereka memberikan sebuah Kalung matahari, ke Anak sulungnya.
"Ambilah ini, jika Aku sudah tidak berada di sampingmu, anggaplah ini sebagai jiwaku yang tersimpan di dalamnya." Ayahnya menjulurkan tangannya yang bergetar.
"B-baiklah ayah, kami akan pergi untuk meminta bantuan ke kota." Ia mengambilnya dengan air mata yang mengalir.
Belum sempat pergi, para perompak itu kemudian datang untuk merampas beberapa barang di rumah mereka.
"Hei bung, aku menemukan anak malang disini. Kita apakan mereka?" Ucap salah satu perompak yang berhasil menemukan mereka.
"Kita jual saja, atau kita jadikan budak, karena kemungkinan semua barang yang ada di rumah ini sudah hangus terbakar."
"Ide bagus, tapi bagaimana dengan orang bodoh yang tertimpa reruntuhan itu?" Para Perompak melihat Ayah dari kedua anak itu.
"Dia sudah tidak bisa apa-apa, kita biarkan saja dia, lagipula....kalau kita jadikan orang itu menjadi budak, dia tidak akan berlaku, karena kemungkinan kaki dan tulang rusuknya sudah patah." Ucap ketua perompak dengan muka sombongnya.
"Kumohon jangan apa-apakan Ayah kami." Ucap Anak itu, ia menangis dan berusaha melepaskan tangannya dari genggaman Perompak itu.
"Heheh, jadi dia Ayahmu?....Tenang saja.... dia tidak akan merasakan sakit lagi, karena ini adalah akhir dari hidupnya" Ketua perompak itu perlahan berjalan ke Ayah dari kedua anak itu sembari mengeluarkan pedang miliknya.
"Kau sudah tidak bisa apa-apa Edward, lihatlah dirimu yang menyedihkan itu, terbaling lemas, seperti pengemis yang tidak makan berhari-hari."
Tampaknya ketua perompak itu mengenali Ayah dari kedua anak itu.
"Heheh, jadi itu kau, Ferald? Setelah 5 tahun kau menghilang, kau memilih untuk menjadi perompak setelah tambang emas milikmu bangkrut?" Ucap Edward dengan berani mengolok-olok Ferald.
Ferald tersinggung dan menendang kepala Edward.
"Sombong sekali dirimu bodoh, memangnya siapa dirimu? Lihatlah siapa dihadapanmu, nyawamu ada di genggamanku sekarang!!!..." Ferald mengancam Edward dengan menodongkan pedang miliknya.
"Heheh, aku tidak takut padamu bodoh, omong kosong macam apa itu, kau bukanlah dewa ataupun malaikat pencabut nyawa, kau hanyalah seorang pria gagal, kau memilih jalan setan, hanya karena harta dan kekuasaan!"
Karena muak dengan perkataan Edward, tanpa basa-basi Ferald memenggal Edward didepan mata kedua Anaknya dengan brutal.
"AYAHH!!!..." Kedua anak itu berteriak Menyaksikan hal mengerikan didepan matanya. Adik dari anak itu pingsan karena melihat kejadian itu.
"AKAN KU BUNUH KAU!!!..." Anak itu menatap tajam, air matanya bercampur amarah yang mendidih di dalam dadanya. Jemarinya yang gemetar menggenggam erat kalung pemberian ayahnya, seolah itu satu-satunya pegangan yang tersisa.
Para perompak itu menertawai anak itu. Dan mengolok-oloknya.
"Hahah, coba saja kalau kau bisa dasar bocah, sebelum kau membunuhku, mungkin kepalamu sudah terpisah dari tubuhmu." Ucap Ferald sembari tertawa terbahak-bahak.
Namun, sesuatu yang aneh terjadi pada anak itu. Udara di sekelilingnya tiba-tiba bergetar, dipenuhi aura panas yang membakar. Asap tebal mengepul, melilit tubuhnya seperti kabut misterius. Dalam sekejap, tubuh anak itu bergetar hebat dan sebelum siapa pun sempat bereaksi, ia tiba-tiba menghilang dari genggaman salah satu perompak. Hanya menyisakan kepulan asap yang perlahan menghilang di udara.
"Apa yang!?....Kemana dia!?..."
"Sepertinya dia menggunakan sihir untuk menghilang!?!.. " Teriak dari salah satu Perompak.
"Kemana anak itu?...Cepat temukan dia!!!." Para perompak itu sangat keheranan, karena anak itu tiba-tiba menghilang dari hadapan mereka.
"Huh!?..."
"ARGHH!!... SIALAN!..."
Tiba-tiba perompak yang menggenggam tangan anak itu berteriak kesakitan setelah melihat tangan kirinya terbakar. Daging serta tulangnya meleleh seperti lilin.
"Apa-apaan dia!?!?... "
"Sialan, siapa dia sebenarnya!?..."
Para perompak segera mencabut pedang mereka, mata mereka waspada, tubuh mereka menegang.
"Tetap waspada, dia bukanlah anak biasa!!!.."
Ucap Ferald sambil menggenggam erat pedangnya, matanya tajam, tubuhnya siaga, siap menghadapi anak itu dengan kewaspadaan penuh.
"Hati-hati!... Dia bisa saja muncul dan menyerang kapan saja!... "
Tanpa disadari, secara tiba-tiba Anak itu muncul dibelakang Ferald dan mencekik lalu menggigit leher Ferald hingga mengalami pendarahan yang hebat. Ferald dengan cepat melempar anak itu dan menendang perutnya, hingga membuatnya terpental.
"Sialan!!!..." Ucap Ferald sembari meringis kesakitan dan memegang lehernya yang berlumuran darah...
"Kau tidak apa-a.... Hah!?....Apa-apaan luka ini!!?" Ucap salah satu perompak yang terkejut saat melihat luka gigitan anak itu. Daging di lehernya perlahan meleleh, seperti terbakar, sama seperti yang dialami perompak yang sebelumnya mencoba menahan anak itu.
Setelah dibanting dan ditendang, anak itu tetap bangkit tanpa menunjukkan rasa sakit sedikit pun. Matanya kini merah menyala, penuh amarah yang membara. Dalam sekejap, api muncul di kedua tangannya, berkobar dengan liar. Para perompak yang menyaksikan pemandangan itu terpaku, ngeri sekaligus terkejut melihat kekuatan yang tak terduga dari bocah itu.
"Sial dia pengguna Api!?!?... "
"Sialan! sebenarnya kau ini apa bodoh!?."
"Cepat bunuh anak sialan itu!!!..." Para perompak berlari menuju anak itu dengan senjata terhunus pedang berkilat dan alat sihir yang siap digunakan untuk menghabisi anak tersebut.
Namun… sesuatu yang tak terduga terjadi.
Ledakan dahsyat menggema, mengguncang tanah di bawah mereka. Jeritan memilukan terdengar seiring dengan tubuh-tubuh yang terbakar hangus, kulit mereka meleleh seperti lilin yang disulut api. Di tengah kekacauan, anak itu berdiri mematung, tatapannya kosong, seolah jiwanya telah terlepas dari raganya. Api masih menyala di kedua tangannya, berkobar liar seperti amarah yang tak terbendung.
"Dia iblis!!!....Dia iblis!!!"
Para perompak yang menyaksikan kejadian mengerikan itu terpaku sejenak, wajah mereka diliputi ketakutan yang tak terlukiskan. Namun, begitu kesadaran kembali, mereka langsung berbalik dan berlari secepat mungkin, panik setelah melihat kebrutalan anak itu, sosok kecil yang kini tampak lebih seperti monster daripada manusia.
"Sebernarnya siapa anak itu? Dia bisa membunuh 12 orang sekaligus." Ucap salah seorang perompak yang berlari membawa barang jarahannya.
"Kita pergi dari sini!, bawa saja adiknya."
"Cepat pergi dari sini, kita tidak mungkin bisa menang melawan Anak iblis itu!."
Adiknya yang tak sadarkan diri berhasil dibawa pergi oleh beberapa perompak yang selamat. Sementara itu, yang lain menatap anak itu dengan ketakutan, sebelum akhirnya berteriak, "Anak iblis!" dengan suara gemetar. Tanpa membuang waktu, mereka segera melarikan diri, meninggalkan anak itu sendirian di tengah kobaran api dan kehancuran yang baru saja ia ciptakan.
Keesokan harinya, kabar tentang desa yang dirampok dan dilalap api sampai ke telinga para petugas kerajaan. Mereka segera bergerak untuk menyelidiki tempat kejadian. Sesampainya di sana, yang mereka temukan hanyalah sisa-sisa kehancuran mayat-mayat hangus berserakan di tanah, bau daging terbakar masih menyengat di udara. Di antara puing-puing yang runtuh, mereka menemukan seorang pria yang tewas dalam kondisi mengenaskan kepalanya terpenggal, tubuhnya tertindih reruntuhan bangunan yang hangus. Pemandangan itu membuat beberapa petugas menelan ludah, menyadari bahwa sesuatu yang jauh lebih mengerikan telah terjadi di desa ini.
"Huhhh!... Mengerikan sekali." Kemudian petugas itu memeriksa mayat pria yang tewas tersebut, dan mengetahui bahwa mayat pria itu adalah seorang petani anggur yang sering menjual hasil panennya ke balai kota.
"Orang ini!... Dia adalah Edward!?"
"Edward!?... Kalau tidak salah dia petani anggur yang sering menjual anggurnya di balai kota bukan?"
"Kau benar, dia adalah petani anggur itu. Sayang sekali dia tewas seperti ini, padahal anggur miliknya sangat besar dan manis."
"Ayo Cepat angkat dan keluarkan dia, dan juga bawa semua mayat yang ada disini ke kamp lalu siapkan peti mati untuk memulai upacara pemakamannya. Periksa rumah yang lainnya, kemungkinan masih ada banyak orang yang tewas tertimbun reruntuhan."
Di sisi lain, seorang ketua tentara bayaran bernama Gandalf, pria berambut kuning dengan penutup mata di sebelah kanannya, ikut membantu para petugas kerajaan membersihkan sisa-sisa kehancuran di desa itu. Saat menyusuri puing-puing yang masih mengepulkan asap, langkahnya terhenti. Di antara tumpukan mayat yang hangus terbakar, ia menemukan seorang anak tergeletak, tubuhnya berlumuran jelaga dan luka. Namun, yang paling menarik perhatiannya adalah tangan kecil anak itu yang masih menggenggam erat sebuah kalung berbentuk matahari, seolah menjadi satu-satunya hal yang tersisa dari kehidupannya yang telah hancur.
"Malang sekali anak ini..." gumam Gandalf pelan, matanya menatap nanar ke arah bocah yang tergeletak dengan tangan masih erat menggenggam kalung matahari. Napasnya terdengar berat saat ia berjongkok, memperhatikan wajah sang anak yang dipenuhi jelaga dan luka. Dengan hati-hati, Gandalf meletakkan dua jarinya di leher anak itu, mencari denyut nadi. Lalu, ia mendekatkan telinganya ke dada bocah tersebut, memastikan apakah masih ada hembusan napas yang tersisa. Gandalf kemudian memperhatikan kalung yang digenggam erat oleh anak itu. Dengan hati-hati, ia berhasil melepaskannya dari tangan kecil yang kaku. Saat diperiksa, ia melihat aksara Celtic kuno terukir di sana, membentuk sebuah nama: Harrys Scholtenberg.
"Namamu Harrys Scholtenberg..." gumam Gandalf pelan, matanya menelusuri aksara Celtic yang terukir di kalung itu. Ia kemudian menatap bocah di hadapannya, wajahnya pucat, napasnya lemah, tapi masih ada kehidupan di dalamnya.
"Dia selamat dari para perompak itu... tapi sepertinya pingsan karena trauma yang terlalu berat," pikir Gandalf, sorot matanya dipenuhi pertimbangan.
Gandalf kemudian menggendong anak itu dan membawanya ke petugas kerajaan. Dengan suara tegas, ia meminta mereka untuk merawat dan melatih bocah tersebut. Dalam hatinya, Gandalf telah memutuskan, suatu hari nanti, anak ini akan menjadi bagian dari pasukan tentara bayarannya, sekaligus anak angkatnya.
"Aku menemukan satu yang selamat, dia kemungkinan anak dari korban yang terpenggal itu."
"Aku akan mengurus anak ini dan membawanya ke kamp-ku."
"Hmm... aku tidak yakin kau bisa mengurus anak ini," ujar salah satu petugas dengan nada ragu, sambil terus menyelidiki lokasi kejadian.
"Tapi jika itu memang maumu, baiklah... aku menyerahkannya padamu. Aku sendiri akan melanjutkan penyelidikan dan membantu membersihkan desa ini."
"Baiklah, terima kasih. Aku akan menjaganya dengan baik," ujar Gandalf sambil tersenyum.
"Dan suatu hari nanti, dia akan menjadi anggota baruku, hahah!" Ia tertawa ringan, lalu dengan hati-hati menggendong anak itu dan membawanya ke kereta kuda miliknya. Gandalf lalu memacu kudanya, meninggalkan desa dan membawa Harrys ke kamp tentara bayaran di utara kota Bamburgh.
Setibanya disana. Gandalf turun dari kereta kudanya dan membawa Harrys masuk ke tenda kecil, lalu meminta petugas medisnya bernama Colt yang berada di dalam untuk memeriksa keadaan Harrys.
"Hei... Colt tolong periksa anak malang ini, dia adalah korban yang selamat dari perampokan di desa." Gandalf perlahan meletakkan tubuh Harrys di alas yang ada di tenda tersebut.
"Baik Pak! Aku akan memeriksanya. Serahkan anak ini kepadaku." Ucap Colt.
"Baiklah, aku akan kembali membantu petugas di desa tadi," ujar Gandalf, menatap bocah itu sekali lagi sebelum beranjak pergi.
Ia melangkah keluar dari tenda, bersiap untuk melanjutkan tugasnya di desa yang porak-poranda.
Colt yang memeriksa tubuh Harrys sangat heran. Walaupun tubuh Harrys terdapat beberapa bercak darah, namun ia tidak terluka sama sekali.
"Tubuhnya baik-baik saja... Anehnya, meskipun dipenuhi bercak darah, tidak ada satu pun luka atau goresan di tubuhnya," gumam Colt, keheranan saat memeriksa kondisi Harrys.
Setelah tiga hari tak sadarkan diri, jari-jari Harrys mulai bergerak. Perlahan, matanya terbuka. Pandangannya masih buram, tapi saat fokusnya kembali, dia tersentak kaget, wajah Gandalf ada tepat di depannya, menatapnya lekat-lekat.
"S-Siapa kau, pak tua!? Dimana aku!?" seru Harrys panik, tubuhnya refleks melompat. Namun, kepanikannya semakin menjadi saat menyadari api berkobar di kedua tangannya. Matanya membelalak, ketakutan dan kebingungan bercampur jadi satu.
"Hahah... Ternyata kau pengguna api, tapi syukurlah kau sudah bangun setelah tak sadarkan diri selama 3 hari. Aku adalah pemimpin tentara bayaran disini. Namaku Gandalf, dan kau sekarang berada di tenda kamp tentara bayaran." Ucap Gandalf sembari perlahan duduk di ambang pintu tenda. Dari luar, terdengar riuhnya kehidupan di kamp. Dentingan pedang beradu menggema di udara, menandakan para tentara tengah berlatih dengan serius. Suara tawa dan obrolan para anggota memenuhi suasana, menciptakan kontras dengan ketegangan yang masih menyelimuti tenda tempat Harrys berada.
"Jadi, ceritakanlah apa yang sebenarnya terjadi, Nak," ujar Gandalf, suaranya tenang namun penuh ketertarikan. Sembari menyiapkan secangkir teh hangat untuk Harrys, ia duduk di dekatnya, memberi isyarat bahwa bocah itu bisa berbicara dengan tenang.
Gandalf perlahan mendekati Harrys, lalu memberikan secangkir teh hangat kepadanya. Harrys, yang masih diliputi ketakutan, menggenggam cangkir itu dengan tangan gemetar. Napasnya berat, matanya dipenuhi kegelisahan. Dengan suara gugup, ia akhirnya mulai menceritakan apa yang sebenarnya terjadi di desa yang telah hancur itu.
Harrys menggenggam cangkir teh itu semakin erat, suaranya bergetar saat ia mulai menceritakan kejadian mengerikan yang menimpa desanya.
"Para perompak itu... mereka datang tanpa peringatan. Mereka membakar segalanya, membunuh siapa saja yang ada di desa. Aku melihat mereka menyeret penduduk, menyiram tubuh mereka dengan minyak, lalu menyalakan api… Mereka tertawa saat orang-orang berteriak kesakitan."
Harrys menelan ludah, matanya mulai berkaca-kaca.
"Aku langsung berlari pulang untuk memberitahu Ayah. Saat mendengar itu, Ayah tidak ragu sedikit pun, dia langsung menyuruh kami pergi. Tapi… belum sempat kami keluar, tiba-tiba sebuah bola api menghantam rumah kami. Api menyebar begitu cepat… membakar segalanya."
Harrys terdiam sejenak, tangannya gemetar saat ia menyentuh kalung yang tergantung di lehernya.
"Kami mencoba keluar… tapi sebelum sempat melangkah, atap rumah roboh. Ayah tertimpa di bawahnya… Ibu juga… Aku tidak tahu apakah dia sempat keluar atau ikut terjebak di dalam."
Suaranya semakin lirih, namun tetap terdengar jelas dalam kesunyian tenda.
"Ayah… dia menyuruh kami pergi. Sebelum aku pergi, dia memberikan kalung ini… Katanya, aku harus menganggap jiwanya ada di dalamnya."
Harrys menarik napas dalam, berusaha menahan emosi yang semakin memuncak.
"Tapi kami tidak pernah berhasil kabur… Para perompak sudah menunggu di luar. Mereka menangkap kami, menyeret kami seperti binatang. Lalu… pemimpin mereka… dia… dia membunuh Ayah di depan mataku."
Matanya berkaca-kaca, tapi tatapannya kosong.
"Aku tidak tahu apa yang terjadi setelah itu… Aku hanya ingat amarah yang meledak di dadaku. Aku berteriak… dan setelah itu, semuanya menjadi putih. Aku tidak ingat apa pun. Ketika aku sadar… aku sudah ada di sini."
Harrys menundukkan kepala, suaranya bergetar saat mengucapkan kata terakhirnya.
"Aku tidak tahu… apa yang terjadi pada adikku…"
Setelah mendengar cerita Harrys, Gandalf menepuk kedua pundaknya dengan lembut dan berkata,
"Aku yakin adikmu masih hidup. Aku tidak menemukannya saat memeriksa desa itu… Kemungkinan mereka membawanya."
Mata Harrys membesar sejenak, lalu air mata mulai mengalir di pipinya. Ia terisak tanpa suara, tubuhnya sedikit gemetar.
"Sudahlah, Nak… Jangan menangis," ujar Gandalf dengan senyum kecil.
"Ingat, pria sejati tidak akan pernah menangis. Jika kau menangis, berarti kau belum menjadi pria sejati."
Harrys buru-buru menghapus air matanya dan mengangguk pelan. "Ya… baiklah…"
Gandalf menatap langit malam yang gelap, bintang-bintang berkelip redup di atas mereka.
"Yah… Besok kita mulai berlatih," katanya santai.
Harrys menoleh dengan bingung. "Berlatih? Untuk apa?"
Gandalf menyeringai.
"Kau sekarang adalah anggota baruku, Nak. Elemen apimu sangat berguna untuk menjadi pasukan garda terdepan." Ia menepuk pundak Harrys sekali lagi sebelum berbalik menuju pintu tenda.
"Untuk sekarang, istirahatlah. Pulihkan tenagamu, karena besok kau akan berlatih sangat keras."
Harrys menatap punggung Gandalf yang perlahan menghilang dalam kegelapan malam. Dengan rasa penasaran dan sedikit ketegangan, ia beranjak ke dalam tenda, membaringkan tubuhnya, dan memejamkan mata.
Esok hari, perjalanan barunya akan dimulai.