webnovel

Worst Marriage

Memiliki kehidupan yang terbilang cukup sempurna tak lantas membuat Kathryn bahagia lantaran suami yan ia cintai sepenuh hati ketahuan berkhianat dengan seorang wanita yang amat Kathryn kenali. Hingga pertemuannya dengan Antonio, pria yang selalu menghibur dan mengisi hari-harinya dengan hal yang positif. Dan tanpa sadar, baik Antonio ataupun Kathryn memiliki perasaan yang sama. Saling jatuh Cinta namun bagi keduanya itu hal yang salah sebab Kathryn masih menjadi istri orang sedangkan Antonio yang telah berjanji pada tuan Greyson tidak akan memakai hati dan perasaan untuk membantu Kathryn. Mampukah Antonio dan Kathryn membuang perasaan tersebut atau malah sebaliknya?

nona_hwa · Urban
Not enough ratings
2 Chs

Chapter 01

Sebelum berangkat ke restoran, Kathryn melaksanakan tugasnya sebagai seorang istri dan ibu dengan menyiapkan sarapan untuk kedua manusia tersayangnya.

Sebenarnya ada pembantu rumah tangga yang biasa bekerja dari pagi sampai sore, namun Kathryn selalu menyuruhnya untuk menyiram tanaman di halaman belakang. Bibi Elma, wanita paruh baya yang bekerja dengannya sudah hampir 10 tahun.

Setelah semuanya siap, Kathryn melangkah kakinya ke lantai atas dan memanggil Georgia saja sebab suaminya baru terlelap beberapa jam yang lalu karena ada suatu masalah di perusahaannya cabang luar kota.

Ketika membuka pintu kamar yang tertempel stiker kucing berwarna biru yang mempunyai kantong ajaib, sudah ada Georgia yang sedang berusaha menyisir rambut hitam legamnya di depan cermin. Kathryn tersenyum lalu mengambil alih sisir yang di pegang Putri semata wayangnya.

"Mau di kepang gak?" tanya Kathryn sambil menyisir rambut Georgia dengan lembut.

"Mau, tapi kepangnya seperti Elsa yang di film frozen ya mah," pinta gadis kecil yang sering di panggil Gia tersebut.

"Oke,"

Kathryn mulai merapikan rambut sang anak, lalu tangannya menggapai salah satu ikatan rambut yang sudah terletak rapi di dalam kotak plastik, khusus ikat rambut milik Gia.

"Sudah. Cantiknya anak mama," puji Kathryn sembari mencium kepala Gia dengan sayang.

Gia memandang dirinya di cermin, anak itu tersenyum senang sambil memegang rambutnya yang sudah di kepang oleh mamanya.

"Thank You, mah." ucapnya.

"Your Welcome. Ayo sarapan dulu sebelum berangkat sekolah."

Kathryn meraih tas ransel Gia lalu membawanya keluar dari kamar. Sedangkan Gia sudah berlari kecil menuju kamar orang tuanya, bermaksud membangunkan papanya namun di cegah Kathryn karena takut istirahat Justi terganggu.

"Biarin papa tidur dulu ya sayang, papa kan baru pulang kerja. Kalau papa gak banyak istirahat nanti papa sakit loh." ujar Kathryn pada Gia agar sang anak mengerti.

Tampak Gia menganggukkan kepalanya, lalu beranjak dari kamar orang tuanya dan lekas turun di tuntun Kathryn.

"Selamat pagi nona kecil," sapa Bibi Elma yang keluar dari dapur,sepertinya beliau sudah selesai menyiram tanaman. Wanita paruh baya tersebut meletakkan segelas susu coklat hangat di depan Gia yang sudah duduk di kursinya. Sedangkan untuk Kathryn, bibi Elma sudah tau kebiasaan pagi majikannya yaitu meminum kopi dengan sedikit gula.

"Pagi juga bibi cantik. Terimakasih untuk susunya, Gia suka." ucap Gia setelah meminum susunya.

Dalam hal mengasuh anak, Kathryn memang membiasakan Gia untuk mengucapkan terimakasih ketika seseorang memberikan sesuatu atau meminta pertolongan. Kathryn juga mengajarkan Gia, mengucapkan kata Maaf, Permisi, dan hal-hal positif lainnya agar kita di hargai dan di segani banyak orang.

"Sama-sama nona." ucap bibi Elma.

"Kate, jangan di diamkan kopinya nanti dingin loh. Ini sudah hampir jam setengah 8, ayo cepat sarapannya." ucap bibi Elma pada Kathryn yang termenung menatap anaknya yang sedang mengunyah sandwich isi daging ayam.

Kathryn tersentak kaget lalu tersenyum kaku pada bibi Elma.

"Ah iya bibi."

Bibi Elma sudah menganggap Kathryn seperti putrinya sendiri selama bekerja di rumah ini. Dan Kathryn sendiri yang meminta bibi Elma memanggil dirinya dengan nama saja. Entah kenapa setiap ia melihat bibi Elma, Kathryn selalu rindu dengan mendiang ibunya yang telah lama pergi meninggalkannya bersama sang adik yang saat ini masih sekolah.

Selesai sarapan, Kathryn pamit berangkat ke restoran sekalian mengantar Gia ke sekolah. Bibi Elma juga akan pergi ke pasar untuk belanja bulanan seperti biasa. Kathryn menawarkan diri untuk mengantar, namun di tolak bibi Elma lantaran beliau ingin singgah dulu ke gereja untuk bertemu teman-temannya yang sedang melakukan doa bersama di sana.

"Ya sudah, aku berangkat dulu ya bi. Ohya kalau Justin sudah bangun, katakan aku sudah berangkat ke restoran pagi tadi." pesan Kathryn.

"Baik Kate. Bye nona kecil, yang rajin belajarnya ya biar jadi dokter."

"Iya bibi cantik. Gia kan pintar."

bibi Elma tersenyum gemas melihat Gia, wanita itu mengusap rambut hitam Gia dengan lembut.

Mobil sedan mewah yang di kendarai Kathryn melaju pelan meninggalkan teras rumahnya. bibi Elma melambaikan tangannya pada mobil Kathryn lalu masuk ke dalam rumah, bersiap-siap untuk pergi ke pasar.

°

°

°

°

°

Di lain tempat, tampak seorang pria berpostur tinggi tengah berbicara serius dengan seorang perempuan yang mengenakan seragam sekolah. Keduanya tengah berdebat, terlihat dari raut wajah si perempuan yang sedang kesal.

"Kakak, pokoknya aku mau tinggal sama kakak di luar kota. Percuma dong beasiswa yang selama ini aku perjuangkan malah di berikan pada orang lain." ucap si perempuan sambil menghentakkan kakinya karena kesal sang kakak tak mengizinkannya dirinya sekolah di luar kota, tempat kerja kakaknya.

"Tapi Irene, kakak hanya tinggal di apartemen kecil, kamarnya cuma satu bagaimana bisa kau tinggal disana? hah?"

Gadis yang bernama Irene tersebut mengerucutkan bibirnya lalu melipat kedua tangannya di depan perut.

"Ya kakak tidur di ruang tamu lah, terus aku yang di kamar. Masa anak gadis yang tidur di ruang tamu, tega sekali kakak padaku." ucapnya dengan enteng tanpa dosa.

Si pria mendengus kasar. Ia melirik sinis adiknya dan di balas Irene dengan hal yang sama.

"Lalu ibu bagaimana? kau tinggal sendirian?"

Irene terdiam. Bagaimana bisa ia lupa akan keberadaan orang tua satu-satunya. Ah, inilah efek terlalu senang karena beasiswanya di setujui.

"Kau diamkan? makanya tanya ibu dulu, jangan asal main ambil saja beasiswanya. Dasar pendek."

"Tapikan...."

"Ayo pulang. Kita tanya ibu dulu." Si pria merangkul bahu Irene lalu menyeretnya pulang bersama sambil jalan kaki. Karena jarak antara sekolah dan rumah mereka sangat dekat, kurang lebih 10 menit sampai.

Antonio izin cuti pada atasannya untuk pulang ke rumah ibunya sebab Irene meminta dirinya datang ke sekolah sebagai wali agar beasiswanya di setujui pihak sekolah. Irene mengikuti lomba menulis cerpen beberapa waktu lalu, dan gadis remaja itu berhasil menjadi juara pertama. Pihak acara lomba memberikan beasiswa permanen untuk si pemenang dengan syarat harus ke kota dan memulai sekolah disana. Irene yang terlanjur senang sampai lupa memberitahu sang ibu. Maka dari itu Antonio melarang Irene untuk tinggal bersamanya sebab tak ada yang menemani ibu di rumah namun gadis itu tetap keras kepala.

Sesampainya di rumah, pintu rumah terbuka sontak Antonio dan Irene saling pandang dengan heran. Biasanya di jam segini, ibunya akan pergi berjualan sayur di pasar tapi entah kenapa sekarang ada di rumah.

Dengan tergesa-gesa Irene dan Antonio masuk dan memanggil-manggil sang ibu.

Brakkk.....

Bunyi suara benda jatuh, membuat kedua kakak beradik itu segera ke sumber suara. Dan alangkah terkejutnya mereka melihat ibunya sedang di pukul paman Willy, kakak ibu mereka yang pengangguran dan suka mabuk-mabukan.

"Paman, apa yang kau lakukan pada ibuku?!" teriak Antonio yang marah melihat keadaan Marina, ibu Irene dan Antonio. Irene mendekati Marina sambil menangis histeris. Kepala Marina bersimbah darah sedangkan pipinya terdapat bekas tamparan yang sudah membiru.

Willy menyeringai lebar namun tetap mencari sesuatu di lemari pakaian milik Marina.

"Dimana kalian sembunyikan sertifikat rumah ini, cepat katakan padaku!" bentak Willy.

Antonio yang tak terima melihat ibu dan rumahnya di acak-acak pamannya, tanpa aba-aba memberikan beberapa pukulan pada pria mabut tersebut. Wily yang dalam keadaan tak sadar dengan mudah tumbang dan pingsan di lantai.

"Kak, ayo bawa ibu ke rumah sakit. Darah ibu banyak sekali keluar, ayo kak." pekik Irene yang memangku kepala ibunya.

Antonio mendekat dan segera menggendong ibunya lalu di ikuti Irene dari belakang. Beruntung Antonio membawa mobil atasannya, lalu dengan segera melajukan mobilnya ke rumah sakit terdekat di desa ini.

°

°

°

°

°