webnovel

Women Falls

Joe Echart yang mencoba jadi penyembuh buat Jea La Epione dari ilusi dan trauma masa kecil yang di alaminya. tapi bagaimana cara Joe mengeluarkan Jea dari lumpur yang Jea buat sendiri? ps; cerita ini sebagian true story. Agak berat jadi di sarankan yang baca di atas 17 tahun ya.. banyak edukasi tentang perempuan, kekerasan dan seks. silahkan vote bagi yang sudah baca

ooh_yektishii · Urban
Not enough ratings
5 Chs

2. Dengan Hujan

"Hugo brengsek!"

Jea menghembuskan napas jengah. Mengabaikan makian yang Lucia keluarkan untuk teman kencanya yang bernama Hugo.

Kali ini jam kerjanya sudah selesai. Tak mau berlama-lama tetap berada di restoran penuh bau minyak, Jea mengepak barang miliknya dalam tas ransel.

"Hal menjijikan terus berulang." Gumam gadis itu sebelum berpamitan pada Lucia dan rekan kerjanya yang lain.

"Hey! kamu mau pergi begitu saja?" Tanya Lucia menhentikan langkah Jea di ambang pintu istirahat karyawan. Gadis itu mengangguk kecil, mengiyakan pertanyaan Lucia tanpa banyak kata.

"Apa brokolinya sudah tumbuh? kalau iya aku mau untuk di masak di akhir pekan." Jea mengangguk lagi.

"Di rumahmu ada banyak hal ya, Jea."

Kini tatapan Jea beralih pada Simon. Pertanyaan itu membuat kepala gadis itu miring sedikit. "Iya, di rumahku ada banyak hal kecuali uang." sahutnya kemudian melenggang pergi.

Langit sedikit mandung karena sekitar siang tadi gerimis terus turun. Tangan Jea ia masukan ke dalam saku hoddie abu-abu miliknya. Menunduk menghitung langkah yang dia lalui menuju halte. Jejak kubangan air di jalanan menyiprat pada sepatu kusam miliknya. Hari yang Jea lalui selalu sama. Tidur lalu berangkat kerja untuk makan. Sisanya hanya mendengarkan musik dari earphone lama miliknya dan rebahan di kamar.

Atau, menemui ibunya.

Sore terus menggelap saat langkah Jea berhenti di halte bus yang tak terlalu ramai. Di usapnya jejak basah gerimis yang mencumbu hoddie. Bus datang tak terlalu lama setelah Jea menunggu. Penuh sesak dan berhimpit, membuat Jea yang hampir berdiri menuju bus mengurungkan langkahnya.

Di remasnya jari-jari dingin gadis itu. Memikirkan ulang apa dia akan benar-benar naik atau tidak. Keputusan yang lambat sampai bus melaju lagi dan Jea tinggal sendiri.

Bukan hal baru jika Jea ketinggalan bus. Gadis itu tidak suka keramaian. Ruang yang sempit membuatnya sulit untuk bernafas. Jika saja hidup tidak perlu makan dan uang, sudah pasti Jea tidak perlu melakukan apapun selain tidur. Perut menuntutnya untuk bekerja. Setiap hari bercengkrama dengan degup jangtung yang menggila serta telapak tangan yang basah saat pengunjung resto sedang ramai.

Kali ini dia ingin rehat sejenak. Dari degup jantung yang melebihi oktaf saat di dalam bus. Dia sudah cukup kewalahan dan hampir kehilangan kewarasan sejak pagi hingga shif kerjanya selesai tadi. Lebih baik memutuskan menunggu bus selanjutnya atau berjalan kaki saja.

Suara lalu lalang mobil terdengar keras. Melaju cepat membuat Jea memutuskan mengeluarkan earphone miliknya, kemudian memasangkanya di lubang telinga. Belum juga menyalakan musik di layar handphone, hujan turun dengan deras membawa bising jatuhnya air merasuk lamat-lamat ke pendengaran gadis itu. Jalanan kian sepi, orang-orang berlarian mencari tempat berteduh di depan toko-toko berkanopi.

Lega rasanya karena tak ada orang yang memilih menepi di halte bersama dirinya. Bermenit-menit berlalu tanpa pikiran apapun. Menekuni suara deras hujan yang airnya kini menyiprati sepatu Jea. Menelusup masuk, lembab dan dingin.

"Jika pulang sekarang apa akan ada yang menyambutku seperti di drama?" Gumamnya.

"Kalian turun sangat deras. Aku jadi tidak bisa pulang. Apa ada yang sedang menangisi kepergian seseorang?" Ditatapnya langit gelap penuh gerombolan air yang meluncur ke tanah. "Atau ada yang sengaja menitipkan kesedihanya pada kalian? seperti aku waktu itu."

"Kenapa kamu selalu bicara sendirian?"

Jea terkaget-kaget. Suara seseorang merasuk ke pendengaranya. Mengalihkan atensinya dari langit, gadis itu menatap lurus pada sumber suara. Pria itu berdiri tak jauh darinya. Terlihat ingin meneduh seperti orang lainya yang tak membawa payung cadangan. Baju pria itu basah kuyup hingga memeluk ketat tubuhya. Bibir yang membiru serta wajah yang tak asing membuat Jea mengedutkan dahi.

"Apa hobimu memang bicara sendirian?" Tanya pria itu lagi. Duduk dengan hati-hati di seberang Jea, menekuk dua lenganya berusaha mencari kehangatan di balik ketiak.

"Bukan urusanmu."

"Kenapa tidak bicara denganku saja?"

"Apa?" setiap pertemuan dengan lelaki ini membuat Jea selalu heran. Apa yang di lakukan serta dikatakan pria itu tak masuk akal untuk Jea.

"Jika tidak ada orang yang bisa kamu ajak bicara. Maka aku bersedia jadi teman bicaramu." Senyuman terukir di wajahnya yang tersapu air hujan. Terlihat hangat seperti yang Lucia ajarkan.

"Oh terima kasih. Tapi tidak perlu. Aku tidak terlalu butuh karena kita juga tidak saling kenal."

"Aku Joe! namaku Joe Echart. Sekarang kamu sudah tau namaku jadi mari berteman!." Pria yang mengaku bernama Joe mengulurkan tanganya yang basah. Jea hanya menatapnya penuh curiga, berhati-hati mengambil earphone yang masih terpasang lalu bersiap mengambil ancang-ancang.

"Selalu menjijikan!"

Tak peduli hujan yang masih turun, Jea berlari sekuat yang dia bisa. Menerobos hujan dan kubangan air kotor di jalanan. Harinya selalu sama seperti yang dia lalui selama ini. Terlalu membosankan dan terlalu monoton. Kadang ada hal di luar nalar yang hampir merenggut kewarasanya. Jea hanya ingin punya kehidupan yang biasa. pakaian yang biasa, makanan yang biasa dan mati dengan biasa.

Tetapi setelah bertemu empat kali dengan pria tadi yang sialnya kini berusaha mengejarnya, hidupnya jadi tidak seperti yang Jea mau.

Ada banyak hal yang membuat Jea bertanya-tanya tetang pria bernama Joe. Apa pria itu senang mengusik kedamaian hidup orang? Apa pria itu juga punya banyak kosakata aneh yang selalu dia katakan pada orang lain? tapi kenapa harus Jea? Gadis biasa yang hidupnya bahkan tidak dilihat orang.

Ngos-ngosan berlari di tengah hujan membuat tulut Jea membeku. Gadis itu memutuskan berhenti di gang dekat rumahnya. Nasib sial menimpanya karena pria aneh tadi tak kunjung menyerah mengejar Jea sampai di gang. Meluruhkan kaki dan bokongnya di aspal jalan, Pria itu menuding Jea dengan telunjuknya.

" Haahh.... kenapah.. lari? haa haah."

"Kamu juga! kenapa ngikutin saya!?"

"Saya cuma ngajak kamu berteman! Hahhh.. bukan mau niat jahat!"

"Kenapa harus saya?! saya kan orang asing! kamu bahkan nggak tahu nama saya!"

Saling teriak di gang dengan kondisi basah kuyup adalah hal baru untuk Jea. Baru pertama kali ada orang yang sengotot ini ingin menjadi temannya.

"Kalau begitu kasih tahu siapa nama kamu, dong!."

"Buat apa? saya ga butuh teman!."

"Tapi saya pengen punya temen aneh kaya kamu!"

"what the hell!? omong kosong apa yang kamu bicarakan?" Jea makin bingung. Dilihatnya gang yang sepi. Gadis itu mulai memikirkan bagaimana cara dia bisa kabur dengan selamat.

"Nama?!"

Menghembuskan nafas lelah. Gadis itu akhirnya menyerah. Menepuk bokongnya yang basah dan mulai berdiri sebelum berteriak "JEA LA EPIONE!! DUA PULUH EMPAT DAN AKU TIDAK SUKA KAMU!" lalu ngacir begitu saja meninggalkan Joe yang masih terdiam di tempatnya.

Hari melelahkan yang di balut ketegangan akan segera berakhir. Jea harap begitu.

"SEKARANG KITA TEMAN,JEA!!"

Dingin yang kian menelusup mengembangkan senyum Joe. Pria itu juga beranjak, melonggarkan dasi yang serasa mencekik lehernya. Jalanan sempit nan sepi serta nama baru yang kini tertulis di ingatan Joe membuat pria itu bersemangat untuk pulang.

"Bicaranya bahkan lebih dingin dari hujan. Yeah, setidaknya usahaku mengejar gadis itu saat hujan begini tidak sia-sia. Nama kita bahkan sangat mirip,kan?"