webnovel

Penuh Kamuflase

Pada malam harinya, Alan tampak sedang berbicara dengan seseorang di balik ponselnya. Entah dengan siapa Alan berbicara melalui ponselnya di luar kamar, ia hanya sebentar—sebelum akhirnya kembali seraya mengarahkan layar ponsel di depan wajah, kali ini sebuah panggilan video berlangsung, terlihat wajah Rena di sana, artinya akting harus segera dilangsungkan.

"Hallo, Ma." Alan melambaikan tangan menatap layar ponselnya, ia duduk begitu saja di sisi Salsabila. Jika tadi ada jarak sekitar dua jengkal, kali ini Alan sengaja memangkasnya, kulit lengan bersentuhan –sengaja mempertontonkan kedekatannya dengan Salsabila pada sang ibu.

"Salsa dan Alan lagi apa sekarang?"

Salsabila tersenyum tulus saat melihat wajah sang ibu mertua, ia tak peduli lagi pada sikap sok harmonis Alan saat ini. Wanita itu masih sibuk mengunyah makanan yang baru pertama ia coba seraya melambaikan tangan pada layar ponsel.

"Kita lagi makan, Ma. Salsa baru pertama ke Barcelona, jadi dia wajib makan apa saja yang khas di sini," sahut Alan terdengar seperti suami penuh perhatian. Dia bahkan tak segan merangkul bahu Salsabila, skinship yang mereka lakukan terlihat begitu sempurna.

"Iya, Lan. Jangan lupa ajak Salsa ke tempat-tempat bagus di sana, apalagi ke Tower of Hercules itu. Siapa tahu Salsa mau lihat ujung dunia seperti apa." Rena begitu bersemangat saat berbicara di seberang sana, ia merasa apa yang diharapkannya akan berjalan lancar.

"Tadi kita sudah dari sana, Ma. Dan Salsa senang banget, ia 'kan?" Alan menoleh ke arahnya meminta persetujuan, bersamaan dengan itu tangan Alan memberikan cubitan pelan di pipi istrinya yang mengembung saat mengunyah makanannya. Perempuan itu terhenyak dan menoleh, ia dapati sepasang mata Alan begitu meneduhkan, jauh berbeda dari saat mereka berada di apartemen. Ia tertegun pada lengkungan bibir serta cara laki-laki itu menyentuhnya, Salsabila sampai lupa mengunyah makanan saat Alan masih sibuk mencubit pipi seraya berbicara pada Rena. "Oh iya, Mama mau minta bawain oleh-oleh apa? Biar Alan cari sekalian besok."

"Sederhana kok, Lan. Mama Cuma butuh keturunan dari kalian berdua." Seketika Salsabila menoleh menatap nanar rupa sang ibu mertua. Apa yang diinginkan wanita itu adalah satu hal yang takkan mungkin bisa diberikan oleh mereka, jangankan miliki seorang anak, mereka bahkan tak pernah melakukan adegan ranjang sejak malam pertama pernikahan berlangsung.

Salsabila tiba-tiba tertawa, ia merasa permintaan Rena sangatlah konyol dan ambigu. Wanita itu kemudian meraih gelas yang berisi air dan meneguknya lewati kerongkongan.

"Bagaimana, Salsa. Kamu bisa kan wujudkan permintaan sederhana itu? Jangan menunda rezeki yang dikasih Tuhan," ucap Rena kembali.

Salsabila mengangguk. "Iya, Ma. Salsa usahain." Rasanya Salsabila ingin menampar bibir sendiri yang terus melontarkan kebohongan, tertekan oleh berbagai keharusan.

"Kalau begitu Mama matiin, ya. Kalian hati-hati di sana. Jangan lupa buat urusan oleh-olehnya." Setelah itu layar ponsel Alan tak lagi tampilkan wajah sang ibu. Ia menarik napas lega seraya sandarkan punggung di bahu sofa, tangan yang sempat merangkul Salsabila kini ia tarik begitu saja. Alan kembali seperti sebelumnya.

Tawa Salsabila juga telah pudar, ia putuskan beranjak memasuki kamar mandi, berdiri di depan wastafel seraya nyalakan kran air. Salsabila tatap pantulan wajahnya di cermin. Sungguh berat hidupnya yang dipenuhi kamuflase.

****

Salsabila berdiri di dekat tebing laut Atlantik Utara, hanya saja ia tak sendirian di sana, tetapi juga bukan bersama Alan. Salsabila berhadapan dengan seseorang yang sering kali membuat segala harap baiknya pecah dalam sekejap, mengingat hubungan mereka saja sudah membuat Salsabila sangat muak, ia memang tak tahu sedikit pun tentang urusan suaminya dan sang pasangan yang belum juga terpisah itu. Salsabila tak ingin tahu dan berharap mereka berdua lekas menghilang dari dunianya.

Wajah itu pernah Salsabila lihat dalam bingkai foto di kamar Alan. Dan kali ini Salsabila benar-benar beradu pandang dengannya dalam radius sekitar lima belas centi. Keduanya teramat dekat, entah apa yang membuat keduanya sampai harus bertemu d dekat Mercusuar Hercules.

Dalam netra masing-masing tersimpan bahasa yang ingin mereka ungkap, bahasa yang tak perlu didengar banyak orang. Entah harus bagaimana Salsabila bersikap pada perempuan yang dicintai suaminya. Jika orang lain mungkin bisa memaki sebab dirasa jadi perebut, tetapi Salsabila merasa jika tak ada perebutan di antara mereka.

Alan dan Meira saling mencintai, hubungan keduanya terjebak dalam pernikahan yang sudah terangkai cukup lama, saat semua itu terjadi—tak ada yang mengaku mundur, tetapi tetap salah. Harusnya Alan lebih paham jika perempuan yang lebih layak ia cintai adalah istrinya meski hubungan dengan Meira sudah terjalin sebelum kehadiran Salsabila.

"Jadi, kamu tahu tentang aku sama Mas Alan?" Meira buka suara, ia mulai lontarkan bahasa kalbu yang sejak lama terpendam.

"Aku tahu." Fokus Salsabila tak bergeser sedetik pun dari manusia yang layak ia sebut rival.

"Kamu tidak ada niatan untuk mundur?"

"Mungkin pertanyaan itu lebih cocok untuk kamu, karena di sini aku istri sah Mas Alan."

"Kamu serius?" Meira tertawa. "Mas Alan bahkan tidak cinta sama kamu, dia hanya cinta sama aku. Kami saling mencintai sejak lama, harusnya kamu mengerti siapa yang lebih layak buat mundur."

"Aku minta maaf, Meira. Aku tidak berharap lebih pada Mas Alan. Aku Cuma menginginkan sebuah keadilan, karena aku sama dia juga terjebak dalam sebuah hubungan rumit. Aku sama sekali tidak berniat untuk mundur, isi hati tidak ada yang tahu. Aku hanya melakukan ini semua supaya orang tuaku bahagia di sana."

Salsabila memang tidak tahu keberadaan orang tuanya karena sejak kecil ia tinggal di panti asuhan. Namun meskipun begitu, Salsabila berharap kalau seandainya mereka masih hidup ia bisa ikut bahagia mengetahui jika anaknya berbahagia di sini. Dan kalaupun ternyata sudah tiada, Salsabila juga berharap kalau mereka sudah berbahagia di surga.

Meira mendengkus kasar. "Salsa, faktanya mas Alan tidak akan sampai selamanya bersama kamu. Sakit kalau kamu terus menjalin hubungan sama orang yang tidak akan pernah mencintai kamu." Meira tetap keukeuh mendorong agar Salsabila mundur segera dari perang yang terlanjur mereka jalani.

Salsabila terus mencoba bersabar menghadapi wanita di depannya itu, berusaha menunjukkan raut wajah yang baik-baik saja. "Aku yakin suatu hari bakal ada yang berubah saat mas Alan tahu kalau jalan yang dipilih telah salah. Mau sebesar apa pun cinta kamu sama dia, kalau ternyata dia adalah suami dari perempuan lain. Itu sangat jelas bahwa tidak layak lagi untuk kamu harapkan. Jadi Meira, tolong berhenti! Jangan usik rumah tangga orang lain."

Raut wajah di depannya itu seketika memerah, kemarahannya terlihat jelas di wajah cantiknya. "Kamu gila, huh?"

Lalu tanpa aba-aba, tiba-tiba Meira mendekati Salsabila. Kedua tangannya seketika mendorong tubuh Salsabila sekuat tenaga hingga perempuan itu terjun dari tebing hampiri lautan biru nan dalam di dalamnya.

Byurr~