webnovel

Chapter 5 : Challange for Dreams

"Apa kalian tau itu sex?"

Pertanyaan itu membuat seluruh kelas terdiam untuk beberapa saat. Pertanyaan ini seperti tak lazim untuk dibicarakan oleh semua orang, ini adalah pertanyaan terbodoh yang ditanyakan oleh seorang guru.

"Gue curiga nih, kayaknya ni guru bakal mesum, apa gue telepon polisi aja ya?" salah satu murid yang menyaut

"Bapak culun amat sih, pasti gak bisa ng*ck," tukas siswa perempuan yang mengata-ngatainya dengan kasar.

Dari pembahasan ini, sang guru memang sudah memprediksi bahwa ada orang yang akan mencibirnya terkait pembahasan ini, padahal sebenarnya ini sebuah pancingan untuk mereka yang suka mesum dan itu terlihat dari gerak-gerik mereka.

"Saya tau kamu, kamu pasti suka kan ngeliatan cowok telanjang," kata guru tersebut yang hanya menebak dengan pertanyaan pancingan seperti itu.

Sepertinya, kelas 1-4 sudah mulai merasakn kekhawatiran tentang siswa yang akan diprediksinya nanti. Arya memilih untuk tidur dan abai pada pendongeng yang sok mengetahui hal itu.

"Kamu!!" ujar guru tersebut yang sepertinya mengenali postur tubuh siswa yang sedang tidur itu.

"Hei pemain bola! Kok tidur pas jam pelajaran sih, katanya sih atlit bola yang disegani di timnya."

Guru tersebut langsung menyindir Arya secara gamblang, dia tidak peduli bahwa orang itu akan marah atau tidak, karena dia pernah terlibat perkelahian dengan omong kosong tersebut, jadi dia sudah antisipasi kalau orang tersebut marah lagi.

Sefa yang tidak terima, membangunkan Arya, dia merasa tidak terima dengan apa yang dikatakan oleh guru tersebut. "Ar, bangun, tuh lu dihujat sama guru gajelas kek gitu, jangan tinggal diam dong."

Arya yang tiba-tiba dibangunkan oleh Sefa hanya bisa terdiam dan melongo selama dua belas detik, karena selama dua belas detik dia berpikir untuk berbicara, karena selama periode dua belas detik itu IQ dia mungkin berada di bawah hingga 0 poin, itulah yang membuat dia sadar sebentar dan tidak berkata apapun lagi.

"Hmmm, pemain bola ya? Kenapa ya kok bapak ini terlalu sok tahu kehidupan anak muridnya, padahal cuma wali kelas bukan orang tua. Toh, orang tua saya aja gak ngelarang karir saya, mau jadi pesepakbolapun dia gak masalah, asal saya mandiri."

Guru tersebut tau bahwa Arya dan Sefa adalah seorang pemain sepak bola absolut nomor 7 dan 11 yang sebenarnya tidak diketahui oleh banyak orang, jadi guru itu memilih untuk tetap diam.

******

Bel jam berikutnya telah berbunyi setelah perkenalan yang cukup aneh tersebut. Mereka yang tau bahwa Arya dan Sefa adalah seorang pemain sepak bola, menanyai mereka macam-macam hal yang tidak diinginkan oleh mereka.

Beberapa dari mereka yang tidak peduli, keluar dari kelas dan melakukan perang dan keributan dengan kelas sebelah. Inilah yang membuat beberapa siswa terlihat lebih bobrok dibandingkan ketika dalam kelas.

PRANGGGG

Salah satu kaca yang ada di sekolah tersebut pecah berkeping-keping, lainnya salah satu siswa dari kelas 1-3 melakukan aksi berantem di tengah koridor sekarang.

"Eh liat deh itu siapa yang dateng, kok kek orang terkenal banget gitu."

Arya dan Sefa yang merasa muak berada di kelas dengan apa yang ia diliatnya di depan koridor langsung pergi meninggalkan mereka, membuang semua apa yang ia harapkan dan ia pergi ke suatu tempat yang sepi.

"Gue bosen di kelas terus, paling yang ada guru males masuk kelas."

Mereka menuju ke sebuah tempat di bagian sekolah yang tak terjamah, mereka melakukan latihan futsal yang sebenarnya sangat dihindarkan oleh mereka.

*****

Di koridor kelas darah bertumpahan denga sangat deras, mereka bermain menggunakan tongkat baseball. Ini adalah suatu hari dimana hari pertama sekolah berisi siswa berandal melakukan kejahatan dengan membunuh antar siswanya sendiri.

"Ini lebih mengerikan daripada yang dibayangkan orang tentang sekolah ini."

Mereka terus mengayunkan pisaunya dengan sangat berani hingga leher mereka saling menusuk satu sama lain. Darah keluar dari leher mereka sangat deras dan kemudian pisau itu menancap ke salah satu dahi mereka, darah keluar melewati mata mereka dan sekitarnya ikut menjadi panik dan khawatir.

"Cepatt selamatkan mereka!!" kata salah satu guru yang tak mampu berkutik, mencoba mencari pertolongan.

Guru tersebut, bahkan guru olahraga pun tidak dapat mampu melerai pertarungan yang melibatkan darah dengan darah tersebut, sepertinya hal ini kemudian menjadi lumrah. Ingin melerai, dikhawatirkan siswa semakin menjadi-jadi.

*****

"Gue mau main futsal, Sef, itu bola ada," tunjuk Arya yang melihat sebuah bola seperti futsal dibawah pohon.

"Plisss lah, tinggal 3 bulan lagi lu bakal bebas, masa buat nahan diri susah banget sih, Ar, gue tau lu bakal coba ambil klub muda di luar sekolah. Tapi, apa kau akan meninggalkan seluruh pelajaran akademikmu lagi."

*****

Orang tua Arya kala itu ketika dia lulus dari SMP mulai menanyakan tentang masa depannya, cita-citanya terkait apa yang dia pikirkan di masa lalu, sehingga pada masa depan mimpi itu seharusnya di realisasikan secepatnya.

"Kau mau masuk sekolah itu?" tanya Nindi, kepada Arya yang sepertinya mulai bersikap serius dengan pilihan anaknya.

"Kamu mau jadi atlit sepak bola, kan? Macam kakakmu?" cecar Nindi lagi dengan nada yang sedikit ketus.

Kali ini Arya dikekang untuk kesekian kalinya tentang impiannya menjadi seorang pemain sepak bola, bahkan kakaknya pun demikian. Namun, sang kakaknya punya perjuangan tersendiri. Berawal dari penolakan perusahaan yang begitu ketat tentang bursa lapangan kerja, hingga ia mencari kerja part-time yang sesuai dengan dirinya. Sebagai lulusan Aktuaria.

*****

"Wait, kakak lu itu kalau gak salah udah pernah masuk Tim Muda belum sih?" tanya Sefa yang sepertinya penasaran dengan apa yang ia pikirkan.

"Tim Muda? Kayaknya dia masuk U-17 deh? Tapi kalau gak salah dia gagal di U-17, karena skornya beda tipis sama yang peringkat 11, niatnya mau masuk Liga 1 itu kalau ternyata dia gak ambil kerjaan lagi."

"Dapet dia tim U-17 pas kelas 1 SMA, tapi setelah memastikan gak dapet U-17 dia masuk Red Chamber FC, dia main buat tim kecil, kalau ngandelin tim sekolah, katanya sekolahnya susah nembus nasional, tim gede pada dominasi semua."

*****

"Tapi kan, dia juga dapet kerja? Masa iya aku sama kakak dibanding-bandingin, aku juga udah mau niat berhenti main bola."

"Lu gak boleh berhenti main bola."

Kakaknya tiba-tiba datang menghampiri ibunya dan Arya, ini adalah sebuah pernyataan yang mengejutkan bagi dirinya. Dia ingin sekali berhenti bola, karena baginya ini bukan sebuah realitas yang baik untuk dilanjutkan, mengingat cedera ini adalah semacam peringatan yang mengerikan untuk dibayangkan.

"Lo punya potensi, buat mama, plis bangett jangan bunuh mimpi Arya, biarkan dia memilih sendiri jalan hidupnya, toh gue yang awalnya susah dapet kerjaan, karena fokus sama tim kesebelasan, akhirnya bisa hidup normal, kan?"

Arya dihimpit oleh dua kenyataan yang berbeda. Dia bingung dengan apa yang dia inginkan, terjebak antara yang mereka lihat dan apa yang dirasakan dalam hati. Keputusannya benar-benar rumit.